Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat, Kiai Abdul Muiz Ali menanggapi praktik sholat Idul Fitri yangg dilaksanakan berjamaah di Pondok Pesantren Al-Zaytun yangg belakangan viral di media sosial.
Dia mengingatkan, pondok pesantren di Indonesia selama ini menjadi pusat percontohan dalam keistiqamahan merawat iktikad dan tradisi ibadah ahlussunah wal jamaah. Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Ulum Jakarta itu juga menyayangkan adanya tradisi amaliyah yangg dikembangkan di pesantren yangg justru menjadi karena kegaduhan di masyarakat.
Menurut Kiai Muiz Ali, praktik sholat Idul Fitri yangg mensejajarkan shaf alias barisan laki-laki dan wanita tidak semestinya terjadi di lembaga pendidikan pesantren, dalam perihal ini Pesantren Al-Zaytun. Dia menilai, eksklusifitas model keagamaan di Pesantren Al-Zaytun condong membikin gaduh di masyarakat.
Ia juga mengatakan, ketua Pesantren Al-Zaytun semestinya menjelaskan kepada masyarakat tentang ketentuan fiqih pelaksanan Idul Fitri. “Pimpinan pesantren Al-Zaitun bakal lebih arif jika menjelaskan kepada masyarakat perihal amaliyah yangg selama ini dilakukan, termasuk yangg lagi viral tentang praktik alias tata langkah sholat Idul Fitri yangg viral sekarang,” kata dia dalam keterangannya, Kamis (27/4/2024).
Secara ketentuan fikih, Kiai Muiz menjelaskan, nyaris seluruh ustadz menyampaikan bahwa mensejajarkan shaf antara laki-laki dan wanita dalam sholat berjamaah adalah makruh. Perbuatan makruh itu termasuk perbuatan tercela, terlebih dilakukan oleh orang alias lembaga yangg semestinya menjadi percontohan masyarakat.
Hukum makruh mensejajarkan shaf laki-laki dan wanita dalam sholat berjamaah dapat merujuk pada sabda Nabi dan beberapa pendapat ulama. Rasulullah SAW bersabda:
خَيْرُ صُفُوفِ اَلرِّجَالِ أَوَّلُهَا، وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ اَلنِّسَاءِ آخِرُهَا، وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا -رَوَاهُ مُسْلِمٌ
“Sebaik-baiknya shaf laki-laki adalah yangg shaf yangg pertama, dan seburuk-buruknya shaf mereka adalah yangg paling terakhir. Sedang sebaik-baiknya shaf wanita adalah yangg paling akhir, dan seburuk-buruknya adalah yangg pertama.” (HR Muslim)
Hikmah mengatur langkah shalat berjamaah antara lain menghindari percampuran laki-laki dan perempuan.
وإنما فضل آخر صفوف النساء الحاضرات مع الرجال لبعدهن من مخالطة الرجال ورؤيتهم وتعلق القلب بهم عند رؤية حركاتهم وسماع كلامهم ونحو ذلك
“Diutamakannya shaf akhir bagi para wanita yangg datang berbarengan dengan laki-laki dikarenakan perihal tersebut menjauhkan mereka dari bercampur dengan laki-laki, melihatnya laki-laki (pada mereka), dan menggantungnya hati para wanita kepada laki-laki ketika memandang aktivitas laki-laki dan mendengar ucapan laki-laki dan semacamnya.” (Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz 13, hal. 127)
Imam Al Ghazali dalam kitabnya, Ihya Ulum ad-Din, menyampaikan:
ويجب أن يضرب بين الرجال والنساء حائل يمنع من النظر فإن ذلك أيضا مظنة الفساد والعادات تشهد لهذه المنكرات“
“Wajib untuk menempatkan penghalang antara laki-laki dan wanita yangg dapat mencegah pandangan, karena perihal tersebut merupakan dugaan kuat (madzinnah) terjadinya kerusakan dan norma umum masyarakat memandang ini sebagai corak kemungkaran.” (Al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, juz 3, hal. 361)
Sementara itu, Al Mawardi dalam kitabnya berjudul al-Hawi al-Kabir mengatakan:
“Ketika terdapat laki-laki dan wanita yangg berbarengan dengan pemimpin dalam sholat maka pemimpin menetap (di tempatnya) sejenak agar jamaah wanita bercempera terlebih dahulu. Ketika jamaah wanita sudah bercempera maka pemimpin berdiri (untuk bubar). Hal tersebut dilakukan agar tidak bercampur antara laki-laki dan perempuan. (Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, juz 23, hal. 497)
Rincian norma tersebut juga dijelaskan secara tegas dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah. Mazhab Hanafiyah menegaskan, sejajarnya posisi wanita dengan barisan shaf laki-laki dapat merusak alias membatalkan shalatnya laki-laki.
Imam Az-Zayla’i al-Hanafi juga beranggapan seperti berikut ini:
“Jika wanita yangg (berpotensi) mendatangkan syahwat sejajar dengan laki-laki dalam shalat absolut ialah sholat yangg terdapat rukun ruku’ dan sujud, dan keduanya berkawan dalam perihal keharaman dan melaksanakan sholat di satu tempat yangg tidak ada penghalangnya, lampau pemimpin niat memimpin wanita tersebut pada saat melaksanakan sholat, maka sholat laki-laki tersebut batal, tapi tidak batal bagi perempuan.”
Dasarnya adalah hadits “Kalian akhirkan mereka (perempuan) seperti halnya Allah mengakhirkan mereka.” Lelaki pada hadits tersebut merupakan objek yangg terkena tuntutan syara’ (al-mukhatab), bukan para wanita. Dengan demikian, maka laki-laki tersebut dianggap meninggalkan tanggungjawab menegakkan tuntutan tersebut hingga sholatnya menjadi rusak (batal) namun tidak bagi sholat para perempuan.
Sedangkan kebanyakan ustadz fiqih (mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) mengatakan, sejajarnya shaf wanita dengan laki-laki tidak sampai membatalkan sholat, hanya saja perihal tersebut makruh. (khazanah-REP)
“Jika wanita berdiri di shaf laki-laki maka tidak batal sholat orang yangg ada di sampingnya, di belakangnya ataupun di depannya; dan juga tidak batal sholat yangg dilakukan oleh dirinya, seperti halnya ketika mereka (perempuan) berdiri pada selain sholat. Perintah dalam hadits untuk mengakhirkan shaf (perempuan) tidak menetapkan batalnya sholat ketika tidak melakukannya.” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, juz 6, hal. 21)