Indonesia sudah beberapa kali menyelenggarakan Pemilu pasca tumbangnya Orde Baru; baik pemilihan untuk memilih Presiden wakil Presiden, memilih personil legislatif di tingkat pusat/provinsi/ daerah, pemilihan personil DPD, maupun Pilkada. Selama 25 tahun kita berdemokrasi, tetap banyak pekerjaan rumah gimana membangun kerakyatan yangg substansial. Demokrasi yangg secara prosedural melangkah baik, kerakyatan yangg menjaga prinsip-prinsip moralitas, dan kerakyatan yangg membawa ke arah kesejahteraan seluruh rakyat.
Tahun 2024 lalu, Indonesia telah menyelenggarakan pesta kerakyatan terbesar sepanjang Republik ini berdiri, ialah Pemilu dan Pilkada serentak. Namun dalam proses penyelenggaraan Pemilu tetap ditemui beragam catatan untuk menuju kerakyatan yangg substansial. Catatan ini penting, untuk terus memperbaiki proses kerakyatan di Indonesia.
Beberapa poin yangg perlu digaribawahi dalam penyelenggaraan Pemilu Februari 2024 lampau antara lain, Pertama, tetap ditemukan pelanggaran Pemilu mengenai dengan politik uang. Politik duit tetap menjadi modus dan strategi dalam merebut hati rakyat, bukan dengan program dan komitmen. Pada satu sisi tidak sedikit pemilih yangg tetap tergoda dengan politik uang. Gerakan tolak politik duit belum masif dan pembuktian terjadinya praktik politik duit dalam penyelenggaraan Pemilu belum maksimal dilaksanakan.
Kedua, Pemilu belum sepenuhnya inklusif. Masih ada pemilih yangg tidak terlayani dengan baik ketika menggunakan kewenangan pilihnya khususnya penyandang disabilitas yangg beragam. Kartu pemilih belum ramah dengan ragam disabilitas ialah kartu bunyi dengan braille, itupun hanya kartu yangg bergambar calon Presiden dan Wakil Presiden. Demikian juga lansia, khususnya lansia yangg mempunyai penyakit jangka panjang dan tidak bisa datang ke TPS. Pemilih yangg di lapas pun serimgkali luput dari sosialisasi penyelenggaraan Pemilu.
Ketiga, keterwakilan perempuan. Dalam Pemilu 2024, jumlah wanita yangg menjadi wakil rakyat sebagai personil legislatif tetap belum memenuhi sasaran minimal ialah 30% keterwakilan perempuan. Biaya politik yangg tinggi menjadi salah satu aspek penyebabnya. Biaya politik yangg tinggi ini juga menyebabkan kader-kader terbaik bangsa tidak dapat bersaing dalam Pemilu 2024 ini untuk menjadi personil legislatif.
Baca Juga: DPR 2024 dan Reformasi Legislasi
Keempat, maraknya hoaks tentang Pemilu di media sosial, perang antar kandidat yangg diwakili para buzzer tetap menjadi pekerjaan rumah berat di tengah perkembangan bumi digital yangg pesat ini. Ini hanyalah beberapa catatan mini untuk menjadi perhatian kita berbareng sebagai penduduk negara dalam membangun kerakyatan di Indonesia. Kondisi ini kudu menjadi perhatian semua pihak, ialah pemerintah, penyelenggara pemilu, akademisi, media massa, dan tentu organisasi masyarakat sipil. Pendidikan pemilih sebagai bagian dari pendidikan politik tetap kudu secara massif dan intensif dilaksanakan, dengan angan keempat catatan di atas dapat dikurangi apalagi dihilangkan.
Pesta kerakyatan sudah usai baik itu memilih Presiden/Wapres, personil legislatif, ataupun memilih pasangan gubernur/wakil gubernur, pasangan bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota di seluruh Indonesia secara serentak. Pasca Pemilu, yangg kudu menjadi catatan krusial bahwa penyelenggaraan pemerintahan sesungguhnya “baru dimulai”. Oleh lantaran itu menjadi tugas para pemilih sebagai penduduk negara untuk mengawal gimana penyelenggaraan pemerintahan pasca Pemilu dalam memegang mandat 5 tahunan dari seluruh rakyat Indonesia.
Ruang-ruang partisipasi kudu dibuka seluas-luasnya agar masyarakt sipil mempunyai ruang untuk berperan-serta secara berarti dalam proses penyelenggaraan pemerintah. Bukan sekedar diundang dalam konsultasi publik secara umum namun betul-betul penyusunan program didasarkan pada kebutuhan masyarakat, demi kesejahteraan masyarakat, demi pemenuhan kewenangan penduduk negara.
Pada satu sisi, masyarakat kudu secara aktif berperan-serta untuk mengawal berjalannya pemerintahan sehingga program-program pemerintah sesuai dengan janji-janji yangg diucapkan saat berkampanye. Demikian juga dengan personil legislatif, kudu datang kembali menemui konstituen di wilayah pemilihan yangg telah mempercayainya. Para personil legislatif dan senator yangg sudah dipilih, kudu ingat bahwa mereka adalah wakil rakyat, wajib hukumnya membawakan bunyi rakyat yangg diwakilinya.
Untuk mencapai kondisi ideal ini maka pendidikan politik, pendidikan kewargaan (civic education), bukan sekedar pendidikan pemilih kudu terus dilaksanakan. Kita sebagai penduduk negara kudu mempunyai kesadaran atas kewenangan kita, untuk menagih janji seluruh penyelenggara negara yangg sudah kita beri mandat. Memang membangun sistem kerakyatan yangg sehat memerlukan kerja keras dari semua termasuk mengawal jalannya pemerintah baru yangg sudah kita berikan mandat. [10/24] (Tri Hastuti Nur R.)
English (US) ·
Indonesian (ID) ·