Oleh: Nashrul Mu’minin
Sebagai mahasiswa Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, saya terpesona dengan tulisan Hamka tentang “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Novel ini tidak hanya sekadar karya fiksi, tetapi juga refleksi perjuangan sosial dan keagamaan yangg erat kaitannya dengan Muhammadiyah. Dalam konteks ini, gimana kita memahami posisi Hamka sebagai seorang sastrawan dan ustadz yangg juga menjadi tokoh sentral Muhammadiyah?
Hamka dan Muhammadiyah: Antara Sastra dan Dakwah
Hamka, alias Haji Abdul Malik Karim Amrullah, tidak hanya dikenal sebagai novelis, tetapi juga seorang ustadz dan ahli filsafat Muhammadiyah. Dalam karyanya, dia sering menyisipkan pesan-pesan keagamaan yangg sesuai dengan prinsip Muhammadiyah. Misalnya, dalam “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, Hamka menggambarkan realitas sosial masyarakat Minangkabau yangg sarat dengan bentrok budaya dan agama.
Muhammadiyah sendiri, sebagai aktivitas Islam yangg berorientasi pada pembaruan, mempunyai pandangan yangg tegas terhadap praktik-praktik yangg dianggap bid’ah alias tidak sesuai dengan aliran Islam yangg murni. Hamka, sebagai bagian dari Muhammadiyah, menggunakan medium sastra untuk menyampaikan kritik sosial dan aliran Islam dengan langkah yangg lebih mudah dipahami oleh masyarakat umum.
Konflik Antara Tradisi dan Modernitas
Salah satu rumor utama yangg diangkat Hamka dalam novelnya adalah tumbukan antara tradisi dan modernitas. Hal ini terlihat dalam kisah cinta Zainuddin dan Hayati yangg terhalang oleh budaya istiadat. Konflik ini mencerminkan perjuangan Muhammadiyah dalam menghadapi budaya yangg tidak sejalan dengan Islam.
Muhammadiyah, sejak awal berdirinya, telah menekankan pentingnya kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis serta meninggalkan praktik-praktik yangg tidak berdasar. Sebagaimana disampaikan dalam Al-Qur’an:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ (QS. Ali ‘Imran: 103)
Ayat ini membujuk umat Islam untuk berasosiasi dan berpegang teguh pada aliran Allah. Hamka, melalui karyanya, mengingatkan kita tentang pentingnya meninggalkan kebiasaan yangg bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Baca Juga: Tulisan Amien Rais: Islam di Tengah-Tengah Modernisasi dan Perubahan Sosial
Peran Aisyiyah: Suara Perempuan dalam Muhammadiyah
Tidak hanya Hamka, Aisyiyah, sayap wanita Muhammadiyah, juga berkedudukan krusial dalam menanggapi isu-isu sosial. Aisyiyah aktif dalam beragam bagian seperti pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan perempuan. Dalam konteks novel Van Der Wijck, perjuangan Hayati untuk mendapatkan kebebasan dan haknya bisa dianggap sebagai simbol perjuangan wanita dalam aktivitas Aisyiyah.
Muhammadiyah dan Aisyiyah mempunyai pandangan bahwa wanita mempunyai kewenangan yangg sama dalam mengakses pendidikan dan berkedudukan aktif dalam masyarakat. Sebagaimana disampaikan dalam hadis:
**”النساء شقائق الرجال” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi)**
Hadis ini menunjukkan bahwa wanita adalah kerabat kandung laki-laki, yangg mempunyai kewenangan dan tanggungjawab yangg sama dalam menjalankan kehidupan berakidah dan bermasyarakat.
Kritik Sosial Melalui Fiksi: Relevansi Hingga Saat Ini
Hamka melalui novel ini tidak hanya bercerita tentang cinta dan adat, tetapi juga menyentuh isu-isu keagamaan dan sosial yangg relevan hingga saat ini. Bagaimana praktik-praktik keagamaan yangg sudah bercampur dengan budaya dapat menjadi penghalang bagi kemajuan umat Islam. Hal ini juga sejalan dengan semangat Muhammadiyah untuk selalu melakukan tajdid alias pembaruan.
Seperti yangg disampaikan oleh KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, bahwa Islam kudu kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis. Prinsip ini menjadi landasan dalam setiap aktivitas dan pemikiran yangg dibawa oleh Muhammadiyah, termasuk dalam bagian pendidikan, sosial, dan budaya.
Sebagai mahasiswa Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, saya merasa bahwa karya Hamka tetap sangat relevan untuk dikaji, terutama dalam konteks pemikiran Islam dan sosial. Muhammadiyah, sebagai aktivitas Islam yangg berdasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis, kudu terus mengawal pemikiran-pemikiran progresif seperti yangg dicontohkan oleh Hamka.
Selain itu, Aisyiyah sebagai bagian dari Muhammadiyah kudu terus memperjuangkan hak-hak wanita dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian, kita dapat mewujudkan masyarakat yangg berkemajuan sesuai dengan visi dan misi Muhammadiyah.
Image source: https://infosumbar.net/artikel/5-tempat-syuting-film-tenggelamnya-kapal-van-der-wijck-yang-berlokasi-di-sumatera-barat/
Daftar Pustaka:
- Hamka. (1938). *Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck*. Jakarta: Balai Pustaka.
- Muhammadiyah. (2023). *Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah*. Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah.
- Aisyiyah. (2022). *Pemberdayaan Perempuan dalam Islam*. Yogyakarta: Penerbit Suara Aisyiyah.
- Al-Qur’an. (2008). *Terjemahan Al-Qur’an dan Tafsirnya*. Bandung: Penerbit Mizan.
- Azra, A. (2004). *Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara*. Jakarta: Prenada Media.
- Surahman, M. (2015). *Muhammadiyah dan Pembaruan Pemikiran Islam*. Bandung: Alfabeta.
- Suryadi, R. (2010). *Sastra dan Budaya Minangkabau*. Padang: Penerbit Andalas.
- Qodir, Z. (2011). *Kritik Sosial dalam Sastra Indonesia*. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- Hadis Shahih. (2005). *Kitab Shahih Bukhari Muslim*. Beirut: Darul Kutub.
- Rahmat, M. (2019). *Pemikiran Islam di Indonesia*. Malang: UIN-Malang Press.
English (US) ·
Indonesian (ID) ·