Menteri Keuangan Ini Bernama Asli Katoebin, Artinya: Lahir di Sawah Hari Ahad Legi - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 hari yang lalu

 Lahir di Sawah Hari Ahad Legi

Menteri Keuangan JB Sumarlin rupanya lahir di tengah sawah. Osborn memberinya penghargaan Menteri Keuangan Terbaik di Dunia pada 1989. Foto:Dok MK+

MAKLUMAT — Angin Ahad Legi, 7 Desember 1932, mendadak gaduh di tengah sawah Desa Ngadirejo. Karmilah, yangg sedang bekerja di antara padi menguning, tiba-tiba merasakan perutnya sakit. Perempuan itu rubuh.

Dia melahirkan seorang bayi laki-laki di sana, di area persawahan Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Kini Desa Ngadirejo masuk wilayah Kecamatan Kepanjen Kidul, Kota Blitar. Sawah itu milik ayahnya sendiri, Toedjo Towinangoen.

Mbah Boerhan, seorang pemuka kepercayaan yangg kebetulan lewat, membantu proses kelahiran darurat itu. Mereka menamai bayi itu Katoebin. Artinya: lahir di sawah pada hari Minggu.

Tak seorang pun menyangka, bayi laki-laki inilah yangg kelak ikut menentukan nasib ekonomi negeri ini.

Katoebin mini sering sakit-sakitan. Tiga tahun kemudian, family membawanya ke “orang pintar”. Orang itu menyarankan namanya kudu berbau perempuan. Akhirnya, nama Katoebin berganti Sumarlin.

Meski sang kakek, Toedjo Towinangoen, terpandang sebagai orang berada dengan sawah luas dan rimba jati, masa mini Sumarlin tidak mulus. Ia melewati banyak kerikil. Ayahnya, Sapoean Pawirodikromo, berpisah dengan Karmilah saat Sumarlin berumur lima tahun. Sumarlin mini hidup tanpa kasih utuh orang tua.

Ia sesekali bertandang ke desa sebelah, tempat ayahnya bermukim. Sang ayah kadang memberinya duit bekal. Dengan duit itu, Sumarlin yangg kelak mempunyai nnama Johannes Baptista (JB)–membeli jajanan kesukaannya: tiwul singkong dan pecel sayur.

Penyuka Tiwul

Antonius Widyatma, putra ketiga Sumarlin, bercerita bahwa sang ayah tetap mengudap tiwul hingga akhir hayatnya. “Saking sukanya, kadang konsumsinya berlebih,” tutur Anton seperti dilansir dari MK+.

Hidup jauh dari ayah menempa Sumarlin tidak kolokan. Dia selalu ikut sang ibu ke sawah. Dia turut membantu pekerjaan Karmilah. Ironisnya, ibunya seorang buta huruf yangg hanya bekerja sebagai pekerja di sawah milik kakeknya sendiri.

Keluarga petani masa itu tetap memegang budaya “dapur, sumur, kasur” untuk perempuan. Mereka tidak perlu sekolah. Anak laki-lakilah yangg utama mengenyam pendidikan.

Sumarlin tidak menyia-nyiakan keputusan kakeknya yangg mengirimnya ke volkschool (sekolah desa). Di Blitar, dia selalu menjuarai kelas. Ia lulusan terbaik dari volkschool Jatimalang dan vervolgschool Desa Sentul. Kepala Sekolah Adi Dirdjomajono apalagi memilih Sumarlin, bocah 10 tahun itu, sebagai Bintang Kelas.

Malam hari, Sumarlin tidur di amben sang kakek. Ia tidak hanya melepas lelah, tapi menantikan wejangan. Kakek Toedjo memakai bahasa sederhana. Sumarlin mengerti gimana kudu bersikap.

Aja adigang adigung adiguna. Jangan sok besar, sok hebat, sok jagoan.

Sumarlin, dalam kitab Cabe Rawit yangg Lahir di Sawah (2012) karya Bondan Winarno, mengakui amben itu adalah moment of truth. Percakapan di pembaringan bambu itu mengubah pendiriannya untuk membahagiakan sang ibu, tidak manja, dan lebih giat belajar.

Sang kakek juga menekankan pentingnya sekolah. “Kalau tak sekolah, Anda mau jadi apa? Lihat pamanmu! Dia bisa jadi pejabat lantaran sekolahnya tinggi.”

Wejangan itu terbukti. Rumah sang kakek semakin sesak seiring pertambahan penghuni. Sang ibu kemudian mempunyai anak dari pernikahan berikutnya. Akhirnya, sang kakek meminta Moekidjam, om Sumarlin yangg tentara, menjemputnya. Sumarlin pindah ke Kediri.

Episode hidupnya di Kediri dia jalani dengan ngenger (menumpang hidup). Anton berkisah, ayahnya kudu turut mengerjakan pekerjaan rumah agar dapat terus bersekolah.

Perang Kemerdekaan

Dari Kediri, dia mengikuti sang om ke Yogyakarta. Perang Kemerdekaan meletus. Sumarlin terpaksa putus sekolah. Di sinilah dia belajar pendidikan gerilya dan akhirnya, atas petunjuk paman, ikut bela negara sebagai tentara pelajar.

Akhir Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Sumarlin kudu membikin keputusan besar. Teman-temannya terus mengabdi di jalur militer. Sumarlin sempat goyah.

“Tapi saya menyadari bahwa saya tak punya ‘potongan’ menjadi tentara, saya juga tidak berbakat menjadi tentara lantaran tidak tahan memandang kekerasan,” katanya.

Ia memutuskan kembali ke bangku kelas dua SMA di Yogyakarta. Pada 1951, dia mengikuti sang om pindah ke Jakarta.

Di ibu kota, dia tinggal di Jalan Besuki 23, Menteng. Setiap sore, dia mengasuh dua sepupunya yangg tetap mini di Taman Suropati.

Anak sawah dari Blitar itu kemudian melanjutkan sekolah ke Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, meraih master dari Universitas Berkeley, dan menggondol gelar ahli dari Universitas Pittsburgh.

Ia tak menyadari bahwa kelak dia bakal berkantor di gedung-gedung megah, tak jauh dari taman tempatnya mengasuh sepupu. Ia tidak sekadar berkantor; dia 15 tahun mengabdi sebagai Menteri.

Neil Osborn, Pemimpin Redaksi Euromoney, apalagi menyebut guru besar ini satu-satunya menteri finansial di bumi yangg sukses mengubah struktur ekonomi di negaranya. Osborn memberinya penghargaan Menteri Keuangan Terbaik di Dunia pada 1989.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

-->
Sumber MaklumatID
MaklumatID