Ketua LHKP PWM Jatim Dr Ridho Al HamdiSIKAP politik Muhammadiyah pada masa pendudukan Belanda sampai sebelum kemerdekaan adalah eklektik. Demikian ungkap Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dr Ridho Al-Hamdi dalam Kajian Malam Sabtu (8/9/2023).
Kajian yangg diisi oleh Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tersebut diselenggarakan oleh Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ridho menerangkan, jarang diketahui publik bahwa rupanya golongan muda alias kader-kader muda Muhammadiyah pada masa pendudukan Belanda pernah mendirikan Partai Islam Indonesia (PII).
Partai yangg didirikan oleh kader Muhammadiyah seperti halnya Mas Mansur, Fakih Usman dan lain-lain di Surakarta itu rupanya tidak banyak diketahui oleh publik. Termasuk oleh penduduk Persyarikatan Muhammadiyah itu sendiri.
“Jadi, PII itu didirikan oleh aktivis-aktivis Muhammadiyah. Namun, keburu kolonialis Jepang masuk ke Indonesia, dan Indonesia berantakan. PII pun akhirnya tenggelam. Nah, kemudian muncul Partai Masyumi,” tuturnya.
Nah, berangkat dari pengalaman Mas Mansur di bumi politik dan bekal pendidikan dari Universitas Al Azhar, Mesir, Ridho menyatakan bahwa Mas Mansur adalah peletak dasar sikap politik Muhammadiyah. Meskipun, saat itu belum ada pernyataan resmi organisasi.
“Mas Mansur, sebagai tokoh Muhammadiyah sudah mengemukakan sikap politik Muhammadiyah bahwa tidak boleh melibatkan organisasi dalam berpolitik praktis,” tegasnya.
Sikap politik tersebut, kata dia, direspon dengan mundurnya Muhammadiyah dari personil spesial Partai Masyumi pada 1958, alias setahun sebelum Masyumi dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada 1959.
“Pasca 1959, Partai Masyumi ini kan dicap sebagai partai terlarang. Lalu lantaran dicap sebagai partai terlarang, dan eks Masyumi ini kembali ke Muhammadiyah dan Muhammadiyah dianggap sarang aktivis partai terlarang,” tuturnya.
Mengutip sumber catatan sejarah, Ridho memaparkan, pada 1958 sampai 1962 sebagai fase terberat Muhammadiyah. Salah satu sebabnya adalah Muhammadiyah nyaris dibubarkan oleh pemerintah. Hal itu lantaran ada bisikan dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Setelah bubarnya Masyumi, kader-kader Muhammadiyah berdiaspora ke beberapa partai. Menyikapi kejadian itu, Muhammadiyah mengeluarkan beberapa sikap atas diaspora kader ke partai-partai,” ungkapnya.
Sikap Politik Muhammadiyah Pasca Gestapu
Pasca dibubarkannya Masyumi kader-kader Persyarikatan diperbolehkan berdiaspora ke beragam partai Islam. Kader Persyarikatan juga dibiarkan berdiaspora ke partai non Islam selain PKI.
“Nah, kader yangg diaspora ke PKI, maka dipecat dari keanggotaannya di Muhammadiyah. Sikap-sikap tersebut digunakan oleh Muhammadiyah sampai pasca peristiwa 1965, alias pasca Gestapu. Kemudian status Muhammadiyah sebagai ormas Islam bertambah statusnya juga sebagai ormas politik pada 1966,” tegasnya.
Ridho menambahkan, dalam menanggapi peristiwa politik yangg begitu dinamis, Muhammadiyah pada Tanwir 1966 di Bandung memutuskan untuk membentuk partai baru Islam. Putusan tersebut berisi catatan untuk rehabilitasi Masyumi, lalu, jika tidak sukses baru bakal mendirikan partai politik baru.
“Dalam sejarah musyawarah Muhammadiyah, Muktamar alias Tanwir baru kali ini statemen jelas Muhammadiyah mendirikan partai Islam baru. Sebelumnya tidak ada,” ungkap Ridho.
Ia menyebutkan, dari putusan Tanwir Bandung 1966 tersebut, Muhammadiyah mempunyai peran besar dalam lahirnya Parmusi (Partai Muslim Indonesia), apalagi ketua pertama Parmusi adalah Djarnawi Hadikusumo anak dari Ki Bagus Hadikusumo.
“Selain Tanwir 1966 di Bandung, Muhammadiyah tidak pernah memberikan statemen yangg jelas untuk pendirian partai. Termasuk lahirnya Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1998 juga bukan usulan resmi dari Muhammadiyah,” pungkasnya.(*)
Reporter: Ubay NA
Editor: Aan Hariyanto
2 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·