Menengok Kembali Gerakan Boikot, Kepedulian atau Hanya Pertunjukan? - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 tahun yang lalu

Oleh: Yusrina Dinar Prihatika

Terjadinya genosida tak berakhir di Palestina menimbulkan banyak sekali reaksi beragam dari beragam negara. Reaksi politis dari pemerintah ini tentu saja mempengaruhi langkah pandang masyarakatnya dalam memandang persoalan yangg tengah terjadi. Di sini, media massa mempunyai peran yangg sangat krusial dalam penyebaran informasi. Gerakan-gerakan mulai muncul setelah beredar banyak sekali pengarsipan mengerikan tentang korban-korban genosida yangg disebarkan di media sosial oleh para korban juga para wartawan perang. Mereka membikin unggahan yangg berkarakter support secara simbolis terhadap apa yangg mereka percaya. Ini yangg lantas disebut sebagai media sosial aktivisme.

Aktivis Sosial Media

Berada di media sosial memungkinkan terjadinya perbincangan dua arah antara aktivis dan audiens, memfasilitasi obrolan dan mobilisasi massa. Banyak sekali aktivitas aktivisme sekarang ini diikuti oleh anak muda yangg bermain media sosial. Aktivisme online untuk aktivitas “Free Palestine” merupakan contoh signifikan dari gimana media sosial digunakan untuk menyuarakan isu-isu politik dan kemanusiaan. Melalui platform seperti Twitter (X), Facebook, Instagram, dan TikTok, para aktivis dan pendukung menggunakan tagar seperti #FreePalestine dan #AllEyesOnRafah untuk meningkatkan kesadaran dunia tentang situasi di Palestina.

Ramainya protes yangg terjadi secara online membikin aktivisme online diharapkan bisa membikin suatu komitmen terhadap perubahan sosial dan politik, solidaritas global, serta kemauan untuk mengambil tindakan terhadap ketidakadilan menjadi dasar yangg kuat atas adanya kejadian ini.

Tindakan Boikot dan Pemaknaannya

Boikot produk yangg berafiliasi dengan Israel adalah salah satu corak aktivisme yangg digunakan oleh pendukung Palestina untuk menekan Israel mengenai kebijakan dan tindakannya terhadap Palestina. Tindakan ini merupakan bagian dari aktivitas yangg lebih luas yangg dikenal sebagai BDS (Boycott, Divestment, Sanctions).

Boikot terhadap perusahaan-perusahaan seperti McDonald’s, Starbucks, dan KFC merupakan bagian dari kampanye besar untuk memprotes support yangg diduga mereka berikan kepada Israel alias kebijakan Israel terhadap Palestina. Hal ini diharapkan dapat memberikan tekanan untuk perubahan.

Karena sebagian besar perseorangan menganggap bahwa boikot adalah langkah kita dan golongan untuk menunjukkan solidaritas dengan rakyat Palestina. Beberapa waktu lalu, kita semua dihebohkan dengan aktivitas boikot di media sosial tentang #BlockOut yangg kemudian melahirkan aktivitas aktivisme baru yangg bermaksud untuk melakukan block dan unfollow pada semua artis yangg dinilai mempunyai platform media sosial yangg cukup besar untuk menyuarakan kepedulian mereka tapi memilih bersikap netral.

Baca Juga: Refleksi Hari Tanah Palestina

Artis-artis besar seperti Taylor Swift, Justin Bieber, Kim Kardashian, hingga Lionel Messi dan tetap banyak lainnya. #Blockout dilakukan untuk mengambil kembali platform yang ‘kita’ berikan kepada para artis dengan angan mereka bakal peduli dan mengambil sikap tentang  apa yangg tengah menimpa Palestina.

Performative Activism

Dengan  ramainya tindakan aktivisme di media  sosial yangg menunjukkan support terhadap Palestina, masyarakat terutama Gen Z beramai-ramai ‘merayakan’ dengan mengunggah template-template tertentu sebagai corak solidaritas. Baik itu dengan langkah mengunggah link bantuan alias juga dengan mengunggah poster-poster himbauan boikot produk-produk terafiliasi Israel.

Performatif aktivisme adalah tindakan mendukung suatu aktivitas alias rumor sosial secara dangkal, terutama untuk meningkatkan gambaran diri alias mendapatkan pengakuan, tanpa komitmen nyata terhadap perubahan alias tindakan substansial. Dalam konteks boikot terhadap produk alias perusahaan yangg diduga mendukung Israel, “performative activism” bisa terjadi ketika seseorang memposting support untuk boikot di media sosial tetapi tidak betul-betul memboikot dalam kehidupan sehari-hari.

Aktivisme dilakukan hanya sebagai pagelaran untuk dilihat orang lain. Misalnya, memposting di media sosial tentang boikot McDonald’s, Starbucks, dan KFC tanpa betul-betul berakhir mengkonsumsi produk mereka. Tidak ada komitmen alias perubahan dalam tindakan sehari-hari. Dukungan hanya terbatas pada kata-kata alias simbolis pada sosial media, tanpa perubahan dalam perilaku konsumsi.

Tak jarang juga “performative activism” dilakukan lantaran fear of missing out (FOMO) dan mencari penerimaan sosial adalah kejadian di mana perseorangan berperan-serta dalam aktivitas sosial alias menunjukkan support untuk isu-isu tertentu semata-mata untuk tidak merasa tertinggal alias untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. Tentu saja ini bakal berpengaruh pada kekuatan dan efektivitasnya. Boikot yangg tidak dilaksanakan dengan konsisten tidak bakal memberikan tekanan ekonomi yangg cukup besar untuk mendorong perubahan.

Meski begitu, mendukung aktivitas di media sosial bisa menjadi langkah awal yangg baik untuk meningkatkan kesadaran, tetapi tindakan nyata dan komitmen jangka panjang adalah yangg membikin perbedaan sejati. Jika seseorang betul-betul mau mendukung aktivitas seperti boikot terhadap perusahaan tertentu, krusial untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya di bumi maya.

*Penulis adalah Mahasiswa Sastra Inggris – Pengkajian Amerika Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id