Bahasa Arab: Bahasa Wahyu, Bahasa Kesetaraan, dan Bahasa Surga
INFOMU.CO | Bahasa Arab bukan hanya bahasa kitab suci, tetapi bahasa yangg menegakkan keadilan. Ia menjembatani Tuhan dan manusia tanpa kasta, tanpa jarak, tanpa sekat sosial.
Ketika Allah menurunkan firman-Nya, Ia memilih satu bahasa — bukan lantaran ras, wilayah, alias bangsa, melainkan lantaran hikmah.
Al-Qur’an tidak turun dalam bahasa istana, bukan pula dalam dialek kaum elite. Ia turun dalam bahasa Arab — bahasa yangg hidup di tengah padang pasir, sederhana namun mendalam, lugas namun sarat makna.
Firman Allah menegaskan:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya sebagai Al-Qur’an berkata Arab agar Anda berpikir.” (Yusuf: 2)
Ayat ini menjadi penanda bahwa Islam datang bukan untuk membangun tembok antara langit dan bumi, antara Tuhan dan manusia. Bahasa Arab menjadi jembatan Ilahi yangg bisa dipahami oleh siapa saja yangg mau menggunakan akalnya.
Dalam setiap lafaz dan struktur katanya terdapat keseimbangan makna dan harmoni logika—seolah Allah menunjukkan bahwa keadilan tidak hanya termanifestasi dalam hukum-Nya, tetapi juga dalam bahasa wahyu-Nya.
Bahasa Arab adalah bahasa yangg egaliter. Setiap kata lahir dari akar yangg sama, melahirkan turunan yangg serasi tanpa kasta linguistik.
Seorang penguasa dan seorang hamba dapat mengucapkan kalimat yangg sama tanpa kehilangan kehormatannya. Tidak ada diksi yangg diciptakan untuk menundukkan manusia lain; semuanya tunduk hanya kepada makna, bukan status.
Lebih dalam dari itu, Allah sendiri menunjukkan sifat egaliter-Nya melalui bahasa yangg Ia gunakan kepada hamba-hamba-Nya. Ketika Allah berfirman kepada para nabi, kepada orang beriman, apalagi kepada manusia yangg berdosa, Ia menggunakan bahasa yangg sama—tanpa membeda-bedakan makhluk satu dengan lainnya.
Ia berkata, “Innī ana rabbuka” (Sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu),
dan kepada hamba yangg bermohon Ia ajarkan, “Allāhumma anta rabbī” (Ya Allah, Engkaulah Tuhanku).
Dhamīr yang digunakan sama — anta, ka, huwa — menunjukkan bahwa di hadapan Allah, semua manusia berbincang dengan kedekatan yangg setara. Tidak ada jarak linguistik antara Tuhan dan hamba-Nya.
Inilah corak egalitarianisme ilahiah yangg paling halus: apalagi bahasa wahyu tidak mengenal kasta. Seorang nabi dan seorang hamba yangg bertobat sama-sama dipanggil dengan bahasa yangg mengandung kasih, bukan kekuasaan yangg menindas. Allah tidak berbincang dengan bahasa istana, melainkan bahasa hati.
Dari bahasa ini lahirlah peradaban pengetahuan yangg menjunjung kesetaraan. Ilmu tafsir, fikih, kedokteran, astronomi, filsafat, hingga sastra tumbuh dari rahim bahasa Arab yangg kaya dan terbuka.
Tanpa Sekat
Siapa pun yangg mau belajar dapat memasukinya tanpa sekat. Bahasa ini mempersatukan para ustadz dari Andalusia hingga Samarkand, dari Baghdad hingga Cordoba—tanpa menanyakan warna kulit, asal bangsa, alias garis keturunan.
Egalitarianisme ini kemudian hidup nyata dalam peradaban Islam. Para pemimpin Islam pertama—Khulafaur Rasyidin—meneladankan prinsip itu dengan penuh keindahan.
Mereka tidak menempatkan diri sebagai penguasa, melainkan sebagai khādimul ummah, pelayan umat.
Abu Bakar ash-Shiddiq dikenal rendah hati dan takut melakukan kejam dalam kekuasaan. Umar bin Khaththab berkeliling malam memikul gandum untuk rakyatnya yangg lapar.
Utsman bin Affan menafkahkan hartanya tanpa pemisah demi kemaslahatan umat. Ali bin Abi Thalib menegakkan keadilan apalagi ketika yangg dihadapinya adalah kerabat sendiri.
Kepemimpinan mereka bukan tentang takhta, tapi tentang tanggung jawab. Mereka bukan penguasa rakyat, melainkan pengabdi amanah Allah. Dalam sistem nilai mereka, senioritas bukanlah keistimewaan, melainkan ujian kerendahan hati. Tidak ada jarak antara khalifah dan rakyat, lantaran keduanya sama-sama hamba di hadapan Tuhan yangg Esa.
Itulah roh egaliter yangg memancar dari wahyu — dari bahasa yangg digunakan Allah kepada makhluk-Nya, dari sabda Rasul yangg memanusiakan manusia, hingga kepemimpinan sahabat yangg menjunjung keadilan.
Bahasa Surga
Bahasa Arab bukan sekadar perangkat komunikasi, tetapi wadah wahyu, pembawa nūr kebenaran. Dalam keindahannya tersimpan spirit egalitarianisme ilahiah: bahwa setiap manusia berkuasa untuk mengenal Tuhannya secara langsung, tanpa perantara, tanpa lapisan sosial yangg membatasi.
Itulah sebabnya bahasa ini disebut sebagai bahasa surga — lantaran surga adalah tempat tanpa diskriminasi, tanpa kasta, dan tanpa perbedaan selain ketakwaan. Sebagaimana firman Allah:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya yangg paling mulia di antara Anda di sisi Allah adalah yangg paling bertakwa.” (Al-Hujurat: 13)
Maka, bahasa Arab adalah cermin dari prinsip ilahiah: keadilan, kesetaraan, dan keterbukaan makna. Ia adalah bahasa yangg mempersatukan bumi dengan langit, logika dengan cinta, pengetahuan dengan iman.
Dan ketika Al-Qur’an berbincang dengan bahasa Arab, sejatinya dia sedang berbincang dengan bahasa jiwa manusia: sederhana, mendalam, dan adil. Dari bahasa inilah lahir peradaban yangg egaliter—peradaban yangg menempatkan manusia bukan pada tingginya takhta, tapi pada dalamnya takwa. (tagar.co)
12 jam yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·