Oleh: Ahsan Jamet Hamidi
Perempuan terlihat separuh tua itu tengah menyiapkan kitab Qiroati (buku tuntunan belajar membaca Al-Quran) yangg bakal dibawa anak lelakinya untuk belajar mengaji. Sepulang sekolah dasar, anak laki-laki itu tidak sempat bermain berbareng kawan sebayannya. Ia bergegas mandi, berganti baju lampau berangkat lagi untuk sekolah mengaji di sore hari.
Usai berpakaian rapi, dia meminta satu lembar duit lima ribu sebagai bekal, lampau bergegas mencium tangan ibunya. Sang ibu mendekap tubuh kurusnya dengan kuat, mencium kening, dan berpesan: ”jangan bandel di tempat ngaji ya…minggu depan ada mahfuz surat pendek lho kata Abah Nu’man”.
Perempuan ayu berkulit kuning langsat dan berpostur tinggi itu itu nampak lebih tua dari usia sebenarnya. Ia biasa dipanggil Muna, tentu itu bukan nama sebenarnya. Umurnya baru mau mendekati kepala tiga. Cerita kelam yangg dia lalui telah membikin semuanya melaju begitu cepat, melampaui teman-teman sebayannya.
Umur hanyalah bilangan angka, tetapi raut muka, kulit, rambut, tulang-tulang yangg menyangga tubuhnya terasa begitu sigap sekali menua. Hidup di bumi malam yangg lekat dengan pengaruh polusi asap rokok dan alkohol, mungkin menjadi musabab utamanya. Kepiluan hidup yangg sudah dia alami sejak mengandung di usia kelas 2 SMA akhirnya berhujung di sini, di Gang Dolly, area lokalisasi prostitusi di Surabaya.
Jangan pernah bertanya siapa ayah anak laki-laki semata wayangnya itu. Hingga sekarang pun dia belum mengurus akta kelahiran. Bukan soal biaya, dia sudah putus asa membayangkan rumitnya birokrasi dan beragam pertanyaan yangg bakal menumbuhkan luka perih. Meski dia tinggal dan mengais rezeki di Gang Dollydi, Muna berkeinginan kuat untuk meneguhkan angan mini kepada Gesi, putra semata wayangnya. Ia bermunajat:
”Setelah Gesi tamat Sekolah Dasar, saya bakal segera mengirimnya ke Pondok Pesantren untuk belajar agama. Setelah bekal agamanya kuat, saya pasrahkan kepada ALLAH untuk membawanya entah kemana”.
Harapan itu dia sampaikan sembari menghisap rokok dalam-dalam. Air matanya terus membanjiri pipi, meluruhkan bedak tebal di pipinya. Usapan dari berlembar-lembar tisu putih itu juga telah menghapus ginju merah di bibirnya. Tatapan matanya kosong, wajahnya menengadah ke langit, seolah sedang menyampaikan pesan sangat kuat kepada sang pembuat langit.
Kampung Dolly
Dulu, area Dolly dipadati oleh ribuan wanita pekerja seks komersial. Mereka menempati kamar-kamar ukuran 2X3 meter di antara ratusan rumah bordil. Kamar-kamar itu menjadi tempat transaksi seks, sekaligus tempat tinggal sementara. Para wanita boleh tinggal di rumah-rumah itu selama tetap bisa menghasilkan uang. Jika sudah tidak lagi produktif, mereka kudu keluar dan pergi.
Tidak semua rumah di area Dolly menjadi tempat transaksi seks. Banyak rumah yangg berfaedah sebagai tempat tinggal biasa. Salah satunya adalah rumah Abah Nu’man. Di rumah itu ada tulisan ”Rumah Tempat Tinggal” yangg tertempel tepat di tembok bagian depan. Itu sebagai pertanda yangg kudu dipahami oleh para pekerja seks dan para visitor area itu.
