Jakarta, Suara ‘Aisyiyah – Tanwir I ‘Aisyiyah bakal digelar pada 15-17 Januari 2025 di di Hotel Tavia Heritage. Beberapa rumor strategis dibahas dalam forum tersebut.
Salah satu yangg dinilai krusial dan nantinya bakal menjadi agenda pembahasan dalam Tanwir adalah kedaulatan pangan.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah, Salmah Orbayinah dalam Konferensi Pers Jelang Tanwir I ‘Aisyiyah pada Selasa (14/1) di Kantor PP Muhammadiyah Jakarta mengatakan, Visi Indonesia Emas 2045 yangg tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang, ialah Negara Nusantara Berdaulat, Maju dan Berkelanjutan bakal dicapai antara lain melalui kedaulatan pangan.
Perempuan, imbuh Salmah, mempunyai peran krusial dalam menggerakkan ketahanan dan kedaulatan pangan. Ia menyambut baik rencana pemerintah untuk menghentikan impor pangan dan menguatkan sektor pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Program Makan Bergizi Sehat yangg saat ini menjadi program pemerintah, Salmah berharap, dapat dipenuhi dari sumber bahan pangan dalam negeri dengan memperhatikan asupan gizi.
Ia pun mengingatkan agar pemerintah juga meletakkan perhatian pada wanita petani yangg banyak berkontribusi pada sektor pertanian namun belum banyak mendapatkan pengakuan identitas sehingga tidak mudah mengakses program pertanian maupun program peningkatan kapasitas.
Selain itu, dalam pembukaan Tanwir l ‘Aisyiyah juga bakal dilakukan penandatanganan MoU oleh PP ‘Aisyiyah dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) mengenai Perlindungan Perempuan dan Anak.
Baca Juga: Perempuan dan Penguasaan Ilmu Pengetahuan
Salmah menyampaikan, kerja sama dengan Kepolisian RI sebagai salah satu abdi negara penegak norma sangatlah krusial agar upaya perlindungan dan penanganan kekerasan terhadap wanita dan anak dapat dilakukan secara sinergis dengan mengedepankan perspektif korban.
Sementara Tri Hastuti Nur Rochimah, Sekretaris Umum PP‘Aisyiyah menambahkan bahwa Tanwir kali ini juga membahas perihal rumor wanita dan anak dalam perspektif Islam.
“‘Aisyiyah sebagai aktivitas wanita muslim berkemajuan, kudu merespons beragam persoalan yangg muncul dengan perspektif yangg moderat alias wasathiyah,” jelas Tri.
Ia menyebut, seperti problem sunat wanita yangg tidak dianjurkan dalam perspektif Muhammadiyah, masalah perkawinan anak yangg lebih banyak kemudaratannya, hingga perceraian yangg kudu dilakukan di dalam persidangan untuk mendapatkan kepastian norma dan perlindungan.
Positioning ‘Aisyiyah yangg mengedepankan mengerti keagamaan moderat tersebut menjadi penting, imbuhnya, sebagai referensi dalam merespons problem sosial dengan berkeadilan di tengah masifnya mengerti keagamaan yangg justru mendiskriminasi perempuan.
“Dalam konteks inilah, mengerti Islam wasathiyah perlu terus diinternalisasikan dan disosialisasikan termasuk melalui media,” tutup Tri. (Adam)-sa
English (US) ·
Indonesian (ID) ·