Kasus Timothy dan Krisis Kemanusiaan di Dunia Kampus: Kemana Sesungguhnya Arah Pendidikan Kita? - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 hari yang lalu

Oleh: Rachminawati*

Kabar duka datang dari bumi kampus. Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Universitas Udayana, Bali, ditemukan meninggal bumi setelah diduga melompat dari lantai dua salah satu gedung di kampusnya.

Publik kemudian ramai memperkirakan bahwa kejadian tragis tersebut diduga akibat adanya perundungan (bullying) pada Timothy oleh teman-temannya di kampus.

Berita ini bukan hanya menyedihkan, tetapi juga mengguncang kesadaran banyak orang tua dan pendidik. Bahwa kampus rupanya bukan tempat yangg kondusif dan bebas dari bullying. Kasus ini membuka fakta, rupanya usia mahasiswa yangg semestinya dianggap cukup dewasa dalam bersikap dan bertindak, rupanya tidak begitu adanya.

Hidup Timothy justru berhujung di tempat yangg semestinya menjadi ruang tumbuh terbaik; kampus. Bahkan setelah kepergiannya, beberapa mahasiswa di kampusnya menunjukkan sikap nir empati atas kejadian yangg menimpanya.

Sebagai orangtua, saya merasakan betul sakitnya peristiwa ini. Semoga ini menjadi duka terakhir, dan pesan kepergian Timothy bisa memberikan hikmah pada perjalanan Pendidikan bangsa ini.

Mengapa Bullying Masih Hidup di Perguruan Tinggi?

Banyak orang mengira bahwa bullying hanya terjadi di sekolah dasar alias menengah. Namun kenyataannya, kekerasan ini tidak mengenal jenjang pendidikan. Ia bisa tumbuh di mana saja ketika budaya kekuasaan, senioritas, dan pamor tetap berakar kuat.

Di kampus, bentuknya sering kali lebih tersembunyi dan lebih halus. Biasanya melalui lelucon yangg merendahkan, tekanan sosial dalam organisasi, hingga pengucilan terhadap mahasiswa yangg dianggap “berbeda”.

Fenomena ini menunjukkan bahwa pendidikan tinggi kita belum sukses menanamkan nilai empati dan penghargaan terhadap martabat manusia. Budaya akademik yangg semestinya menumbuhkan logika kritis dan tanggung jawab sosial, justru kerap tergantikan oleh mentalitas kompetitif yangg dingin dan individualistis.

Baca Juga: Peran Strategis Aisyiyah dalam Memutus Rantai Bullying pada Anak

Padahal, tujuan pendidikan tinggi itu tidak hanya untuk mencetak tenaga ahli dan inovator, tetapi juga untuk membentuk manusia yangg beriman, bertakwa, beradab mulia, cakap, kreatif, mandiri, serta bertanggung jawab terhadap kemanusiaan dan peradaban.

Namun, dalam praktiknya, kampus sering kali lebih sibuk mengejar akreditasi, ranking, dan sertifikasi, daripada menumbuhkan karakter mahasiswa yangg sesuai dengan tujuan pendidikan tinggi itu sendiri.

Kita mendidik mahasiswa untuk berpikir cepat, tetapi tidak selalu mengajarkan mereka untuk berpikir merasakan rasa. Kita membanggakan kepintaran kognitif, namun melupakan kepintaran moral dan emosional. Akibatnya, tidak sedikit lulusan yangg pandai secara akademik, tetapi gagap menghadapi perbedaan. Mudah menyakiti dengan kata-kata, apalagi tega menekan sesamanya demi pengakuan sosial.

Kampus yangg semestinya menjadi ruang kondusif dan inklusif bagi tumbuhnya pendapat dan empati, sekarang sering terasa seperti arena kejuaraan yangg penuh tekanan dan tuntutan sosial yangg keras.

Maka pertanyaannya: Ke mana sesungguhnya arah pendidikan tinggi kita saat ini? Apakah kampus tetap menjadi tempat menumbuhkan manusia berbudi pekerti luhur, alias justru kehilangan jiwanya sebagai lembaga pembentuk peradaban kemanusiaan?

Kehidupan Kampus, Cermin Pendidikan Rumah

Sangat wajar jika kita mempertanyakan peran kampus atas kegagalannya menumbuhkan manusia berbudi pekerti luhur. Akan tetapi, sebetulnya sebagai orangtua, kita pun perlu menengok kembali ruang paling awal tempat karakter anak dibentuk, ialah keluarga.

Keluarga adalah sekolah pertama seorang manusia bisa berperikemanusiaan. Di sanalah anak belajar mengenal cinta, menghargai perbedaan, serta memahami bahwa setiap manusia mempunyai martabat yangg sama.

Sayangnya, saat ini banyak family terjebak dalam budaya kejuaraan materialistik. Anak-anak diajarkan untuk berlari mengejar nilai, prestasi, dan gengsi, tetapi tidak diajarkan gimana untuk bisa peduli dan empati pada sesama.

Nilai rapor, ranking dan prestasi lainnya sering kali lebih dihargai daripada kejujuran, empati, dan tanggung jawab. Akibatnya, ketika mereka tumbuh dan memasuki bumi luar rumah apalagi sampai bumi kampus, mereka kebingungan dan kehilangan arah. Ada yangg menindas untuk mendapatkan kuasa, ada yangg tak bersuara tidak bersuara lantaran terlalu takut disalahkan alias disakiti.

Hal tersebut menjadikan kampus yangg semestinya menjadi tempat anak muda mengasah nurani dan logika kritis, malah menjadi arena baru untuk mereproduksi beragam kekerasan atas nama prestasi dan gengsi.

