Merenungi Kembali Hubungan Pancasila, Muhammadiyah, dan Soekarno - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu

BANDUNGMU.COM, Bandung — Ketua Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis (LKKS) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Fajar Riza Ul Haq merefleksikan hubungan Muhammadiyah, Pancasila, dan Soekarno.

Bagi Fajar, Hari Lahir Pancasila 1 Juni merupakan kesempatan yangg baik untuk memandang kembali Pancasila yangg digagas Soekarno menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Fajar mengatakan, seremoni Hari Lahir Pancasila merujuk pada awal mula pendapat tentang dasar negara disampaikan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945.

Gagasan tersebut, tutur Fajar, lampau didiskusikan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI).

“Kemudian disepakati menjadi dasar negara yangg diintegrasikan dalam Pembukaan Undang-Undangan Dasar 1945 dengan lima sila sebagaimana yangg kita kenal hari ini dengan Pancasila,” kata Fajar seperti bandungmu.com kutip dari laman muhammadiyah.or.id pada Sabtu (03/06/2023).

Interaksi Soekarno dengan para personil BPUPKI selama tiga hari sejak 29 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945 merupakan bagian kontemplasi dialogis untuk menyerap beragam aspirasi sosio-antropologis bangsa yangg diwakili oleh personil BPUPKI.

Menurut Fajar, salah satu hubungan yangg paling terkenal adalah ketika Bung Karno menyampaikan pendapat kebangsaan kepada Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1942-1945 Ki Bagoes Hadikoesomo.

“Dengan pendapat kebangsaan tersebut, kedua tokoh Bung Karno dan Ki Bagoes Hadikoesomo sepakat Indonesia didirikan. Di atas satu kebangsaan Indonesia, kita dasarkan negara Indonesia,” ungkap Fajar.

Menurut Fajar, pendapat yangg kemudian tersusun dalam urutan Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan merupakan nilai-nilai dasar yangg diyakini sebagai fondasi terkuat dari sebuah negara.

Oleh lantaran itu, Pancasila dengan 5 pendapat utamanya bakal terus dan tetap menjadi dasar negara dan disepakati tidak bakal terganti oleh ideologi apa pun.

Dar al ahdi wa-al-syahadah: doktrin Muhammadiyah bernegara

“Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan Islam yangg merupakan bagian dari pembentuk negara dan dasar negara, secara etik politik terus-menerus menegaskan posisi ideologisnya bahwa negara Pancasila bagi Muhammadiyah adalah dar al ahdi wa al-syahadah alias negara konsensus dan kesaksian,” tutur Fajar.

Doktrin dar al ahdi wa al-yahadah merupakan bagian dari Risalah Islam Berkemajuan yangg merupakan pedoman personil Muhammadiyah dan umat Islam Indonesia.

Peneguhan sikap Muhammadiyah juga merupakan bagian dari perlawanan atas upaya-upaya golongan tertentu yangg berupaya mengganti ideologi Pancasila.

“Sebagai komponen bangsa, Muhammadiyah terus-menerus menyimak dan mendalami beragam dinamika nasional yangg dalam batas-batas tertentu memunculkan keraguan dan pertanyaan, tentang gimana Pancasila menjadi ideologi yangg mempersatukan, ideologi yangg memandu kehidupan spiritual pemancar kebijakan,” ungkap Fajar.

“Atau gimana Pancasila menjadi dasar pengambilan keputusan yangg bajik dan untuk kepentingan republik dan gimana pula Pancasila menjadi perangkat pembelaan mencapai keadilan dan kesejahteraan untuk semua. Pertanyaan-pertanyaan ini terus muncul berulang setiap Pancasila diperingati pada 1 Juni, juga selalu muncul pada saat Pancasila dilafalkan dan didiskusikan,” kata Fajar menambahkan.

Dirinya lampau menyinggung soal temuan riset Setara Institute (2023) yangg menggambarkan bahwa secara diskursif 83,3 persen Pancasila dianggap sebagai bukan ideologi permanen.

Menurutnya, hasil riset tersebut merupakan kritik bagi semua pihak lantaran Pancasila belum menunjukkan keahlian konkret bagi kehidupan bangsa.

“Sekalipun bukan kehendak mengganti Pancasila, tetapi opini kebanyakan bahwa Pancasila bukan ideologi permanen adalah ancaman yangg sangat serius bagi bangsa,” tutur Fajar.

Bukan perangkat mengikis kemajemukan

Lebih lanjut, Fajar mengatakan semua komponen bangsa kudu memastikan Pancasila menjadi ideologi yangg bekerja khususnya menjadi pedoman penyelenggaraan negara.

Termasuk di bagian kepemimpinan nasional, penyelenggaraan kegunaan legislasi, penyelenggaraan kegunaan yudikatif dalam memutus beragam perkara, dan dalam tata laku para penyelenggaraan negara.

“Pancasila jelas bukan perangkat penyeragaman yangg mengikis kemajemukan, bukan juga instrumen penundukkan bagi mereka yangg tidak sejalan dengan aspirasi negara, bukan pula instrumen suatu rezim dalam corak rejimentasi yangg gagap menjawab urusan republik,” ungkap Fajar.

Lebih lanjut, Fajar mengatakan Muhammadiyah bakal terus menjadi bagian solusi dan kontribusi memastikan ideologi negara bekerja.

Hal ini dilakukan Muhammadiyah melalui beragam pranata sosial keagamaan, majelis-majelis organisasi yangg dimiliki, sekolah, universitas dan rumah sakit, dan sektor sektor-sektor lain yangg ditangani Muhammadiyah.

“Kita bakal memastikan ideologi negara bekerja, dirasakan warga, sekaligus menjadi perangkat pemberdaya dan pembela penduduk negara untuk mencapai tujuan nasional,” tandas Fajar.

“Yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban bumi yangg berasas kemerdekaan, perdamaian kekal dan keadilan sosial,” pungkas Fajar.***

-->
Sumber bandungmu.com
bandungmu.com