Suara Mesin Jahit - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 10 bulan yang lalu

Oleh: Mustofa W. Hasyim

Waktu anaknya tetap satu sampai tiga, Bu Amanah aktif menjadi pembimbing taman kanak-kanak. Apalagi rumahnya ada di dekat gedung taman kanak-kanak itu. Umur tiga anaknya terpaut dua tahun dan di rumah ada ibu mertua yangg tetap kuat mengasuh anak kecil. Anak nomor satu dan dua diajak sekalian ikut bergembira, aktif di taman kanak-kanak itu. Adik mini nomor tiga ditinggal di rumah berbareng nenek sampai kemudian ketika sudah berumur tiga tahun dia minta sendiri ikut ibunya mengajar.

Sepulang dari mengajar, Bu Amanah menjahit. Ada saja kenalan dan tetangga yangg menjahitkan baju anak-anak alias busana untuk remaja dan ibu-ibu. Keterampilan menjahit dia peroleh dari ibunya. Ibunya mewariskan mesin jahit onthel yangg diputar dengan tangan. Suaranya khas, mula-mula keras pada awal putaran roda lampau pelan-pelan melemah, kemudian mengeras lagi lantaran rodanya diputar lagi dengan sekuat tenaga.

Anak-anak berikutnya terus lahir, keempat, kelima, dan keenam yangg masing-masing dengan selang waktu dua tahun berturut-turut. Setelah lahir yangg keenam itu, Bu Amanah memutuskan untuk berakhir mengajar. Alasannya sederhana. Di rumah sendiri dia sudah repot punya “murid” sebanyak enam orang. Anak-anak yangg besar belajar di sekolah dasar. Adik-adik mereka belajar di taman kanakkanak. Mereka semua seolah tak capai-capainya berkatakata, berkelakuan ke sana kemari, kadang bentrok dengan gaduh.

Suami Bu Amanah, Pak Satrio, sebenarnya lulusan perguruan tinggi dan mengantongi gelar sarjana ekonomi dari sebuah kampus ternama. Namun, dia tidak menggunakan ijazahnya untuk mendapatkan kerja kantoran. Ini terjadi lantaran beberapa waktu sehabis Pak Satrio diwisuda, ayahnya meninggal dunia. Ibu dari Pak Satrio memintanya untuk terjun langsung mempraktikkan pengetahuan ekonomi bisnisnya dengan mengelola sebuah toko kelontong.

Itu adalah toko kelontong milik family dan satu-satunya di kampung mereka. Letaknya di pinggir jalan kampung yangg mulai ramai lantaran terhubung dengan pusat kota. Keluarga pun bermufakat untuk memberikan toko kelontong itu kepada Pak Satrio sebagai warisan lantaran semua kerabat Pak Satrio tidak ada yangg mau mengelola toko itu. Waktu itu Bu Amanah dan Pak Satrio sudah menikah dan punya anak satu.

Pak Satrio adalah pekerja tekun. Dia bekerja mengelola toko kelontong mulai pukul delapan pagi sampai pukul sembilan malam. Siang istirahat, makan siang di rumah kemudian kembali ke toko. Sebenarnya, sudah acapkali Pak Satrio minta agar istrinya berakhir menjahit. Cukup bekerja menjadi pembimbing swasta. Bu Amanah memilih meneruskan kerja menjahit di rumah. Toh tidak begitu mengganggu pengasuhan anak-anaknya meskipun anak-anak mereka banyak. Begitu pikirnya.

Memang mereka punya banyak anak. Setelah anak keenam pun kemudian tetap bertambah menjadi tujuh, dan baru berakhir setelah nomor delapan. Agar anak-anak itu bisa tumbuh wajar dan giat belajar, masing-masing anak dibuatkan bilik yangg dibangun secara berderetan dalam corak huruf U di laman belakang.

Baca Juga: Literasi Keuangan Anak: Menyiapkan Generasi Bijak dalam Mengelola Uang

Di tengah gedung yangg mirip pondok ini ada taman dengan kolam ikan yangg airnya selalu jernih. Di depan tiap-tiap bilik ada teras tempat bangku dan meja kecil. Tiap anak mendapat giliran untuk membersihkan kamar, teras, kolam, dan taman. Pada hari libur sekolah, semua bekerja hormat membersihkan tempat itu berikut rumah induk yangg dihuni oleh orang tua dan nenek mereka.

