BANDUNGMU.COM, Bandung — Kabupaten Bandung terkenal salah satunya lantaran banyak letak wisata favorit masyarakat. Alamnya yangg hijau menjadikan Kabupaten Bandung yangg beribu kota di Soreang ini menjadi tujuan utama wisatawan.
Lantas seperti apa sejarah berdirinya Kabupaten Bandung? Mengutip laman bandungkab.go.id, berikut ulasannya.
Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi wilayah kekuasaan Mataram sejak 1620.
Sejak itu status Sumedanglarang pun berubah dari kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang.
Mataram menjadikan Priangan sebagai wilayah pertahanannya di bagian barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan alias Kompeni yangg berdomisili di Batavia.
Pasalnya Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) berbeda dengan Kompeni dan bentrok dengan Kesultanan Banten.
Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Suradiwangsa menjadi Bupati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan (1620-1624) dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal dengan julukan Rangga Gempol I.
Pada 1624 Sultan Agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan wilayah Sampang (Madura).
Oleh lantaran itu, kedudukan Bupati Wedana Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I pangeran Dipati Rangga Gede.
Tidak lama setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten.
Karena sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan tersebut.
Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya dimungkinkan antara lain lantaran pihak Mataram susah untuk mengawasi wilayah Priangan secara langsung akibat jauhnya jarak antara Pusat Kerajaan Mataram dengan wilayah Priangan.
Secara teoretis, jika wilayah tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, kekuasaan pusat di wilayah itu sangat lemah. Walau demikian, berkah support beberapa kepala wilayah di Priangan, Mataram akhirnya dapat memadamkan pemberontakan Dipati Ukur.
Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada 1632.
Setelah “pemberontakan” Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung menyerahkan kembali kedudukan Bupati Wedana Priangan kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yangg telah bebas dari hukumannya.
Selain itu, dilakukan juga reorganisasi pemerintahan di Priangan untuk menstabilkan situasi dan kondisi wilayah tersebut.
Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, ialah Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang, dan Kabupaten Sukapura.
Yakni dengan langkah mengangkat tiga kepala wilayah dari Priangan yangg dianggap telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur.
Ketiga orang kepala wilayah dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti diangkat menjadi Mantri Agung (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun.
Kemudian, Tanubaya sebagai Bupati Parakanmuncang dan Ngabehi Wirawangsa menjadi Bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha.
Ketiga orang itu dilantik secara berbarengan berasas “Piagem Sultan Agung” yangg dikeluarkan pada Sabtu 09 Muharam Tahun Alip (penanggalan Jawa).
Dengan demikian, 09 Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari jadi Kabupaten Bandung, melainkan sebagai hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.
Berdirinya Kabupaten Bandung, berfaedah di wilayah Bandung terjadi perubahan terutama dalam bagian pemerintahan.
Daerah yangg semula merupakan bagian (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan Sunda-Pajararan kemudian Sumedanglarang) dengan status yangg tidak jelas, berubah menjadi wilayah dengan status administratif yangg jelas, ialah kabupaten.
Setelah ketiga bupati tersebut dilantik di pusat pemerintahan Mataram, mereka kembali ke wilayah masing-masing.
Sajarah Bandung (naskah) menyebut bahwa Bupati Bandung Tumeggung Wiraangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur.
Pertama kali mereka datang ke Timbanganten. Di sana Bupati Bandung mendapatkan 200 cacah.
Selanjutnya Tumenggung Wiraangunangun berbareng rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yangg terletak di tepi Sungat Citarum dekat muara Sungai Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian Selatan) sebagai ibu kota kabupaten.
Sebagai wilayah pusat Kabupaten Bandung, Krapyak dan wilayah sekitarnya disebut Bumi Tatar Ukur Gede.
Wilayah administratif Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir abad ke-17) belum diketahui secara pasti lantaran sumber jeli yangg memuat info tentang perihal itu tidak/belum ditemukan.
Menurut sumber pribumi, info tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa daerah, antara lain Tatar Ukur, termasuk wilayah Timbanganten, Kahuripan, Sagaraherang, dan sebagian Tanah medang.
Boleh jadi, wilayah Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura, dan Galuh yangg semula merupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan wilayah administratif Kabupaten Bandung waktu itu.
