Transformasi dari fixed mindset menuju growth mindset. (Ilustrasi dibuat menggunakan SORA)
MAKLUMAT — Salah satu jebakan berpikir yangg sering menghalang perkembangan diri adalah kebiasaan meminta bantuan. Meski pernyataan ini terkesan kontroversial, namun pola pikir ini tanpa disadari justru dapat menjadi penghalang kesuksesan. Mengapa?
Pengajar UMG, Dr. Suyoto, M.Si. (Kang Yoto).Pertama, konsentrasi pada kelemahan mengabaikan kekuatan. Psikologi positif, yangg dipelopori Martin Seligman, menegaskan bahwa kesadaran bakal character strengths (kekuatan karakter) adalah kunci menuju flourishing—keadaan sejahtera dan optimal. Ketika kita terlalu sering meminta bantuan, perhatian kita teralihkan pada apa yangg tidak kita miliki. Akibatnya, potensi dan talenta terpendam yangg Allah anugerahkan justru terabaikan dan tidak tergali. Kita menjadi seperti peminta-minta yangg duduk di atas kekayaan karun, tetapi sibuk memandang mangkuk kosong di tangannya.
Kedua, mentalitas meminta menjauhkan peluang. Dalam pengetahuan komunikasi, pesan yangg kita sampaikan mencerminkan identitas diri. Sikap yangg terlalu sering “meminta” tanpa tawaran nilai tambah, tanpa disadari, memancarkan vibrasi ketergantungan. Dalam hubungan sosial maupun profesional, manusia pada hakikatnya tertarik pada sinergi dan nilai tambah.
Sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Najm (53): 39, “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yangg telah diusahakannya.” Ayat ini menegaskan prinsip cause and effect (sebab-akibat). Dunia lebih tertarik pada orang yangg aktif menciptakan nilai (usaha), bukan pasif menunggu uluran tangan.
Ketiga, setiap orang mempunyai “kapal”-nya sendiri. Setiap insan dibebani oleh Allah dengan ujiannya masing-masing, sesuai dengan kemampuannya (QS. Al-Baqarah: 286). Dengan membiasakan meminta, kita tanpa sadar berupaya memindahkan “beban” kita ke pundak orang lain. Sayangnya, tidak banyak orang yangg sanggup alias bersedia menanggung beban hidup orang lain secara berkelanjutan. Hal ini justru dapat merenggangkan relasi.
Transformasi Mental: Dari “Pengemis” menjadi Pemberi Manfaat
Lantas, apa solusinya? Islam justru mengajarkan kita untuk menjadi pemberi, bukan peminta. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yangg paling berfaedah bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad). Paradigma ini kudu diubah total. Alih-alih meminta bantuan, hadirkanlah diri dengan semangat memberi faedah dan menciptakan nilai tambah.
Setiap masalah, termasuk yangg kita hadapi, kudu dilihat sebagai ruang belajar untuk tumbuh. Saat kita perlu melibatkan orang lain, sampaikanlah masalah tersebut bukan sebagai beban yangg perlu ditanggung, melainkan sebagai tantangan berbareng yangg perlu dipecahkan. Kemudian, posisikan diri kita sebagai pihak yangg siap memikul tanggung jawab terbesar dalam mewujudkan solusi tersebut.
Misalnya, alih-alih berkata, “Saya butuh support Anda untuk menyelesaikan proyek ini,” kita bisa mengkomunikasikan, “Saya sedang mengerjakan proyek X yangg mempunyai potensi besar untuk (sebutkan manfaat). Saya percaya dengan kerjasama kita, kita bisa mencapai hasil yangg lebih gemilang. Saya telah menyiapkan (rencana A, B, C) dan siap memimpin eksekusinya.”
Dengan pendekatan ini, kita tidak lagi dilihat sebagai pihak yangg lemah, melainkan sebagai mitra yangg penuh inisiatif, bertanggung jawab, dan menawarkan nilai tambah. Kita beranjak dari mental fixed, mindset yangg pasif, menuju growth mindset yangg percaya pada kapabilitas untuk berkembang.
Dengan meninggalkan mentalitas meminta dan beranjak kepada semangat memberi, kita tidak hanya menjalankan sunnah Rasulullah Saw, tetapi juga mengaktifkan norma tarik-menarik alam semesta: memberi untuk menerima, berupaya untuk mendapatkan, dan berkontribusi untuk berkembang. Inilah jalan untuk membuka potensi luar biasa yangg telah Allah titipkan dalam diri kita.
Gresik, 25 Oktober 2025
*) Penulis: Dr. Suyoto, M.Si. (Kang Yoto)
Bupati Bojonegoro 2008–2018; Chancellor United in Diversity; Pengajar FAI Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG)
9 jam yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·