Ketika Hati Mulai Lelah: Krisis Spiritual di Tengah Gelombang Kehidupan Modern - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 11 jam yang lalu

Ketika Hati Mulai Lelah: Krisis Spiritual di Tengah Gelombang Kehidupan Modern

Oleh: Syahbana Daulay

Kehidupan modern yangg serba bergerak telah membawa manusia pada ironi eksistensial: semakin banyak memiliki, justru semakin sering merasa hampa. Di kembali senyum media sosial dan kesuksesan karier, banyak hati yangg sesungguhnya lelah, capek lantaran kehilangan arah spiritual. Fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan non-religius, tetapi juga menimpa sebagian umat Islam yangg imannya tergerus rutinitas duniawi.

Kelelahan hati (spiritual fatigue) adalah keadaan ketika seseorang merasa hampa, kehilangan semangat ibadah, dan susah menemukan makna hidup. Dalam Islam, kondisi ini dikenal sebagai fatrah, ialah penurunan semangat ketaatan setelah sebelumnya kuat. Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً، وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةً، فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِي فَقَدْ أَفْلَحَ

“Sesungguhnya setiap kebaikan mempunyai masa semangat, dan setiap masa semangat itu bakal diikuti masa futur (lemah semangat). Barang siapa futur-nya tetap di atas sunnahku, maka dia bakal beruntung.” (HR. Ahmad)

Artinya, kelelahan adalah bagian alami dari perjalanan iman, namun yangg krusial adalah gimana seorang Muslim mengelolanya agar tetap berada dalam koridor sunnah.

  1. Akar Kelelahan Hati dalam Kehidupan Modern

Secara psikologis, kelelahan spiritual timbul lantaran kesenjangan antara kemauan dan kenyataan. Tekanan untuk “menjadi sempurna” dalam segala aspek -karier, keluarga, apalagi ibadah- membikin manusia terperangkap dalam perlombaan tanpa arah. Ketika hasil tidak sesuai harapan, timbullah frustrasi dan rasa kehilangan makna.

Dari perspektif Islam, akar kelelahan hati sesungguhnya terletak pada menurunnya hubungan dengan Allah. Ketika hati terlalu konsentrasi pada dunia, dia kehilangan sumber energinya: dzikrullah. Allah SWT mengingatkan:

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra‘d [13]: 28)

Ayat ini menunjukkan bahwa ketenangan bukan produk materi alias pencapaian sosial, melainkan buah dari kesadaran tauhid, kepercayaan bahwa Allah-lah satu-satunya tempat bersandar dan bergantung.

  1. Kelelahan sebagai Ujian dan Pendidikan Ruhani

Dalam logika iman, ujian dan kelelahan bukan tanda penolakan Allah, melainkan metode pendidikan Ilahi. Allah berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

“Dan sungguh Kami bakal menguji Anda dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah berita ceria kepada orang-orang yangg sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 155)

Ayat ini menegaskan bahwa rasa capek adalah bagian dari ujian ilahi yangg berfaedah menumbuhkan sabar, memperhalus jiwa, dan membersihkan hati dari kesombongan. Dalam pandangan Imam Ibnul Qayyim, ujian adalah tazkiyah, ialah penyucian jiwa agar manusia kembali berjuntai kepada Allah setelah lama tertipu oleh kekuatan dirinya sendiri.

Dengan demikian, kelelahan spiritual bukan penyakit yangg kudu dihindari, tetapi proses yangg kudu dimaknai. Ia adalah tanda bahwa Allah sedang membujuk hamba-Nya berakhir sejenak, merenung, dan kembali bertawakal diri.

  1. Strategi Islam dalam Mengelola Kelelahan Hati

Islam adalah kepercayaan yangg sangat manusiawi. Ia memahami bahwa hati manusia tidak selalu kuat; ada masa-masa di mana semangat menurun, angan terasa berat, dan angan seakan redup. Namun, Islam tidak berakhir pada pengakuan bakal kelelahan itu, Islam menawarkan jalan pemulihan, baik secara spiritual, emosional, maupun sosial. Strategi yangg ditawarkan Islam bukan sekadar teori, melainkan terapi ruhani yangg telah terbukti menenangkan jiwa sepanjang sejarah umat manusia.

