Oleh: Novi Kinasih Laras*
Dalam perjalanan rumah tangga, tidak ada satu pun pasangan yangg luput dari ujian. Di kembali senyum dan tawa, sering kali tersembunyi letih, kejenuhan, dan emosi yangg tak terucapkan.
Awal pernikahan biasanya terasa hangat dan penuh warna. Namun seiring waktu, realitas dan tanggung jawab mulai menuntut ruang yangg besar dalam kehidupan sehari-hari.
Dari sini lah cinta diuji. Bukan lagi soal emosi yangg berbunga, melainkan tentang komitmen, kesabaran, dan kesediaan untuk memahami satu sama lain.
Di titik-titik capek itulah, muncul bujukan lembut yangg sering kali tidak disadari; membandingkan pasangan kita dengan pasangan orang lain. Fenomena yangg dikenal dengan pepatah “rumput tetangga lebih hijau dari pada rumput sendiri”. Hal ini sebenarnya merupakan refleksi dari rasa tidak puas yangg tumbuh perlahan.
Kita merasa kehidupan orang lain tampak lebih bahagia. Pasangan orang lain lebih perhatian, alias rumah tangga mereka lebih harmonis. Padahal, bisa jadi, mereka pun tengah berjuang seperti kita hanya saja tidak terlihat.
Pentingnya Memahami Pasangan
Salah satu tanda kedewasaan emosional dalam rumah tangga adalah keahlian untuk memahami pasangan, bukan hanya dari kelebihan yangg tampak, tetapi juga dari kekurangannya.
Dalam Islam, hubungan suami istri bukan sekadar ikatan lahiriah, melainkan pertemuan dua jiwa yangg berproses menuju kedewasaan spiritual. Allah SWT berfirman: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, agar Anda condong dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum [30]: 21)
Ayat ini menegaskan bahwa cinta sejati tidak lahir dari kesempurnaan, melainkan dari ketenangan yangg tumbuh melalui kasih sayang dan saling pengertian.
Sakinah Bukan Berarti Tanpa Konflik
Dalam konteks ilmu jiwa pernikahan, ketenangan (sakinah) yangg dimaksud bukanlah kondisi tanpa konflik, melainkan keahlian dua insan untuk menghadirkan rasa kondusif di tengah perbedaan.
Cinta sejati bukan sekadar emosi yangg menggebu di awal hubungan, tetapi sebuah komitmen spiritual yangg terus dirawat dengan empati dan komunikasi.
Sering kali, masalah rumah tangga muncul bukan lantaran kurang cinta, tetapi lantaran kurang empati. Seorang istri mungkin merasa suaminya tak lagi romantis seperti dulu, padahal suaminya sedang berjuang menanggung tanggung jawab besar.
Sebaliknya, suami merasa istrinya sigap marah dan mudah tersinggung, tanpa menyadari bahwa lelahnya bukan hanya fisik, tapi juga emosional.
Ketika kita belajar memandang pasangan bukan sebagai sumber kekurangan, tapi sebagai manusia yangg juga berjuang untuk menjadi lebih baik, maka cinta bakal menemukan kembali maknanya.
Fenomena “Rumput Tetangga Lebih Hijau”
Dalam praktik konseling keluarga, salah satu akar masalah yangg sering muncul adalah kebiasaan membandingkan. Membandingkan rumah tangga kita dengan rumah tangga orang lain menciptakan rasa tidak puas yangg terus-menerus.
Kita lupa bahwa media sosial, misalnya, hanya menampilkan potongan terbaik dari kehidupan seseorang, bukan keseluruhannya.
Fenomena “rumput tetangga lebih hijau” pada dasarnya muncul dari kurangnya rasa syukur dan kebiasaan konsentrasi pada hal-hal yangg hilang, bukan yangg dimiliki. Padahal, Rasulullah SAW telah mengingatkan: “Lihatlah kepada orang yangg berada di bawahmu dan jangan memandang kepada orang yangg di atasmu, agar Anda tidak meremehkan nikmat Allah kepadamu.” (HR. Muslim).
