Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Presidential Threshold yangg semula 20% menjadi 0% ini tentu disambut baik oleh masyarakat. Sejumlah master norma dan perpolitikan mengapresiasi langkah ini sebagai angin segar bagi kerakyatan Indonesia ke depannya.
Ridho al-Hamdi, Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LHKP PP Muhammadiyah) juga turut sepakat dan mengapresiasi langkah lembaga yudikatif ini. Ia mengatakan, “Saya pribadi setuju dengan putusan MK yangg menghapus syarat periode pemisah presiden (presidential threshold) 20 persen. Dengan demikian, kejuaraan Pilpres ke depan dapat menghadirkan kandidat yangg beragam.”
Akan tetapi, Ridho menghimbau untuk diadakannya kebijakan lebih lanjut soal pencalonan presiden nanti. Ketua LHKP PP Muhammadiyah ini menyarankan, “Namun, periode pemisah 0% tidak serta merta diterima begitu saja lantaran ini bisa liar dan siapa saja tanpa identitas yangg jelas bisa maju dan justru merusak tata kelola demokrasi. Pelembagaan partai politik tetap kudu dijaga agar arah konsolidasi kerakyatan Indonesia tetap melangkah pada relnya.”
Ia menambahkan, “Karena itu, saya mengusulkan bahwa periode pemisah presiden memang 0% tetapi Capres-Cawapres hanya bisa diusulkan oleh partai politik yangg lolos periode pemisah parlemen (parliamentary threshold). Jadi, periode pemisah parlemen tetap ada.”
Pencalonan presiden berdasarkan Parliamentary Treshold ini menurut Ridho adalah corak apresiasi sistem pemilu terhadap keahlian parpol yangg sukses memperoleh bangku DPR RI. Kemudian, bagi parpol yangg yang kandas ke parlemen, mereka diminta untuk bekerja lebih serius lagi pada Pemilu berikutnya. Ia juga menegaskan bahwa pengelolaan parpol kudu dilakukan dengan strategi serius untuk menjaga kesinambungan (sustainability) dan daya ketahanan (resiliency).
Sementara itu, periode pemisah parlemen tidak lagi 4% seperti yangg bertindak pada UU Pemilu 2017. Hasil risetnya berbareng tim di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengusulkan periode pemisah parlemen berkisar antara 2,5% hingga 3%. Jumlah ini setara setidaknya 18 bangku dari 580 bangku DPR RI. Ridho menyatakan bahwa tawaran ini didasarkan pada sejumlah pertimbangan.
Baca Juga: DPR 2024 dan Reformasi Legislasi
“Pertama, periode pemisah parlemen 4% terlalu besar yangg mengakibatkan wasted vote (suara yangg tidak terpakai) terlalu besar. Hasil riset kami menunjukkan, total wasted vote pada Pileg 2014 adalah 21,79% alias 124.972.491 bunyi dengan metode hitung Kuota Hare. Sementara total wasted vote pada Pileg 2019 adalah 21,43% alias 29.532.028 bunyi dengan metode hitung Sainte Lague Murni. Kami belum menghitung total wasted vote pada Pileg 2024 lantaran memerlukan tim yangg banyak melakukan simulasi ini.” ucap Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini.
Ia juga menjelaskan bahwa tawaran kreasi periode pemisah 2,5% hingga 3% ini telah menunjukkan bahwa sebuah fraksi minimal dapat mendistribusikan para anggotanya ke semua Alkep DPR RI. Jika diberlakukan periode pemisah parlemen 0%, pelembagaan partai politik tidak terjadi. Ridho mengungkapkan, “Kita tentu ingat ketika Pileg 2004 menerapkan periode pemisah parlemen 0% tersebut yangg mengakibatkan ada satu fraksi yangg terdiri dari beberapa partai politik yangg pada akhirnya fraksi tersebut bercempera di tengah jalan lantaran beragamnya perbedaan di internal fraksi tersebut.”
Pada akhirnya, menurut Dosen Ilmu Politik UMY ini, semua keputusan pasti ada risikonya masing-masing. “Tidak ada keputusan yangg ideal dan menyenangkan semua pihak. Namun, jalan tengah merupakan langkah yangg terbaik dalam menyelesaikan masalah sehingga ada titik jumpa memperkecil akibat buruk.” pungkasnya. (-lsz)
English (US) ·
Indonesian (ID) ·