Keteladanan Nabi dalam Kehidupan Rumah Tangga - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 tahun yang lalu

Oleh: Lailatul Fithriyah Azzakiyah

Memiliki family yangg harmonis, penuh ketenangan (sakinah) dan kebahagiaan (sa’adah), bertabur cinta kasih (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah) adalah angan setiap orang. Sakinah secara harfiah terambil dari kata sakana yangg berfaedah sakata ba’da taharruk (diam setelah bergerak). Dari kata ini terbentuk kata maskan yangg berfaedah tempat tinggal. Disebut demikian, lantaran tempat di mana sebuah family bertempat tinggal, diharapkan menjadi tempat yangg tenang, penuh kedamaian, tempat melepas segala kepenatan setelah seharian bergerak dan beraktivitas di luar.

Adapun kata mawaddah diartikan cinta kasih, yangg berfaedah kemauan kuat mempunyai dan rela berkorban. Sementara rahmah yangg terambil dari kata yangg sama dengan rahim dan menjadi salah satu nama baik Allah (al-Asma’ Al-Husna) mempunyai makna lembut dan penyayang.

Untuk mewujudkan family sakinah yangg penuh mawaddah dan rahmah, perlu dilakukan prinsip-prinsip dalam menjalankan kehidupan rumah tangga. Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih XXVII PP Muhammadiyah merumuskan lima prinsip dasar dalam perkawinan, yaitu;

Pertama, asas karamah insaniyyah, ialah menempatkan manusia (laki-laki dan perempuan) sebagai makhluk Allah yangg mempunyai kemuliaan dan kedudukan utama. Kedua, hubungan kesetaraan. Maknanya, pola hubungan antar manusia yangg didasarkan pada sikap penilaian bahwa semua manusia mempunyai nilai yangg sama. Ketiga, asas keadilan. Keempat, asas mawaddah wa rahmah. Kelima, asas pemenuhan kebutuhan hidup sejahtera bumi akhirat.

Selain dari itu, ayat-ayat Alquran juga menjelaskan tentang prinsip-prinsip dalam rumah tanggatangga, seperti mu’asyarah bil-ma’ruf (saling memperlakukan baik), musyawarah, dan saling rela (‘an taradhin), lantaran pernikahan sejatinya adalah ikatan yangg kokoh (mitsaqan ghalidzan).

Dengan menerapkan prinsip-prinsip di atas, maka sejatinya dalam sebuah pernikahan terdapat kewenangan dan tanggungjawab yangg kudu dijalankan dengan baik dan penuh tanggung jawab oleh seluruh personil keluarga. Suami istri hendaknya menjalankan tugas tanggungjawab dengan sebaik-baiknya tanpa ada diskriminasi satu sama lain, alias membebani satu orang sementara yangg lain merasa lepas dari tanggung jawab.

Jika ketaatan kepada suami adalah kewajiban, maka suami sebagai pelindung (qawwam) bagi istri juga sebuah keniscayaan. Menjalankan kerja sama dalam rumah tangga, termasuk dalam pekerjaan domestik tidak hanya sesuai dengan mu’asyarah bil-ma’ruf, keadilan, kesamaan kemanusiaan, melainkan juga meneladani kehidupan Rasulullah saw.

Dalam kitab Bilik-bilik Muhammad Saw: Kisah Sehari-hari Rumah Tangga Nabi, Nizhar Abazhah, seorang penulis dari Turki memaparkan keseharian dan keteladanan dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah saw. Selain sederhana, penuh cinta, amanah, rendah hati, mencintai ilmu, dan tak kalah krusial adalah Rasulullah bertindak sangat baik pada family dan melayaninya.

Dalam sebuah hadis, Aisyah Ra menceritakan bahwa Nabi saw mengerjakan hal-hal sederhana untuk membantu istri beliau, seperti mengangkat ember dan menjahit baju. Aisyah menuturkan bahwa Nabi Muhammad sering menjahit baju yangg sobek, memperbaiki sandal yangg putus, dan mengerjakan pekerjaan yangg biasa dilakukan suami di rumahnya.

Beliau juga menyembelih kambing sendiri. Rasulullah tak segan pergi ke pasar, menjual kurma untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketika ada peralatan rumah tangga yangg rusak, seperti ember yangg digunakan untuk mengambil air rusak, beliau memperbaikinya sendiri. Beliau juga memerah sendiri susu kambing peliharaannya, apalagi juga memanggul batu-batu pembangunan masjid.

Keteladanan rumah tangga yangg dicontohkan Nabi ini tentu berkapak juga pada para sahabat dan orang-orang terdekatnya. Anas bin Malik, pelayannya selama 13 tahun, memberi kesaksian bahwa Nabi Muhammad lebih banyak melayani pembantunya, daripada pembantunya melayaninya.

Demikian pula dengan Jabir bin Abdullah. Dikisahkan bahwa Jabir dengan kepiawaiannya menyediakan masakan bagi para prajurit di Perang Khandaq. Selain istrinya yangg memasak, Jabir juga ikut sibuk membantu istrinya; mengolah gandum dan kambing yangg disembelihnya.

Wabah al-Zuhaili dalam kitabnya Qadhaya al-Fiqh wa al-Fikr al-Mu’ashir menjelaskan bahwa pekerjaan rumah tangga sejatinya bukanlah absolut tanggungjawab istri semata. “Ini semuanya termasuk bagian melakukan baik dan kebiasaan yangg diterapkan manusia. Ketika istri memasak roti, menanak, mencuci pakaian, dan lain-lain, kesemuanya adalah corak sukarela dan perbuatan baik istri kepada suami, juga termasuk bagian hubungan dan mengerjakan sesuatu yangg baik. Itu semua tidak ada yangg wajib atas istri. Bahkan, andaikata istri tidak berkenan mengerjakan semuanya, dia tidak berdosa. Justru suamilah yangg kudu melakukan itu semua untuk istri. Suami juga tidak diperkenankan untuk mewajibkan istri mengambil semua pekerjaan tersebut. Istri mengerjakan semuanya dalam rangka sukarela.”

Hidup di era modern seperti sekarang ini, mungkin perlu adanya kontekstualisasi. Ketika para wanita juga banyak mengambil peran di publik, maka kerja sama dan pembagian kerja antara suami-istri baik dalam pekerjaan-pekerjaan domestik maupun urusan publik perlu dilakukan.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip perkawinan tersebut, bakal sangat menarik jika suami-istri sama-sama mempunyai komitmen untuk bekerja sama dalam urusan domestik alias publik dan melibatkan seluruh personil keluarga. Anggapan bahwa pekerjaan domestik lebih rendah dari pekerjaan publik sudah tidak relevan lagi untuk diperbincangkan.

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id