Ketika hati tidak bersyukur, dia menjadi mudah iri, mudah kecewa, dan mudah tersesat dalam ilusi bahwa kebahagiaan selalu berada di tempat lain. Padahal, kebahagiaan sejati justru tumbuh dari keahlian menerima dan merawat apa yangg ada di hadapan kita saat ini.
Bersyukur untuk Ketenangan
Rasa tidak berterima kasih sering membikin seseorang lupa bahwa setiap pasangan dan setiap rumah tangga mempunyai takdir dan keindahannya masing-masing. Apa yangg tampak bagus di luar belum tentu menenangkan di dalam, dan apa yangg tampak sederhana bisa jadi menyimpan ketulusan yangg luar biasa.
Dalam pandangan ilmu jiwa Islam, syukur adalah corak kesadaran jiwa tertinggi yangg membikin seseorang bisa memandang kebaikan meskipun dalam keadaan sulit. Ia menenangkan hati dari gejolak komparasi dan menuntun pikiran untuk konsentrasi pada apa yangg betul-betul bernilai.
Syukur menuntun mata untuk memandang hal-hal mini yangg berarti seperti perhatian yangg tulus, upaya yangg diam-diam dilakukan, alias angan yangg dipanjatkan tanpa diketahui.
Ketika seseorang belajar memusatkan pandangan pada nikmat yangg telah Allah titipkan, maka hatinya menjadi lebih lapang, pikirannya lebih jernih, dan cinta pun tumbuh dengan langkah yangg lebih tenang dan realistis. Di titik inilah seseorang menyadari bahwa kebahagiaan tidak terletak pada mempunyai segalanya, melainkan pada keahlian untuk menghargai apa yangg ada.
Hati yangg berterima kasih menjadikan rumah sederhana terasa seperti surga, karena di dalamnya ada keikhlasan dan kasih yangg tulus, dua perihal yangg tak dapat dibeli dengan apa pun di bumi ini.
Kejenuhan Bukan Akhir, Tapi Tanda untuk Berhenti Sejenak
Dalam kehidupan rumah tangga, kejenuhan adalah perihal yangg manusiawi. Ia tidak selalu berfaedah hubungan sedang bermasalah. Kadang kejenuhan adalah sinyal lembut dari jiwa yangg mau diperhatikan, alias dari hubungan yangg butuh disegarkan kembali.
Dalam perspektif ilmu jiwa Islam, kejenuhan adalah bagian dari fitrah emosional manusia. Jiwa yangg terus-menerus bekerja tanpa penyegaran bakal merasa letih. Ia memerlukan ruang untuk bernafas, baik secara spiritual maupun emosional.
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang yangg menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yangg mengotorinya.” (QS. Asy-Syams [91]: 9–10)
Artinya, ketika kejenuhan melanda, jangan buru-buru menyalahkan pasangan, keadaan, alias apalagi diri sendiri. Mungkin yangg dibutuhkan adalah proses tazkiyatun nafs, penyucian hati dari ekspektasi berlebihan, kelelahan emosional, dan pikiran negatif.
Kejenuhan sering kali datang lantaran cinta berubah menjadi rutinitas tanpa makna. Kita melakukan banyak perihal bersama, tapi tanpa kehadiran batin. Maka, yangg perlu dilakukan bukan mengganti suasana luar, melainkan menghidupkan kembali jiwa di dalamnya.
Menumbuhkan Cinta dalam Rumah Tangga
Ketika kejenuhan melanda, maka ada kiat-kiat berikut ini yangg dapat dilakukan untuk menumbuhkan kembali semangat dan makna dalam hubungan rumah tangga:
Pertama, Perbaharui Niat; Ingatlah kembali bahwa pernikahan adalah bagian dari ibadah. Cinta yangg diniatkan lantaran Allah bakal lebih tahan terhadap ujian. Ketika kita menolong pasangan, bersabar atas kekurangannya, alias mengampuni kesalahannya, sesungguhnya kita sedang menabung pahala, bukan sekadar menahan amarah.