Kehidupan kampus adalah cermin pendidikan rumah. Jika rumah mengajarkan nilai kasih dan kemanusiaan, kampus bakal menjadi ruang tumbuh yangg baik, penuh kerjasama dan rasa empati. Karena itu, family perlu kembali menemukan peran fitrahnya dalam membangun peradaban ini, ialah menumbuhkan anak yangg bukan hanya pandai pikirannya, tapi juga lembut hatinya, seorang insan kamil yangg menjadi rahmat bagi semesta alam.

Penegakan Hukum untuk Keadilan bagi Keluarga Timothy

Kasus meninggalnya Timothy yangg diduga mengenai dengan perundungan di lingkungan kampus kudu menjadi momentum refleksi serius bagi Lembaga Pendidikan tinggi dan abdi negara penegak hukum. Terlebih orangtua Timothy sudah membawa kasus ini ke ranah hukum. Sebuah pertanyaan: sejauh mana keadilan betul-betul berpihak pada korban alias keluarganya?

Kita sering kali memandang penanganan kasus bullying alias kekerasan lainnya yangg terjadi di lembaga Pendidikan berhujung dengan mediasi, permintaan maaf, alias pernyataan damai. Padahal, setiap corak perundungan yangg menyebabkan penderitaan bentuk maupun psikis merupakan pelanggaran terhadap kewenangan asasi manusia.

Konstitusi kita, UUD 1945 Pasal 28 menjamin kewenangan setiap orang untuk hidup, memperoleh rasa aman, dan terlindung dari perlakuan yangg merendahkan martabat. Demikian pula Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menegaskan bahwa setiap penduduk negara berkuasa atas perlindungan dari kekerasan dalam corak apa pun.

Pengaturan norma ini menunjukkan jika kasus seperti yangg dialami family Timothy tidak boleh berakhir pada simpati publik semata, tetapi kudu dilanjutkan dengan penegakan norma yangg transparan, berkeadilan, dan berpihak pada korban serta keluarganya.

Keadilan bukan hanya tentang menghukum pelaku, tetapi juga tentang memulihkan luka dan memastikan tidak ada lagi korban berikutnya. Perguruan tinggi mempunyai tanggung jawab moral sekaligus norma untuk menciptakan lingkungan belajar yangg aman, manusiawi, dan bebas dari segala corak kekerasan.

Negara pun kudu memastikan adanya sistem perlindungan yangg kuat melalui peraturan turunan alias kebijakan yangg lebih tegas. Bukan hanya untuk kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam Permendikbud No. 30 Tahun 2021, tetapi juga untuk bullying dan kekerasan nonseksual yangg sering kali luput dari perhatian.

Keadilan bagi Timothy dan family sesungguhnya merupakan ujian bagi penegakkan norma dan HAM di negeri ini. Ketika norma berpihak pada korban dan keluarganya, bukan pada reputasi lembaga, serta dapat melahirkan pengaruh jera yangg efektif, barulah kita bisa berbicara bahwa bangsa ini betul-betul berdiri di atas norma dan keadilan.

Peran ‘Aisyiyah Mencegah ‘Timothy’ Lainnya

Kasus Timothy adalah sirine moral bagi bangsa ini. Ia menandakan sungguh lemahnya sistem pendidikan kita dalam membangun rasa kemanusiaan. Ketika satu anak kehilangan hidupnya akibat kekerasan, ketika banyak anak didik tumbuh nir empati, sesungguhnya sistem pendidikan kita ini sedang sakit parah.

Kita tidak boleh menunggu sampai ada lagi kasus serupa untuk berubah. Kita kudu memastikan bahwa Timothy bakal menjadi korban terakhir. Pendidikan kudu kembali sesuai tujuan dan arahnya ialah menumbuhkan kesadaran diri, empati, dan tanggung jawab.

Keluarga kudu kembali menjadi sekolah pertama untuk semua karakter baik, sementara kampus menjadi ruang berikutnya untuk terus bertumbuh baik menjadi manusia insan kamil.

Dalam konteks inilah, ‘Aisyiyah datang sebagai aktivitas wanita Islam berkemajuan yangg meneguhkan pendidikan fitrah di keluarga. Melalui dakwah bil hikmah, penguatan keluarga, dan pendidikan berbasis Islam, ‘Aisyiyah telah sejak lama menanamkan kesadaran bahwa pendidikan tidak boleh tercerabut dari fitrah manusia.

Program seperti Gerakan ‘Aisyiyah Cinta Anak (GACA) termasuk di dalamnya aktivitas anti bullying membuktikan bahwa ‘Asiyiyah sudah menangkap kejadian ini sejak awal dan terus bergerak dengan menghadirkan beragam solusi. Di tengah banyak persoalan bangsa mengenai dengan anak muda dan segala fenomenanya, ‘Aisyiyah kudu terus dapat menjadi penjaga dan penerang nurani ummat, kudu selalu lantang menyuarakan nilai rahmatan lil ‘alamin agar tidak ada lagi anak muda yangg kehilangan masa depan lantaran kekerasan.

Sudah saatnya pendidikan tinggi kita tidak hanya mencetak sarjana, tetapi melahirkan manusia yangg sadar nilai, berempati, dan bertanggungjawab. ‘Aisyiyah kudu memastikan tidak ada lagi “Timothy” lainnya—karena setiap orang berkuasa tumbuh dalam cinta, bukan luka; dalam pendidikan yangg memanusiakan, bukan yangg mematikan kemanusiaan.

*Anggota Majelis PAUDASMEN PWA Jawa Barat
Dosen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id