Usia Dini: Antara Orangtua dan Anak - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 9 bulan yang lalu

Oleh: Ulfa Sularsih

Anak adalah hidayah terindah bagi setiap keluarga. Hadirnya bisa mewarnai dan menyejukkan suasana rumah tangga. Titipan terindah dari-Nya yangg kudu dijaga dan dirawat dengan sebaik-baiknya. Saat Allah Subhanahu Wa Ta’ala menitipkan seorang anak kepada sebuah keluarga, saat itu pula Allah Subhanahu Wa Ta’ala percaya bahwa family itu bisa mengemban amanah tersebut. Bukan berarti, jika sebuah family yangg belum mempunyai anak itu tidak bisa mengemban amanah, tapi Allah Subhanahu Wa Ta’ala lebih tahu waktu yangg tepat bagi hamba-Nya untuk mengemban amanah tersebut.

Amanah yangg bukan sekedar barang, tapi seorang makhluk mini yangg sepenuhya menjadi tanggung jawab family sampai kelak dia dewasa dan bisa bertanggung jawab untuk dirinya sendiri. Seperti halnya sebuah kewenangan atas mempunyai anak tersebut, kita sebagai orangtua pun juga mempunyai tanggungjawab yangg kudu kita tunaikan saat amanah anak dipercayakan pada kita. Kewajiban untuk membimbingnya, mengenalkan tauhid, mengagungkan Allah nan Esa, mengenalkan Islam, memberikannya pondasi yangg kuat dalam menjalani kehidupannya, mengenalkan bumi dan seisinya, mengenalkan alambaka yangg kekal.

Kewajiban memenuhi semua kebutuhannya, bukan hanya kebutuhan secara materi, tapi juga kebutuhan secara psikologi. Menciptakan lingkungan yangg nyaman bagi bentuk dan psikisnya. Memberikannya pendidikan kepercayaan dan pendidikan bumi demi masa depannya. Saat itu, peran seorang ibu sangatlah penting, sebagai madrasatul ula bagi pendidikan anak. Menjadi tempat berbagi cerita dan tempat bertanya sepanjang apa yangg mau diketahui anak. Bahkan beberapa ibu mungkin ada yangg kewalahan menjawab banyak perihal yangg mau diketahui oleh anak. Rasa mau tahunya yangg tinggi, mendorong anak untuk terus bertanya beragam perihal baru setiap harinya.

Usia Dini

Usia 0-6 tahun adalah masa yangg krusial bagi seorang manusia. Masa ini biasa disebut dengan istilah golden age. Saat itu semua perkembangan dalam diri anak mencapai puncak. Banyak peneliti yangg berpendapat, bahwa usia awal adalah masa emas bagi petumbuhan anak. Masa dimana semua organ tubuhnya berkembang secara pesat. Oleh lantaran itulah, sangat krusial bagi kita sebagai orangtua untuk memberikan rangsangan alias stimulus agar pertumbuhannya semakin optimal.

Setiap bayi mempunyai milyaran sel otak yangg siap mendapat rangsangan. Sentuhan, lingkungan yangg ramah otak adalah beberapa upaya yangg dapat dilakukan untuk mengoptimalkan kegunaan otak anak. Seluruh sel dalam otak mempunyai peran krusial dalam menunjang kegunaan otak sebagai pengatur semua keahlian manusia di masa dewasa. Meskipun terdapat milyaran sel otak, namun tidak semuanya dapat berkembang secara optimal, lantaran banget tergantung pada stimulasi yangg diterimanya.

Anak bakal sangat sigap dalam menyerap info yangg mereka dapat dari orang-orang di sekitarnya. Plagiator ulung adalah julukan bagi anak-anak usia dini. Saat bersosialisai dengan orang lain, saat itu dia bakal meniru apa yangg dia lihat dan apa yangg dia dengar. Maka tidak heran jika anak bakal lebih sigap menghafal beberapa lirik lagu daripada orang dewasa. Begitu pula dengan mahfuz Al Qur’an, bagi anak-anak usia dini, bakal lebih mudah menghafalnya andaikan bunyi Al Qur’an tersebut sering diperdengarkan untuknya. Menurut seorang peneliti Maxwell Malt, mengemukakan pendapatnya tentang hubungan sel otak yangg aktif dengan kecerdasan. Bila manusia dapat mengaktifkan sekitar 7% saja dari sel otaknya, maka gambaran kepintaran orang itu adalah bisa menguasai 12 bahasa dunia, mempunyai 5 gelar kesarjanaan, dan hafal ensiklopedi lembar demi lembar, huruf demi huruf yangg satu setnya terdiri dari beberapa puluh buku.

Di Indonesia, banyak sekali lembaga yangg menawarkan pendidikan untuk anak usia dini, jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan jumlah sekolah dasar maupun sekolah lanjutan lainnya. Persamaan Gender menjadi salah satu aspek yangg mempengaruhi, di era sekarang ini, banyak wanita yangg meniti karir seiring dengan kebutuhan yangg kudu dicukupi. Tugasnya menjadi sama dengan tugas laki-laki, ialah mencari nafkah. Menjadi pekerja dan terkadang melupakan kodratnya sebagai seorang ibu.

