Prof. Dr. Pipit Festi Wiliyanarti, S.Kep., Ns., M.Kes. Foto:Instagram UM Surabaya
MAKLUMAT – ”Perubahan besar berasal dari perihal kecil, dari satu family yangg mempraktikkan nilai-nilai kesehatan.” Kalimat itu bukan sekadar pemanis orasi ilmiah. Bagi Prof. Dr. Pipit Festi Wiliyanarti, S.Kep., Ns., M.Kes., kalimat itu adalah ruh. Sebuah filosofi yangg dipegangnya erat selama dua dasawarsa mengabdi, yangg sekarang mengantarkannya pada puncak tertinggi akademisi.
Pipit baru saja dikukuhkan sebagai Guru Besar Keperawatan Komunitas Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya). Di saat banyak orang memuja teknologi medis dan rumah sakit modern, orasinya justru “menampar” lembut: kita telah melupakan fondasi paling dasar.
”Kita sering lupa bahwa akar dari semua ini ada di rumah,” tegas Prof. Pipit seperti dilansir laman UM Surabaya.
Suaranya lantang saat membedah kondisi kesehatan bangsa. Indonesia, kata dia, sedang darurat darurat. Kita menanggung “beban ganda” yangg ironis. Di satu sisi, penyakit tidak menular (PTM) seperti jantung, hipertensi, dan glukosuria meledak. Data Kemenkes (2024) yangg dibawanya pun ngeri: 73 persen kematian di Indonesia disebabkan oleh PTM.
Di sisi lain, penyakit lawas seperti stunting belum juga beres. Angkanya tetap 19,8 persen. Dan Jawa Timur, ironisnya, termasuk provinsi dengan kasus tertinggi. ”Kebiasaan makan, pola istirahat, langkah kita merespons stres… semua dibentuk dari keluarga,” ujarnya. ”Selama ini kita terlalu konsentrasi pada rumah sakit dan pengobatan, padahal investasi terbesar ada pada pencegahan,” tegasnya.
Gagasan Health Promoting Family
Prof. Pipit tidak sekadar mengkritik. Dosen yangg dikenal ramah namun tegas ini menyodorkan solusi konkret: Health Promoting Family. Apa itu? Sebuah konsep di mana family tidak lagi pasif, tidak lagi sekadar menjadi “pasien” alias penerima jasa kesehatan.
Keluarga, dalam pendapat Pipit, kudu naik kelas. Menjadi pemasok perubahan. Menjadi penggerak perilaku hidup sehat. ”Keluarga kudu menjadi tempat pertama menanamkan nilai gizi seimbang, kebersihan lingkungan, dan kesehatan mental,” jelasnya.
Menurutnya, transformasi sistem kesehatan nasional yangg digeber pemerintah hanya bakal efektif jika family diberdayakan. Keluarga kudu menjadi co-creator of health. “Pencipta, pelaku, dan penjaga kesehatannya sendiri,” tandasnya. Bahkan, anak-anak pun bisa dilibatkan. “Anak bisa jadi pengingat agenda imunisasi, alias membantu orang tua memahami info medis digital,” tambahnya.
Lahir dari Riset Pesisir, Ciptakan “Koya Nate”
Gagasan ini tidak lahir dari menara gading. Prof. Pipit telah mempraktikkan tridarma perguruan tinggi secara nyata. Ia memadukan riset, pengajaran, dan pengabdian langsung ke degub nadi masyarakat. Selama bertahun-tahun, dia turun ke wilayah pesisir Lamongan dan Madura. Ia mengembangkan model pencegahan stunting yangg tidak seragam, melainkan berbasis budaya lokal.
Hasilnya? Jauh lebih efektif. Tak berakhir di situ, dia melahirkan penemuan pangan lokal “Koya Nate”. Sebuah kombinasi pandai ikan tuna dan tempe yangg terbukti efektif meningkatkan status gizi balita di wilayah pesisir.
Bagi Pipit, pengetahuan memang kudu hidup di tengah masyarakat. Dari melatih kader kesehatan Aisyiyah, mengembangkan modul Family Nursing, hingga mendampingi Posyandu Remaja, semua dilakoninya.
Kuncinya Ada di Ibu
Dalam Health Promoting Family, Prof. Pipit memberi perhatian unik pada satu sosok sentral: perempuan. ”Perempuan adalah pusat kehidupan. Ketika seorang ibu sehat dan berpengetahuan, satu family bakal selamat,” tegasnya. Tantangan terbesarnya, dia akui, adalah literasi kesehatan. “Banyak family tidak tahu langkah membaca hasil pemeriksaan, memilih makanan bergizi, alias menggunakan aplikasi kesehatan,” ujarnya prihatin.
Kini, dengan gelar Guru Besar di pundaknya, Prof. Pipit justru merasa tanggung jawabnya kian besar. Baginya, ini bukan puncak. ”Jabatan Guru Besar bukanlah puncak, melainkan awal tanggung jawab baru. Tugas saya sekarang bukan hanya meneliti, tapi menyiapkan generasi perawat dan peneliti yangg turun langsung ke masyarakat,” tuturnya.
Visinya jelas: Generasi Emas 2045. Tapi generasi itu, menurutnya, tidak bakal lahir hanya dari gedung sekolah yangg megah alias rumah sakit yangg canggih. ”Generasi emas tidak cukup dengan pendidikan tinggi, tapi juga kesehatan yangg prima dan karakter yangg kuat. Dan semua itu dimulai dari rumah,” pungkasnya.***
*) Penulis: Edi Aufklarung
2 hari yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·