  1. Tafakkur dan Tadabbur: Menemukan Kembali Makna Hidup

Salah satu penyebab utama kelelahan hati adalah hilangnya makna hidup. Manusia menjadi letih bukan semata lantaran beban pekerjaan alias masalah, tetapi lantaran kehilangan arah kenapa semua itu dijalani. Di sinilah pentingnya tafakkur (merenung) dan tadabbur (menghayati) ayat-ayat Allah, baik yangg tertulis dalam Al-Qur’an maupun yangg terhampar dalam alam semesta.

AllahSWT berfirman:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

“Sesungguhnya dalam pembuatan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yangg berakal.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 190)

Tafakkur mengajarkan bahwa tidak ada kesulitan tanpa hikmah. Ia menuntun hati untuk memandang makna di kembali ujian, bukan hanya rasa sakitnya. Dengan tadabbur, seseorang memahami bahwa hidup ini mempunyai arah Ilahi; setiap kejadian, apalagi yangg menyakitkan, adalah bagian dari skenario Allah yangg mendidik dan menumbuhkan jiwa. Dalam konteks psikologis, tafakkur menumbuhkan self-awareness (kesadaran diri) dan spiritual resilience (ketangguhan batin) yangg menjadi dasar kesehatan mental Islami.

b. Dzikir dan Doa: Terapi Ruhani Penguat Jiwa

Dzikir adalah jantung dari ketenangan batin. Bukan sekadar menyebut nama Allah dengan lisan, tetapi menghadirkan-Nya dalam setiap tarikan napas dan debar jantung. Saat hati lelah, dzikir menjadi oase yangg menghidupkan kembali ruh yangg haus bakal kedekatan dengan Penciptanya.

Allah SWT berfirman:

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. ar-Ra‘d [13]: 28)

Penelitian dalam psikologi Islam modern menunjukkan bahwa dzikir dapat menurunkan kadar hormon stres (kortisol), memperlambat debar jantung, dan meningkatkan emosi damai. Rasulullah SAW bersabda: “Perbanyaklah mengingat Allah hingga orang-orang menyangka Anda gila.” (HR. Ahmad)

Dzikir dan angan bukan hanya corak ibadah, tetapi proses pengobatan spiritual (spiritual healing). Ia menenangkan sistem saraf, menstabilkan emosi, dan mengembalikan keseimbangan antara akal, hati, dan ruh. Dalam doa, seorang hamba mengakui keterbatasannya dan menyerahkan segala urusan kepada Zat nan Maha Kuasa, dan di situlah lahir kekuatan sejati.

c. Tawakkal dan Berserah: Melepaskan Beban Kendali

Banyak hati menjadi letih lantaran terlalu mau mengontrol segalanya. Padahal, sebagian besar perihal dalam hidup berada di luar kendali manusia. Islam mengajarkan tawakkal, ialah menyerahkan hasil kepada Allah setelah berupaya sebaik-baiknya. Tawakkal bukan pasrah tanpa usaha, melainkan corak kepercayaan penuh bahwa Allah lebih tahu apa yangg terbaik.

