Ika Rizki Damayanti (dua dari kiri) usai prosesi wisudawa di Universitas Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan, Selasa (21/10/2025). Foto:Dok Muhammadiyah
MAKLUMAT– Ribuan pasang mata tertuju lurus ke atas mimbar wisuda Universitas Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan (UMPP), Selasa pagi (21/10). Suasana hening. Sosok mahasiswi difabel berjulukan Ika Rizki Damayanti berdiri tegap di sana. Ika tidak berbincang dengan suara. Jemarinya menari-nari lincah, merangkai kata demi kata dalam bahasa isyarat.
Seorang ahli bahasa isyarat (JBI) mendampinginya di sisi mimbar. JBI itu kemudian menjadi “suara” Ika, menerjemahkan setiap mobilitas tangan yangg sarat makna itu menjadi pidato kelulusan yangg menggugah. Kampus mendaulat Ika sebagai wisudawan tuli pertama dalam sejarah UMPP.
Sosok inspiratif dari Program Studi D-3 Manajemen Informatika itu membuktikan satu hal: keterbatasan bentuk tidak pernah menghalangi cita-cita.
“Perkenalkan saya Ika. Saya tuli sejak usia 1 tahun. Alhamdulillah, hari ini saya bisa lulus D-3 Manajemen Informatika UMPP,” ujar Ika melalui JBI-nya. Riuh tepuk tangan hadirin langsung membahana memenuhi ruangan.
Ika melanjutkan, masyarakat kerap salah kaprah. Tuli dan dengar, kata dia, sebetulnya sama. Tidak ada yangg lebih rendah alias lebih tinggi.
“Hanya beda pilihan bahasa. Sama seperti orang Indonesia, orang Inggris, alias orang Arab yangg beda pilihan bahasanya,” tegas Ika seperti dilansir laman Muhammadiyah. Lulusan vokasi itu merasa sangat terharu. Ia mendapat kesempatan memberi sambutan sekaligus memandang kampusnya mulai berbenah.
Perjuangan Ika mencapai mimbar itu tidak mudah. Dia sejatinya terlahir normal dan bisa mendengar. Namun, takdir berbicara lain. Sakit panas tinggi saat usianya baru menginjak 1 tahun merenggut keahlian pendengarannya. Dokter memvonisnya tuli permanen.
Ika mini kudu menempuh pendidikan di SD dan SMP umum. Sekolah-sekolah itu, pada masanya, belum menyediakan akses ahli bahasa isyarat. Ia terpaksa berkomunikasi seadanya, mengandalkan gestur, membaca mobilitas bibir, hingga tulisan.
Pengalaman jelek pun kerap dia alami. Stigma sosial begitu menyakitkan. “Banyak yangg menganggap saya tolol dan tidak bisa berkelakuan seperti anak pada umumnya,” kenang Ika.
Namun, celaan itu tidak memadamkan semangat belajarnya. Titik kembali perjuangannya tiba saat Ika masuk Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk jenjang SMA. Di sanalah dia menemukan dunianya. Ia mulai intensif belajar bahasa isyarat dan merasa betul-betul diterima.
“Saya tidak merasa sendiri lagi lantaran banyak teman-teman tuli. Perjuangan kami sama, pengalamannya sama, harapannya sama. Kami mau masyarakat tuh lebih inklusif untuk kami,” ungkapnya senang.
Komunitas Tuli Muda
Ika tidak hanya berjuang untuk dirinya sendiri. Pada 2020, sebelum dia lulus SMA, dia berbareng rekan-rekannya mendirikan organisasi Tuli Muda. Komunitas ini mewadahi anak-anak muda penyandang tuli di area Pekalongan Raya.
“Dan selama 5 tahun ini, kami aktif membuka dan mengajar di kelas bahasa isyarat untuk masyarakat umum,” imbuhnya. Hebatnya lagi, Ika juga sudah tiga tahun terakhir mengabdikan diri sebagai ahli bahasa isyarat di program buletin stasiun televisi lokal, Batik TV.
Di atas mimbar kebanggaannya, Ika mengucapkan terima kasih mendalam kepada orang tua dan seluruh civitas akademika UMPP. Ia memandang UMPP sekarang punya sasaran baru untuk menjadi kampus yangg inklusif.
“Sebelum saya lulus, saya bisa memandang langsung UMPP berupaya menjadi kampus yangg ramah untuk difabel. Terima kasih,” terangnya. Ika berambisi UMPP dapat betul-betul mewujudkan cita-cita itu.
“Saya cinta UMPP,” pungkas Ika. Pidatonya menutup dengan tepuk tangan yangg lebih riuh dari sebelumnya.***
*) Penulis: Edi Aufklarung
3 hari yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·