BANDUNGMU.COM, Bandung — Pada masa Rasulullah Muhammad SAW belum ada kehidupan industrialisasi yangg berkembang di masa tokoh Muhammadiyah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) berkecimpung dalam aktivitas dakwahnya.
Salah satu konsentrasi perhatian Buya Hamka adalah gimana kelopok sosial yangg mulai tumbuh saat itu seperti kuli, pekerja pabrik, dan pekerja kasar bisa menjalankan tanggungjawab hukum Islam dengan tetap melaksanakan kewajibannya mencari nafkah untuk keluarga.
Berkaitan dengan tanggungjawab puasa ramadan bagi kuli, buruh, dan pekerja kasar, Buya Hamka dalam “Tafsir Al-Azhar” yangg ditulisnya menyimpulkan bahwa Allah SWT memberikan rukhsah lantaran menghendaki hamba-Nya kemudahan dalam menjalankan hukum Islam.
Pada ayat ke-184 surat Al-Baqarah, kaum muslimin dibolehkan mengambil rukhsah (keringanan beribadah) untuk tidak melaksanakan puasa pada bulan suci Ramadan. Rukhsah untuk para pekerja di atas sama dengan rukhsah untuk orang yangg berpergian jauh, sakit, ibu mengandung dan menyusui.
“(yaitu) dalam beberapa hari yangg tertentu. Maka barangsiapa diantara Anda ada yangg sakit alias dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yangg ditinggalkan itu pada hari-hari yangg lain. Dan wajib bagi orang-orang yangg berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) bayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yangg dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yangg lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika Anda mengetahui.”
Menurut Buya Hamka, bagi mereka yangg telah mengambil rukhsah, wajib menggantinya (qadha) di hari-hari lain di luar bulan Ramadan.
Jika telah melewati Ramadan di tahun depan, maka qadha ditambah dengan fidyah. Fidyah adalah denda yangg kudu dibayar andaikan tidak menjalankan ibadah puasa.
Fidyah dilaksanakan dengan langkah memberikan bahan pokok sebanyak satu mud kepada fakir miskin. Satu mud itu setara dengan 675 gram, jadi untuk menghitungnya ialah 675 gram beras dikali jumlah hari puasa yangg ditinggalkan. Cara bayar fidyah bisa dilaksanakan dengan uang.
Menurut Buya Hamka, meski kemudahan yangg diberikan Allah Swt melalui rukhsah, namun perihal ini menyangkut kehormatan diri seorang muslim di hadapan Tuhannya. Sebagai hutang dan keringanan, norma rukhsah puasa tidak boleh dipermainkan alias ditunda-tunda pembayarannya.
Bagaimana dengan rukhsah para pekerja kasar dan kuli? Pada kasus tertentu, pengambil rukhsah boleh bayar fidyah tanpa kudu meng-qadha. Misalnya pada ibu mengandung alias ibu menyusui.
Buya Hamka lampau mengutip riwayat Ibnu Jarir dan Ad-Daruqthni bahwa lbnu Abbas pernah berbicara kepada ibu anak-anak yangg sedang mengandung alias menyusukan bahwa dalam keadaan demikian dia telah termasuk orang yangg berat memikul puasa, karena itu dia pun biarlah memberi makan fakir-miskin (fidyah) saja, tidak usah qadha.
Yang mengqadha hanyalah orang yangg haidh. Orang nifas pun jika anaknya tidak disusukannya sendiri, alias meninggal sesudah lahir.
Di luar musafir, orang sakit, hamil, dan menyusui, soal rukhsah kerap ditanyakan oleh orang yangg sudah berumur lanjut alias sakit parah hingga para pekerja kasar/kuli yangg kudu bekerja berat di waktu-waktu ibadah puasa. Buya Hamka beranggapan mereka boleh bayar fidyah tanpa qadha.
Pada masalah ini, Buya Hamka mengutip penjelasan Muhammad Abduh bahwa rukhsah bagi mereka dibolehkan dengan memisalkan kasus pada ibu mengandung dan menyusui di atas.
“Di era moden sekarang ini, Syaikh Muhammad Abduh pernah menanyakan pendapat bahwasanya buruh-buruh yangg bekerja keras siang dan malam pada pertambangan dengan secara aplusan pun boleh bayar fidyah, tidak qadha.
Sebab ada di antara mereka yangg masuk kerja tengah malam, baru keluar besoknya tengah hari. Dan ada yangg sehari, malam baru pulang.
Ada yangg semalam, pagi baru pulang. Mungkin termasuk juga di sini buruh-buruh kapal, kelasi-kelasi dan lain-lain seumpama itu.
Orang kapal itu bukan saja musafir saja lagi, apalagi di kapal itulah mata hidup mereka sejak muda, lampau tua sampai pensiun. Kalau sudah pensiun baru disuruh mengqadha, alangkah banyaknya mesti diqadha.
Kelak saja jika ada masa mereka libur bertepatan dengan bulan Ramadan, mereka puasakan sebulan penuh di rumah.
Keterangan Ustaz Imam Syaikh Muhammad Abduh tadi banget krusial kita perhatikan. Sebab di dalam kitab-kitab fiqh yangg lama perihal ini tidak bakal terdapat.
Sebab pada masa dulu itu belum ada kehidupan industrilisasi sebagai sekarang, belum ada tukang arang di dalam kapal, yangg selalu mesti memanaskan uap dengan memasukkan batu bara yangg baru, dan belum ada pekerja pekerja tambang.
Padahal kepercayaan kita dipakai terus. Betapa pun hebatnya perobahan zaman. Dan bahwa berijtihad itu tidak bakal putus-putus selama-lamanya, karena ini pun memenuhi pendirian ulama-ulama modern yangg mengatakan bahwa berijtihad itu tidak bakal putus-putus selama-lamanya.
Sebab soal-soal baru bakal tetap timbul yangg wajib diselesaikan oleh ulama-ulama yangg disebut ikutan ummat.”***
___
Sumber: muhammadiyah.or.id
Editor: FA
English (US) ·
Indonesian (ID) ·