MAKLUMAT — YLBHI menyoroti sejumlah perihal sekaligus memberikan catatan kritis dalam momentum setahun usia pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, Senin (20/10/2025).
Dalam catatan berjudul “Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran: Lanskap Penguatan Pemerintahan Militeristik dan Otoritarian”, YLBHI memberikan setidaknya tujuh catatan utama yangg disebut menunjukkan wajah pemerintahan Prabowo-Gibran semakin membahayakan demokrasi, kewenangan asasi manusia (HAM), dan prinsip penegakan hukum.
Mereka menyebut, pemerintahan Prabowo-Gibran semakin menunjukkan indikasi otoritarian dan militeristik, yangg menurutnya diperkuat dengan sejumlah info yangg mengamini bahwa situasi tersebut dilakukan secara sistematis, konsisten, dan meluas.
Kacaunya Pembentukan Produk Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan
Dalam catatannya, YLBHI mennyebut bahwa kekacauan pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terus dilakukan oleh pemerintah, termasuk ketiadaan posisi DPR yangg kritis, serta tidak adanya oposisi. “Semakin memperparah ugal-ugalannya pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ini,” tulis catatan tersebut.
Sebagai contoh, pada awal tahun ini, DPR membahas revisi UU TNI dengan sangat cepat, setelah sebelumnya Presiden Prabowo berkirim surat kepada DPR untuk membahas draft rancangan yangg telah disusun oleh pemerintah.
“Begitu juga ketika proses penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) jenis pemerintah, beberapa akademisi dan mahir yangg dilibatkan dalam penyusunan sebagai perumus mengakui hanya ada pertemuan dua kali tanpa sempat membahas gimana pengaturan RKUHAP,” sebutnya.
“Pada sisi lain, pembahasan pasal-pasal RKUHAP sangat dangkal dan tidak menyentuh substansi persoalan yangg selama ini dialami banyak korban sistem peradilan pidana dalam kasus-kasus salah tangkap, kekerasan alias penyiksaan, undue delay, dan kriminalisasi, serta pembatasan akses support hukum. Namun, DPR berbareng pemerintah malah memperluas kewenangan penegak norma polisi yangg melegitimasi tindakan subjektif tanpa standar dan batas yangg jelas dalam melakukan penangkapan, penahanan, penyadapan, penggeledahan,” sambung catatan tersebut.
Proyek Ambisius: Karpet Merah Lanjutan untuk Oligarki
Selain itu, YLBHI menilai bahwa proyek-proyek ambisius yangg dijalankan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran dalam setahun awal kepemimpinannya, justru seolah menjadi karpet merah lanjutan untuk para oligarki, mengabaikan partisipasi, serta melahirkan pelanggaran HAM yangg sistematis dan meluas.
“Alih-alih melakukan pertimbangan terhadap kebijakan Proyek-proyek Strategis Nasional yangg terbukti banyak menyengsarakan rakyat, satu tahun pemerintahan Prabowo justru memperluas PSN melalui Perpres Nomor 12 Tahun 2025 dan Permenko Nomor 16 Tahun 2025,” tulis YLBHI dalam catatannya.
“Bahkan meningkatkan pendekatan militerisasi dengan pelibatan militer secara langsung dalam penyelenggaraan PSN. Dampak Di beragam daerah, PSN terus menimbulkan korban. Di Rempang, penggusuran penduduk tetap melangkah dengan dalih “transmigrasi lokal”, sementara di Kalimantan Utara, proyek industri hijau merampas lahan penduduk yangg telah bersertifikat dan menghancurkan ruang hidup nelayan,” imbuhnya.
Terkait perihal ini, sejumlah program seperti food estate, Makan Bergizi Gratis (MBG), pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), hingga Proyek Strategis Nasional (PSN) yangg dijalankan pemerintah di beragam wilayah menjadi sorotan, lantaran keterlibatan abdi negara militer.
Kemiskinan, Ketimpangan, dan Pajak Anti-Rakyat
Dalam konteks ini, YLBHI merujuk pada standar garis kemiskinan baru dari Bank Dunia, ialah 8,30 dolar AS perkapita/hari. Sementara info menunjukkan bahwa 194,58 juta jiwa alias lebih dari 60,3 persen masyarakat Indonesia masuk dalam garis kemiskinan.
Menurut YLBHI, kemiskinan tersebut juga dibarengi dengan nomor ketimpangan yangg semakin akut. Semakin parahnya lagi, ketimpangan juga dibarengi dengan keluarnya kebijakan pajak tinggi bagi rakyat.
“Pemerintahan Prabowo-Gibran adalah rezim gendut yangg menguras banyak anggaran finansial negara. Setidaknya 49 kementerian dimiliki oleh Prabowo-Gi- bran. Kita dapat membandingkan di masa sebelumnya, ialah 30 kementerian. Kementerian-kementerian ini memerlukan pendanaan langsung dari negara,” sorot YLBHI.
