Ilustrasi foto dibuat oleh Gemini/AI
MAKLUMAT – Pondok pesantren sedang “diuji” oleh media, oleh publik, dan oleh langkah bumi membaca mereka. Berita-berita datang silih berganti, opini berseliweran, dan pesantren sering ditarik ke dalam pusaran persepsi yangg tidak utuh.
Selama ini pondok pesantren memilih diam. Bukan lantaran takut, tapi lantaran adab. Namun di era digital, tak bersuara sering disalah-artikan sebagai tanda kalah, apalagi bersalah. Padahal, pesantren adalah lembaga pendidikan paling organik dalam sejarah bangsa—lahir dari rahim masyarakat, tumbuh berbareng rakyat, dan memperkuat beratus-ratus tahun tanpa berjuntai pada sistem negara modern.
Pesantren terbukti lentur menghadapi zaman, tapi tetap berakar pada nilai. Namun di era digital, ketika media berkompetisi mengejar kecepatan dan sensasi, pondok pesantren sering jadi korban bias. Kasus sejumlah oknum seolah mewakili seluruh wajah pesantren di Indonesia.
Judul-judul bombastis menggiring opini publik seakan pondok pesantren adalah tempat yangg tertutup, kolot, kaku, banyak terjadi kekerasan santri, termasuk pelecehan seksual—padahal kejadian kejadian seperti ini bisa terjadi di semua tempat tanpa memandang status dan agama. Belum lagi pondok pesantren diframing seakan bakal berbudaya “feodal”, bahkan “ghuluw” dan persepsi miring lainnya.
Faktanya begitu banyak pondok pesantren yangg justru sangat terbuka terhadap kritik, melakukan reformasi kurikulum, dan membangun kultur berpikir modern tanpa meninggalkan ruh ke-Islaman. Dari pondok pesantren modern di kota besar hingga pondok pesantren tradisional di pelosok, semua bergerak menyesuaikan diri dengan tantangan zaman, ialah literasi digital, enterpreneurship, hingga teknologi media sosial.
Sayangnya, krisis literasi publik membikin nuansa itu jarang terbaca. Orang lebih mudah menghakimi daripada memahami. Padahal pondok pesantren, dengan segala kekhasan-nya adalah ruang pembelajaran moral paling alami yangg dimiliki bangsa ini.
Momen Hari Santri, Saatnya Pondok Pesantren Bicara
Kita tidak bisa terus membiarkan narasi pesantren didefinisikan orang luar. Sudah waktunya pondok pesantren menulis tentang dirinya sendiri — dengan narasi yangg cerdas, teduh, dan bernas. Santri bisa menjadi jurnalis. Kiai bisa datang di ruang digital tanpa kehilangan wibawa. Pondok pesantren bisa membangun kanal informasi, media sosial, hingga podcast dakwah yangg membumi.
Bicara bukan berfaedah kehilangan adab. Bicara adalah bagian dari tanggung jawab moral agar nilai-nilai luhur pondok pesantren tidak dipelintir oleh kebisingan media. Pesantren kudu menunjukkan bahwa kritik bukan ancaman, tapi kesempatan untuk tumbuh.
Tidak semua pondok pesantren berbudaya alias bertradisi feodal. Tidak semua tertutup, banyak yangg progresif, adaptif, dan justru menjadi jembatan antara kepercayaan dan modernitas.
Menjaga Adab, Merawat Narasi
Di tengah krisis literasi dan media yangg serba cepat, pondok pesantren bisa memberi contoh tentang gimana berbincang dengan keadaban. Menjawab tudingan dengan penjelasan, bukan kemarahan. Mendekati publik dengan pengetahuan, bukan pembenaran.
Dari sanalah pondok pesantren bisa kembali menjadi penuntun moral masyarakat. Pondok pesantren tidak sedang kalah oleh media. Ia hanya belum terbiasa menggunakan bahasa baru untuk menyampaikan nilai-nilai lama yangg agung.
Dan ketika pesantren mulai bicara dengan tenang, beradab, dan berbasis ilmu, maka publik bakal kembali mendengar. Bukan lantaran suaranya paling keras, tapi lantaran maknanya justru paling dalam.
*) Penulis: Rista Erfiana Giordano
Alumni Wali Santri eLKISI International Islamic Boarding School Mojokerto, Divisi Humas Lembaga Hikmah & Kebijakan Publik PWM Jatim, Redaktur Senior maklumat.id , dan Anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim
3 hari yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·