Pada saat anak keenam lahir, suami Bu Amanah membelikan mesin jahit genjot kaki. Maka dia dapat menggerakkan roda mesin jahit dengan duduk di kursi. Bunyi mesin jahit juga menjadi lebih halus. Para tetangga awalnya heran lantaran bunyi mesin jahit di rumah itu berbeda dari harihari sebelumnya. Mereka datang memandang dan setelah tahu Bu Amanah mendapat bingkisan ulang tahun dari suaminya berupa mesin jahit genjot, mereka memberi selamat. Bu Amanah pun ceria mendapat sambutan dari tetangga dengan tetap menjahitkan baju kepadanya.

Beberapa bulan setelah anak kedelapan lahir, Pak Satrio membelikanmesin jahit listrik untuk istri. Saat itu toko kelontong makin berkembang, dibangun menjadi dua tingkat dan Pak Satrio membeli tanah di sebelah tokonya untuk dibangun sebagai tempat parkir yangg cukup luas. Pak Satrio juga menambah tenaga kerja toko yangg diambil dari anakanak tetangga yangg telah selesai sekolah menengah dan belum mendapat pekerjaan, termasuk tukang parkir yangg sering bercerita kepada orang
tuanya bahwa Toko Kelontong Satrio selalu ramai pembeli. “Tempat parkir kendaraan selalu penuh. Lebih-lebih saat menjelang hari libur,” katanya.

Dengan datangnya mesin jahit listrik maka bunyi yangg keluar saat mesin jahit dipergunakan menjadi lebih halus. Hampir-hampir tidak kedengaran dari luar rumah. Lagi-lagi para tetangga berdatangan lantaran merasa ada suasana asing dari rumah Bu Amanah. Mengapa sepi? Tidak terdengar bunyi mesin jahit? Setelah mereka tahu jika di family ini telah ada mesin jahit listrik yangg nyaris tanpa bunyi, mereka pun ikut bergembira. Lalu, ada tetangga yangg nyeletuk,

“Lantas untuk apa mesin jahit yangg lama, Dik?”

“Tetap kami pergunakan, Mbakyu. Untuk latihan anak-anak menjahit. Semua anak saya kudu bisa menjahit meski setelah besar tidak kudu menjadi penjahit. Dengan mempunyai keahlian menjahit kan mereka bisa percaya diri jika suatu ketika mereka merantau alias hidup di tempat lain,” jawab Bu Amanah.

Pada hari-hari di bulan Ramadan, terdengar bunyi ramai sekali. Suara mesin jahit tiga generasi. Mesin jahit onthel bersuara lantaran rodanya diputar oleh anak yangg besar. Lalu terdengar bunyi mesin jahit genjot, dilengkapi dengan bunyi mirip desis dari bunyi mesin jahit listrik. Para tetangga terkejut dan heran mendengar bunyi ramai dari rumah Bu Amanah. Mereka berdatangan, bertanya, “Ada apa ini?”

Bu Amanah menjelaskan bahwa sebelum bulan puasa dia sekeluarga dengan naik mobil pergi ke toko kain. Pak Satrio memberi bingkisan lebaran berupa kain baju yangg jenis dan warnanya boleh dipilih sendiri. Bu Amanah dan suami juga membeli bahan pakaian. Setelah sampai rumah, kain itu dipotong sesuai dengan ukuran dan selera mode anak-anaknya. Nah, waktu bulan puasa mereka bergantian menjahit bajunya sendiri selain anak bungsu dan kakaknya. Karena tetap terlalu kecil, baju mereka dijahit oleh ibunya sendiri. Para tetangga kagum mendengar penjelasan itu.

Pada kemudian hari, ketika delapan anak itu sudah dewasa, sudah bekerja dan berkeluarga, kamar-kamar mereka disewakan menjadi bilik kos lantaran mereka sudah punya rumah sendiri dan selalu berkumpul menjelang Idul Fitri. Mereka kudu melakukan perjalanan mudik, mereka mengenang pengalaman spesial dalam keluarga—menjahit baju lebaran sendiri, kurang-kurang rapi sedikit tidak apa.

“Yang paling susah adalah memasang ritsleting di punggung. Saya nyaris kandas memasangnya,” kata anak wanita nomor tiga disambut bunyi tawa saudaranya.

Bagi para tetangga, yangg spesial adalah bunyi mesin jahit tiga generasi yangg terus terdengar siang malam, seperti berkompetisi cepat. Kadang diseling bunyi ramai komentar anak-anak itu ketika memandang ada kerabat mengalami kesulitan dalam menjahit baju sendiri lantaran modenya meniru busana artis yangg canggih dan kainnya kudu dipotong rumit. Untung selalu datang ibu mereka, memberi bantuan.

“Bergaya sekadarnya boleh, tapi kudu bertanggung jawab,” kata Bu Amanah.

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id