Bila dugaan ini benar, Kabupaten Bandung dengan ibu kota Karapyak, wilayahnya mencakup wilayah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung, dan lain-lain, termasuk wilayah Kuripan, Sagaraherang, dan Tanahmedang.
Kabupaten Bandung sebagai salah satu kabupaten yangg dibentuk Pemerintah Kerajaan Mataram dan berada di bawah pengaruh penguasa kerajaan tersebut, maka sistem pemerintahan Kabupaten Bandung mempunyai sistem pemerintahan Mataram.
Bupati mempunyai beragam jenis simbol kebesaran, pengawal khusus, dan prajurit bersenjata. Simbol dan atribut itu menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh bupati atas rakyatnya.
Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan oleh pemilikan hak-hak spesial yangg biasa dimiliki oleh raja.
Hak-hak dimaksud adalah kewenangan mewariskan jabatan, kewenangan memungut pajak dalam corak duit dan barang, kewenangan memperoleh tenaga kerja (ngawula), kewenangan berburu, menangkap ikan, dan kewenangan mengadili.
Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram, tidaklah heran andaikan waktu itu Bupati Bandung khususnya dan Bupati Priangan umumnya berkuasa seperti raja.
Ia berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya. Sistem pemerintahan dan style hidup bupati merupakan miniatur dari kehidupan keraton.
Dalam menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh pejabat-pejabat bawahannya, seperti patih, jaksa, penghulu, demang alias kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu kepala distrik), patinggi (lurah alias kepala desa), dan lain-lain.
Kabupaten Bandung berada di bawah pengaruh Mataram sampai akhir 1677. Kemudian Kabupaten Bandung jatuh ke tangan Kompeni.
Hal itu terjadi akibat perjanjian Mataram – Kompeni (perjanjian pertama) pada 19-20 Oktober 1677.
Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), Bupati Bandung dan Bupati lainnya di Priangan tetap berdomisili sebagai penguasa tertinggi di kabupaten tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni.
Sistem pemerintahan kabupaten pada dasarnya tidak mengalami perubahan lantaran Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui kekuasaan Kompeni, dengan agunan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC.
Dalam perihal ini bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan jual beli dengan pihak lain. Satu perihal yangg berubah adalah kedudukan bupati wedana dihilangkan.
Sebagai gantinya, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai pengawas (opzigter) wilayah Cirebon – Priangan (Cheribonsche Preangerlandan).
Salah satu tanggungjawab utama bupati terhadap kompeni adalah melaksanakan penanaman wajib tanaman tertentu, terutama kopi, dan menyerahkan hasilnya.
Sistem penanaman wajib itu disebut Preangerstelsel. Sementara itu, bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban wilayah kekuasaannya.
Bupati juga tidak boleh mengangkat alias memecat pegawai bawahan bupati tanpa pertimbangan Bupati Kompeni alias penguasa Kompeni di Cirebon.
Agar bupati dapat melaksanakan tanggungjawab yangg disebut terakhir dengan baik, pengaruh bupati dalam bagian keagamaan, termasuk penghasilan dari bagian itu, seperti bagian amal fitrah, tidak diganggu, baik bupati maupun rakyat (petani) mendapat penghasilan atas penyerahan kopi yangg besarnya ditentukan oleh Kompeni.
Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni – VOC akhir 1779, Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak. Selama itu, Kabupaten Bandung diperintah secara turun-temurun oleh enam orang bupati.
Tumenggung Wiraangunangun (merupakan bupati pertama) angkatan Mataram yangg memerintah sampai 1681.
Lima bupati lainnya adalah bupati angkatan Kompeni ialah Tumenggung Ardikusumah yangg memerintah 1681-1704, Tumenggung Anggadireja I (1704-1747), Tumenggung Anggadireja II (1747-1763), R Anggadireja III dengan gelar RA Wiranatakusumah I (1763-1794), dan RA Wiranatakusumah II yangg memerintah dari 1794-1829.
Pada masa pemerintahan Bupati RA Wiranatakusumah II, ibu kota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Krapyak ke Kota Bandung.***
___
Sumber: bandungkab.go.id
Editor: FA
English (US) ·
Indonesian (ID) ·