Demi mengejar karir tidak sedikit dari mereka yangg terpaksa menitipkan buah hatinya kepada lembaga-lembaga pendidikan meski usia anak tetap sangat kecil. Di kota-kota besar, keberadaan Daycare alias Taman Penitipan Anak sangat menjamur. Hal ini dikarenakan kebutuhan manusia untuk menitipkan anak-anaknya semakin tinggi, sehingga banyak sekali lembaga pendidikan yangg mau menangkap kesempatan itu dengan menyediakan jasa penitipan anak, apalagi ada yangg sampai fullday.

Tentu bukanlah sesuatu yangg jelek bagi anak saat berada di tempat penitipan semacam itu, namun tidak baik pula jika anak terlalu sering menghabiskan waktu dengan pengasuh-pengasuhnya dibandingkan dengan waktu berbareng keluarganya sendiri. Padahal sebenarnya, di usia ini, aspek family terutama orang terdekat (Ayah dan Ibu) sangatlah krusial bagi pertumbuhannya. Segala sesuatu pasti ada baik-buruknya.

Baca Juga: Tahfiz Camp Mts Muhammadiyah Blimbing, Santri Asah Hafalan di Alam Bebas

Saat berada di sebuah lembaga pendidikan, anak bisa berinteraksi dengan teman-teman yangg beragam. Hal ini, tentu mempunyai nilai positif, ialah melatih sosialisasi anak dengan lingkungan. Melatih penyesuaian saat menghadapi orang-orang baru. Mengenal beragam kosakata dan banyak perihal lainnya. Namun, dia bakal sangat kehilangan banyak waktu berbareng keluarga, yangg terkadang membuatnya kurang dekat dengan ayah ibunya.

Persaingan Akademis di Lembaga Pendidikan

Rasa senang saat pertama kali mempunyai anak perlahan mulai luntur saat anak memasuki usia sekolah, rasa senang itu mulai berganti dengan rasa was-was, “apakah anakku bakal jadi anak pintar? anak bodoh, alias sedang-sedang saja?” “apakah dia bakal jadi juara kelas, bintang kelas, alias malah anak yangg minder?” “Bagaimana jika kelak saya diejek, saat mempunyai anak yangg bodoh?”

Ketakutan orang tua semakin menjadi, saat memandang anak lain bisa memenangkan beragam perlombaan misalnya. Menjadi juara kelas, pandai melukis, pandai bermain bola alias juara lainnya. Memiliki banyak piala yangg dipajang di rumah merupakan angan banyak orangtua. Orang tua bakal semakin bangga, dan menjadi sebuah kepuasan tersendiri saat mempunyai anak dengan beragam prestasi yangg telah diraih. Oleh lantaran itu, sejak usia dini, orangtua mulai memasang target, prestasi apa saja yangg kudu diraih oleh anak-anaknya, demi memenuhi ambisi orang tua.

Hal ini membikin orang tua terdorong untuk semakin bekerja keras membikin anak mereka bisa menjadi seperti yangg orang tua inginkan. Mengikutkan bimbel, les privat musik, privat baca, hitung, dsb. Semuanya demi memuaskan kemauan orangtua untuk mempunyai anak yangg pintar. Mulai dari sasaran membaca, berhitung, bermain musik, olahraga, semua diupayakan oleh orangtua agar anaknya bisa berprestasi dan mempunyai hasil capaian yangg maksimal. Bahkan orangtua terkadang lupa untuk bertanya kepada anak. Enjoykah anak dengan semua ini? Nyamankah dia diperlakukan seperti ini? Pada beberapa contoh kasus justru ada anak yangg menderita depresi lantaran terlalu banyak mengikuti les alias pengarahan belajar.

Tanpa disadari, kita sebagi orangtua rupanya telah melakukan kekerasan terhadap anak-anak kita. Memang bukan kekerasan fisik, namun pemaksaan untuk menjadi anak yangg berprestasi itu pun termasuk corak kekerasan psikis. Edukasi terhadap orangtua perlu kita kampanyekan, mengingat banyak sekali orangtua yangg tidak sadar bakal apa yangg telah mereka perbuat selama ini terhadap anak-anak mereka. Seperti halnya yangg dilakukan oleh Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah berbareng semua PWNA, PDNA, PCNA dan PRNA yangg selalu mengkampanyekan “Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak”. Semoga dengan adanya kegiatan-kegiatan semacam ini, bisa membuka mata para orangtua yangg selama ini mungkin tidak menyadari bakal kesalahan mereka.

Tentunya sebagai orangtua, kita harusnya bisa bersikap bijak dalam perihal ini. Prestasi bukanlah nilai meninggal bagi anak-anak kita. Prestasi memang sangat penting, namun kenyamanan anak-anak kita jauh lebih krusial dari segalanya. Masa usia awal yangg sejatinya sebagai masa emas anak, boleh kita isi dengan beragam macam aktivitas pembelajaran yangg positif, bakal tetapi kudu kita ingat, bahwa karakter anak usia awal adalah belajar dengan style bermain. Ia bukanlah miniatur orang dewasa yangg selalu belajar dengan pencil and paper. Tapi dia adalah anak usia awal yangg belajar sembari bermain dengan mengeksplorasi lingkungannya. Prestasi bukan hanya sekedar angka-angka akademis, tapi menjadi anak yangg sopan, santun, alim beragama juga merupakan sebuah prestasi yangg harusnya kita apresiasi.

*Penulis adalah Guru BA ‘Aisyiyah Mranggen Cabang Blimbing Sekretaris Umum PD Nasyiatul ‘Aisyiyah Sukoharjo

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id