Allah SWT menegaskan:

وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ

“Tidak ada taufik bagiku selain dengan (pertolongan) Allah.” (QS. Hūd [11]: 88)

Tawakkal melepaskan beban psikis yangg disebabkan oleh perfeksionisme dan kekhawatiran berlebihan. Seseorang yangg bertawakkal bakal tenang, lantaran dia tahu bahwa hasil bukan tanggung jawabnya, tugasnya hanyalah berupaya dan berdoa. Secara spiritual, tawakkal adalah corak cinta kepada Allah yangg mendalam: percaya bahwa setiap ketetapan-Nya selalu membawa kebaikan, meskipun tidak selalu terlihat.

d. Kebersamaan dalam Jamaah: Menguatkan Diri Melalui Ukhuwah

Kelelahan hati sering kali muncul lantaran seseorang berjuang sendirian. Islam tidak pernah menganjurkan hidup dalam kesendirian yangg membikin jiwa rapuh. Rasulullah ﷺ menegaskan pentingnya ukhuwah dan kebersamaan dalam menegakkan keagamaan dan menghadapi ujian hidup.

Beliau bersabda: “Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya ibaratkan satu tubuh; jika satu personil tubuh sakit, seluruh tubuh ikut merasakan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam konteks ini, kebersamaan bukan hanya dalam corak fisik, tetapi juga emosional dan spiritual. Berada dalam jamaah yangg saling menasihati dan mendukung dapat menguatkan semangat dan menghidupkan kembali optimisme yangg sempat padam. Dukungan sosial yangg positif merupakan salah satu pilar utama dalam menjaga kesehatan mental menurut ilmu jiwa modern, dan Islam telah mengajarkannya jauh sebelum pengetahuan ilmu jiwa berkembang.

  1. Krisis Spiritual Generasi Muda: Tantangan Zaman Digital

Fenomena kelelahan hati (spiritual fatigue) bukan lagi hanya persoalan perseorangan yangg lemah iman, tetapi telah menjadi gejala sosial global yangg juga melanda generasi muda Muslim. Di era digital, ketika bumi berada dalam genggaman tangan, hati manusia justru semakin kosong. Paradoks ini menggambarkan gimana kemajuan teknologi tidak selalu seiring dengan kematangan spiritual.

Tekanan era digital membikin banyak pemuda terjebak dalam pencarian eksistensi yangg dangkal. Mereka mau terlihat bahagia, tetapi kehilangan makna kebahagiaan itu sendiri. Inilah yangg disebut para ustadz sebagai futur ruhani, kelesuan spiritual akibat jauhnya hati dari zikir dan kesadaran ilahiah.

Dalam konteks ini, dakwah Islam kudu datang bukan hanya dengan dogma, tetapi dengan empati dan pendekatan psikologis. Pemuda tidak hanya butuh nasihat, tetapi juga ruang kondusif untuk bertanya, menangis, dan belajar mendekat kepada Allah dengan langkah yangg penuh kasih.

  1. Dimensi Spiritualitas: Allah Tidak Pernah Jauh

Ketika hati mulai lelah, sering kali muncul emosi bahwa Allah telah menjauh. Padahal, itu hanyalah persepsi jiwa yangg tertutup oleh kabut dunia. Allah berfirman:

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qāf [50]: 16)

Ayat ini menjadi argumentasi teologis bahwa jarak antara manusia dan Allah tidak pernah ada. nan menjauh hanyalah hati yangg terlalu sibuk dengan dunia. Maka saat kita merasa lelah, solusi terbaik bukanlah menjauh dari ibadah, tetapi justru mendekat lebih dalam dengan angan dan sujud.

Kesimpulan

Kelelahan hati adalah kejadian spiritual universal, terutama di era modern yangg serba cepat. Islam mengajarkan bahwa kelelahan bukan akhir dari perjalanan iman, melainkan awal dari pendewasaan rohani. Dengan mengembalikan kesadaran kepada Allah, memperbanyak dzikir, dan menguatkan ketaatan melalui sabar dan tawakal, seorang Muslim bakal menemukan ketenangan sejati yangg tidak dapat diberikan oleh dunia.

“Jika Anda merasa lemah, itu bukan lantaran Allah menjauh, tapi lantaran Anda terlalu lama memikul beban sendirian. Serahkan kembali semuanya kepada-Nya.” Wallahu a’lam

*** Penulis, Syahbana Daulay, Dosen UMSU

-->
Sumber infomu.co medan
infomu.co medan