Tanya:
Assalamualaikum wr.wb. Ustadz, saya mau berbagi dan mau bertanya mengenai pengalaman saya saat membeli jajanan ke toko kelontong, warung makan, dan toko sayur.
Jadi begini ustadz, ‘kan saya pernah merasa punya hutang dengan penjual tersebut dan penjual juga mengiyakan jika saya sebelumnya memang punya hutang dengannya, namun ketika saya tanyakan kembali dengan penjual tersebut jumlah duit saya kekurangannya berapa, lantaran saya tidak tahu/lupa jumlah uangnya. Penjual juga tidak mencatat dan juga lupa jumlah duit kekurangan saya..
Jadi gimana saya sebagai nan punya hutang jika merasa kelupaan jumlah uangnya, Apa nan saya kudu saya lakukan ya! ustad jika saya berada diposisi seperti itu minta pencerahannya bagi saya, untuk agar saya lebih tahu lagi Bagaimana jawabannya? (Bunga Fatimah DS – Solok Sumatera Barat)
Jawab:
Wa’alaikum salam. Utang piutang ini mengenai kewenangan orang lain. Membayar utang adalah sebuah tanggungjawab sebagaimana sabda Rasulullah saw berikut ini:
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلاً قُتِلَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيِىَ ثُمَّ قُتِلَ مَرَّتَيْنِ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ دَيْنُهُ
Artinya: “Demi nan jiwaku ada ditanganNya, seandainya seorang laki-laki terbunuh di jalan Allah, kemudian dihidupkan lagi, lampau dia terbunuh lagi dua kali, dan dia tetap punya utang, maka dia tidak bakal masuk surga sampai utangnya itu dilunasi. (HR. Ahmad)
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُصَلِّي عَلَى رَجُلٍ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَأُتِيَ بِمَيِّتٍ فَقَالَ أَعَلَيْهِ دَيْنٌ قَالُوا نَعَمْ دِينَارَانِ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ
Artinya: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menshalatkan laki-laki nan mempunyai utang. Lalu didatangkan mayit ke hadapannya. Beliau bersabda: “Apakah dia punya utang?” Mereka menjawab: “Ya, dua dinar. Beliau bersabda,“Shalatlah untuk sahabat kalian.” (HR. Abu Daud)
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
Artinya: “Jiwa seorang mukmin tergantung lantaran utangnya, sampai utang itu dilunaskannya.” (HR. Ibnu Majah)
Karena pentingnya utang, maka ayat terpanjang dalam Al Qur’an adalah ayat tentang hutang dan cara-cara transaksi hutang. Disebutkan dalam surat Al Baqarah: 282 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya : Hai orang-orang nan beriman, andaikan Anda bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu nan ditentukan, hendaklah Anda menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara Anda menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah dia menulis, dan hendaklah orang nan berhutang itu mengimlakkan (apa nan bakal ditulis itu), dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika nan berhutang itu orang nan lemah akalnya alias lemah (keadaannya) alias dia sendiri tidak bisa mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-laki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang wanita dari saksi-saksi nan Anda ridhai, agar jika seorang lupa maka nan seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) andaikan mereka dipanggil; dan janganlah Anda jemu menulis hutang itu, baik mini maupun besar sampai pemisah waktu membayarnya. nan demikian itu, lebih setara di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), selain jika mu’amalah itu perdagangan tunai nan Anda jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) Anda tidak menulisnya. Dan persaksikanlah andaikan Anda berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling susah menyulitkan. Jika Anda lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya perihal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. ( Al Baqarah:282)
Jadi dalam berutang ada etikanya yaitu:
1) Ditulis
2) Menghadirkan dua saksi
3) Ada peralatan gadaian
Tujuannya adalah untuk menjaga kewenangan orang nan memberi utang. Jika dia meninggal, ada catatan dan ada saksi sehingga utang bisa dibayarkan dari duit alias peralatan nan dia miliki alias orang nan mengurangi bisa ambil peralatan gadaiannya.
Adapun kasus anda, Anda cukup tanya ke penjual. Jika sama-sama lupa, bayar sesuai nan disepakati berbareng dan minta ke penjual agar dihalalkan jika sekiranya ada kekurangan. Dengan demikian, utang Anda selesai insyaallah. Intinya, kedua belah pihak kudu saling mengikhlaskan. Wallahu a’lam. (Ustadz Wahyudi Sarju Abdurrahim, Lc., M.M.)
Comments
comments