Oleh: Hilma Fanniar Rohman*
Di tengah hiruk-pikuk pembangunan dan deretan nomor pertumbuhan ekonomi yangg tampak meyakinkan, ada sebagian masyarakat yangg hidupnya melangkah di tempat.
Mereka tidak malas, tidak bodoh, dan tidak kurang berusaha, tetapi sistem yangg berdiri di atas mereka sering kali tidak berpihak.
Di sinilah wajah kemiskinan struktural menampakkan diri: kemiskinan yangg tidak lahir lantaran perseorangan kandas berjuang, melainkan lantaran struktur sosial dan ekonomi membikin mereka susah menang.
Kemiskinan struktural bukan sekadar soal pendapatan yangg rendah. Ia adalah rantai panjang ketimpangan akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan apalagi pengakuan sosial.
Di banyak daerah, anak-anak lahir di tengah keterbatasan dan tumbuh tanpa banyak pilihan. Sekolah jauh, akomodasi kesehatan minim, kesempatan kerja sempit. Mereka terperangkap dalam lingkaran yangg berulang dari generasi ke generasi.
Kasat Mata Kemiskinan
Yang sering luput dari perhatian adalah bahwa kemiskinan jenis ini tidak selalu terlihat secara kasat mata. Kadang dia berbentuk pada petani yangg terus menanam, tapi tak pernah menikmati hasil panen, lantaran nilai ditentukan oleh tengkulak. Atau pekerja yangg bekerja dari pagi hingga malam, tetapi upahnya tak cukup menutup biaya hidup.
Bahkan di kota besar, kita bisa melihatnya pada pekerja informal yangg menggantungkan hidup pada nasib harian, tanpa agunan alias perlindungan sosial.
Baca Juga: Kemiskinan di Balik Standar: Saatnya Indonesia Mengadopsi Standar Global
Kemiskinan struktural juga dipelihara oleh kebijakan publik yangg tidak sensitif terhadap realitas lapangan. Ketika pembangunan terlalu konsentrasi pada proyek besar dan melupakan pemberdayaan rakyat kecil, lembah kesenjangan makin lebar. Infrastruktur memang penting, tetapi tanpa keberpihakan terhadap manusia di baliknya, kemajuan bakal menjadi milik segelintir orang.
Empati sosial menjadi perihal yangg semakin mendesak. Masyarakat yangg peka terhadap penderitaan sesama bakal menolak tak bersuara di hadapan ketidakadilan. Pemerintah yangg mempunyai empati bakal merancang kebijakan tidak hanya berasas efisiensi ekonomi, tetapi juga keadilan sosial. Dunia upaya yangg berempati bakal memandang pekerjanya bukan sekadar tenaga produksi, melainkan manusia yangg punya kewenangan untuk hidup layak.
Untuk memutus rantai kemiskinan struktural, kita perlu perubahan paradigma. Program support sosial memang membantu, tetapi tidak cukup. nan dibutuhkan adalah transformasi sistemik: pendidikan yangg betul-betul membuka mobilitas sosial, kebijakan agraria yangg adil, serta model ekonomi yangg memberdayakan masyarakat dari bawah.
Pentingnya Pendidikan dan Empati
Kemiskinan tidak bisa diselesaikan dengan infak semata, tetapi dengan keberanian mengubah sistem yangg timpang. Pendidikan memegang peran paling penting. Ia adalah jembatan yangg bisa membawa seseorang keluar dari keterbatasan menuju kemandirian.
Tetapi jembatan itu hanya berfaedah jika semua orang bisa menapakinya. Ketika kualitas sekolah berbeda jauh antara kota dan desa, alias ketika akses pendidikan tinggi hanya terbuka bagi yangg mampu, maka pendidikan justru memperkuat ketimpangan, bukan memutusnya.
Pada akhirnya, kemiskinan struktural adalah soal pilihan moral bangsa. Apakah kita mau membiarkan sebagian penduduk terus tertinggal lantaran sistem yangg tidak adil, alias kita berani memperbaiki fondasi agar semua orang punya kesempatan yangg sama?
Kemajuan tidak bakal berfaedah jika di kembali gedung tinggi dan pusat perbelanjaan megah, tetap ada family yangg kudu memilih antara makan alias menyekolahkan anaknya. Empati kudu menjadi dasar kebijakan dan perencanaan pembangunan. Karena bangsa yangg beradab bukan diukur dari seberapa kaya segelintir orang, melainkan dari seberapa sedikit warganya yangg tertinggal.
*Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) Universitas Ahmad Dahlan
English (US) ·
Indonesian (ID) ·