Kedua, Perkuat Spirit Syukur; Setiap kali hati mulai membandingkan, ubah arah pikiran. Fokuslah pada kebaikan pasangan yangg mungkin luput dari perhatian. Tulislah tiga perihal yangg membuatmu berterima kasih setiap hari terhadap pasanganmu. Latihan sederhana ini bisa mengubah daya dalam hubungan menjadi lebih positif.
Ketiga, Bangun Komunikasi yangg Hangat dan Empatik; Dalam banyak kasus, kejenuhan tumbuh lantaran komunikasi kehilangan sentuhan emosional. Belajarlah mendengar tanpa menghakimi, berbincang tanpa menyerang, dan menegur tanpa melukai. Rasulullah SAW adalah teladan terbaik dalam perihal ini, beliau bisa berbincang lembut apalagi ketika menghadapi perbedaan dengan istrinya.
Bangun Kedekatan Emosional
Keempat, Lakukan Aktivitas Bersama yangg Bermakna; Kadang hubungan hanya perlu disegarkan melalui hal-hal kecil: memasak bersama, bermohon sebelum tidur, menonton movie Islami, alias sekadar melangkah sore sembari berbincang dari hati ke hati. Kedekatan emosional tidak selalu datang dari perihal besar, melainkan dari kehadiran mini yangg tulus.
Kelima, Perkuat Dimensi Spiritual Bersama; Rumah tangga yangg disinari ibadah berbareng bakal mempunyai daya positif yangg kuat. Cobalah salat berjemaah di rumah, membaca Al-Qur’an bersama, alias saling mengingatkan dengan doa. Jiwa yangg dekat dengan Allah bakal lebih mudah menenangkan pasangannya.
Keenam, Ambil Jeda dan Rawat Diri (Self-Care); Sebagai manusia, kita juga butuh waktu untuk diri sendiri. Ambil jarak sejenak dari rutinitas agar hati dan pikiran bisa beristirahat. Istri bisa meluangkan waktu untuk merawat diri dan mempercantik hati, sementara suami bisa mencari udara segar alias berbincang dengan dirisendiri. Istirahat bukan corak menjauh, melainkan langkah untuk kembali dengan hati yangg lebih utuh.
Ketujuh, Minta Nasihat dari Orang yangg Amanah; Jika kejenuhan mulai memengaruhi keselarasan rumah tangga, jangan ragu untuk berkonsultasi. Dalam Islam, meminta nasihat kepada orang berilmu dan terpercaya bukan tanda kelemahan, melainkan corak ikhtiar yangg dewasa.
Merawat Cinta dengan Penuh Kesadaran
Kebahagiaan rumah tangga tidak tumbuh dari kesempurnaan, melainkan dari kesediaan untuk terus memperbaiki diri bersama. Saat kita berakhir membandingkan dan mulai bersyukur, maka kita bakal menyadari bahwa rumput di rumah sendiri pun bisa kembali hijau, asalkan dirawat dengan cinta, disirami dengan doa, dan dijaga dengan kesabaran.
Sebagaimana dikatakan oleh psikolog muslimah Aisyah Dahlan, “Rumah tangga itu bukan tempat mencari yangg sempurna, tapi tempat belajar menyempurnakan diri bersama.”
Cinta yangg sejati bukanlah cinta yangg selalu berbunga, tetapi cinta yangg tetap memperkuat meski musim berganti. Ia tumbuh dalam doa, teruji dalam sabar, dan berbuah dalam ketenangan.
Maka, ketika kejenuhan datang, jangan tergesa menilai bahwa cinta telah pudar. Bisa jadi, dia hanya butuh disiram kembali dengan kasih, didekap dengan doa, dan dibiarkan tumbuh dalam keheningan yangg ikhlas.
Rumah tangga bukan sekadar tempat tinggal, tetapi sekolah kehidupan tempat kita belajar mencintai dengan langkah yangg lebih bijak, bukan lantaran pasangan kita sempurna, tetapi lantaran kita mau menjadi pribadi yangg lebih baik di hadapan Allah SWT.
*Simpatisan Nasyiatul Aisyiyah dan Alumni IMM. Tinggal di Kota Yogyakarta
English (US) ·
Indonesian (ID) ·