Pembungkapan Kebebasan Berekspresi dan Upaya Kriminalisasi
Tak hanya itu, YLBHI juga menyorot tindakan represif abdi negara selama setahun awal pemerintahan Prabowo-Gibran. Mulai dari penangkapan dalam tindakan penolakan RUU TNI, Peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei, hingga meningkat sangat signifikan dalam tragedi akhir Agustus 2025 lalu.
“YLBHI memandang bahwa ada upaya membangun narasi demonstrasi yangg terjadi selama bulan Agustus adalah hasil dari provokasi aktivis. Pembangunan narasi “provokasi” ini apalagi dilegitimasi secara langsung oleh Presiden Prabowo dalam konvensi persnya yangg menyebut adanya upaya “makar” dan “terorisme”,” kata YLBHI.
Dalam catatannya, YLBHI menyebut bahwa kesiapan aparatur keamanan negara melakukan represi sistematis ini bukan tanpa alasan. Di tengah pemangkasan anggaran besar-besaran, termasuk akhirnya berakibat pada pemerintahan daerah, polisi dan tentara tetap menikmati postur anggaran yangg tinggi.
“Kementerian Pertahanan mendapatkan Rp 166,26 triliun dan Polri mendapatkan Rp 126,62 triliun tahun ini. Membuat dua kementerian/lembaga ini menempati posisi tertinggi sebagai penerima APBN 2025,” kritiknya.
Impunitas Pelanggaran HAM dan Perbaikan Peradilan yangg Jalan di Tempat
YLBHI menyoroti pernyataan Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra, yangg disebutnya melanggengkan impunitas lantaran tidak mengakui adanya pelanggaran HAM berat masa lalu.
Menurut YLBHI, pernyataan tersebut sarat dengan pesan politik di tengah tudingan keterlibatan Presiden Prabowo Subianto sebagai pelaku pelanggaran HAM berat penghilangan paksa dalam tragedi 1998-1999 silam.
“Kondisi demikian mempengaruhi mandeknya penyelesaian kasus pelanggaran HAM Berat masa lampau yangg sejauh ini tidak terselesaikan, sekaligus bibit runtuhnya negara norma dan kewenangan asasi manusia yangg diamanatkan dalam Konstitusi. Meski sepanjang 2024, Prabowo menjabat selama 2 (dua) bulan lebih tapi reformasi terhadap wajah peradilan tetap jalan di tempat. Kendati Prabowo menaikan penghasilan pengadil tapi kerusakan lembaga kehakiman tidak bisa dibendung. Setidaknya terdapat pejabat Mahkamah Agung tertangkap korupsi dan beberapa pengadil di tingkat pengadilan negeri,” ungkitnya.
Multifungsi TNI: Menjauhkan dari Mandat dan Garis Reformasi
Kemudian, YLBHI menyoroti kian massifnya keterlibatan TNI dalam beragam sektor secara terang-terangan. Fenomena tersebut terjadi sejak dilantiknya Prabowo Subianto sebagai Presiden RI.
“Langkah untuk melakukan revisi kilat UU TNI dengan memperluas kewenangan TNI dalam wilayah-wilayah yangg diatur dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), misalnya, telah memungkinkan para personil TNI untuk masuk ke dalam wilayah-wilayah sipil secara lebih mendalam,” sorotnya.
Tak hanya itu, penambahan adanya Batalyon Teritorial Pembangunan juga menjadi sorotan, lantaran dinilai selain bakal menambah beban finansial negara, namun juga bakal berimplikasi bagi hubungan sipil-militer.
YLBHI mencatat dua poin krusial dari keterlibatan TNI dalam ranah sipil, khususnya pemerintahan dan bisnis. Pertama, ekspansi organisasi TNI yangg tidak melulu untuk soal-soal pertahanan.
Kedua adalah pemanfaatan TNI untuk penerapan kebijakan pemerintahan Prabowo-Gibran. TNI dilibatkan dalam banyak program, seperti MBG, Food Estate, Satgas Swasembada Pangan, Brigadir Pangan, Koperasi Desa Merah Putih (KDMP), Satgas Penertiban Kawasan Hutan, hingga upaya farmasi maupun kelapa sawit.
Papua: Penyelesaian Konflik yangg Semakin Kusut dan Pelanggaran HAM
Terakhir, YLBHI menilai bahwa Otonomi Khusus (Otsus) yangg diberikan untuk Papua, alih-alih menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM di wilayah paling timur tanah air itu, justru menjadi karpet merah untuk memuluskan pemanfaatan sumber daya alam (SDA) melalui PSN, dengan pendekatan militeristik yangg terus melahirkan bentrok bersenjata antara TNI-Polri dengan TPN Papua Barat di beragam wilayah.
“Situasi di Papua sangat terdampak dari adanya perubahan UU TNI yangg menambah tugas tentara dalam Operasi Militer Selain Perang. Dikawinkan dengan industri ekstraktif yangg diobral di tanah Papua, tentara dan polisi diterjunkan semakin banyak,” tulis YLBHI.
*) Penulis: Ubay NA
5 hari yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·