Baca Juga: Pidato Siti Hayinah pada Kongres Perempuan Indonesia Pertama: Persatoean Manoesia
Abah Nu’man adalah seorang santri alumni Pondok Gontor dan sekarang aktif mengajar Ilmu Agama di UIN (Universitas Islam Negeri) Surabaya. Ia meraih gelar Doktor Ilmu Agama dari UIN Jakarta. Sejak belia, dia memang tinggal di area Dolly. Ayahnya seorang pendiri sekaligus pemimpin masjid di area itu. Abah sudah sangat terbiasa dengan bising lagu-lagu dangdut yangg bergema nyaris 24 jam di sisi kanan, kiri, depan hingga belakang rumahnya. Suara itu terhenti sejenak di saat azan berkumandang. Ada ribuan pekerja seks dengan segala macam perilakunya yangg telah dia temui. Mereka datang-pergi dan hilir-mudik di sekitar tempat tinggalnya.
Ali-alih menjauhi, Abah Nu’man merasa tertantang untuk melakukan sesuatu yangg berfaedah bagi dirinya serta anak-cucu mereka yangg tinggal di episentrum itu. Tekadnya bulat, tahun 2008 berbareng family besarnya sepakat membangun Pondok Pesantren Jauharotul Hikmah. Ia berdiri kokoh tepat di letak prostitusi. Bangunan tiga lantai itu setiap hari ramai oleh anak-anak yangg mengaji dari pagi hingga malam hari. Secara bergantian para guru-guru tekun mengajari anak-anak, orang dewasa, hingga orang tua untuk belajar mengaji.
Saat berjamu ke Pondok itu, Abah Nu’man sedang bercengkrama dengan 3 orang pembimbing pondok yangg rupanya aktif berkegiatan di Muhammadiyah. Abah Nu’man mempunyai tradisi keagamaan yangg lebih kental dengan budaya NU, tetap merasa nyaman dibantu oleh guru-guru dari Muhammadiyah. Setiap hari mereka tekun mengajar ngaji para anak-anak dan cucu-cucu para pekerja seks yangg ada di area itu. Saya sungguh kagum dengan tekad mereka yangg begitu kuat dalam menemani proses belajar anak-anak dan orang dewasa di area itu.
Memuluskan Jalan Pertaubatan
Abah Nu’man mempunyai langkah tersendiri dalam mengajarkan pengetahuan kepercayaan kepada mereka. Dia nyaris tidak pernah bicara tentang perbuatan dosa alias sebaliknya. Ia juga tidak pernah memberi materi tentang iming-iming surga ataupun neraka. ”Mereka, orang dewasa yangg belajar di sini sudah pada tahu mana perbuatan baik alias sebaliknya” Ujaranya. Abah tidak mau mengorek luka lama mereka, lantaran bisa menumbuhkan trauma. Ia hanya mengajari mereka mengaji, memahami sedikit demi sedikit kandungan dari ayat-ayat Al-qur’an secara pelan-pelan.
Berusaha memahami dan menerima dengan sepenuh hati, penuh cinta dan kasih sayang terhadap kehadiran mereka untuk mengaji di pondok, adalah langkah agar dia terbebas dari prasangka jelek atas masa lampau murid-murid ngajinya. ”saya tidak berkuasa menghakimi mereka. Semua peristiwa yangg pernah mereka lalui sudah lewat, biarlah itu menjadi urusan ALLAH. Saya hanya membujuk mereka bertaubat, berzikir, menyucikan batin, dan hanya berambisi pembebasan dari Allah semata”.
Abah selalu menganggap bahwa mereka yangg datang ke pengajian itu adalah sekumpulan orang yangg berupaya mau menjadi lebih baik dengan langkah bertaubat dan kembali kepada ALLAH. Untuk itu, tugas utamannya adalah mengantarkan proses peratubatan itu agar bisa melangkah dengan mudah.
Penutup
Kehidupan manusia memang penuh warna. Hidup tidak selalu bagus seperti cerita Cinderella alias penuh nestapa seperti cerita cinta antara Qais dan Laila. Selalu ada jarak di antara angan dan kenyataan. Ada angan mulia yangg tumbuh di tempat-tempat yangg sering dianggap nista, seperti munajat Muna kepada Resi anak lelakinya. Sebaliknya, ada niat dan persekongkolan jahat untuk membenarkan yangg salah dan menyalahkan yangg betul di tempat-tempat yangg semestinya terhormat dan mulia.
Kemuliaan itu tetaplah baik dan mulia, meski dia berada di tempat yangg dianggap nista. Sebaliknya, kejahatan itu tetaplah buruk, meski dia berada di tempat yangg dianggap terhormat dan dilakukan oleh orang-orang yangg dipanggil yangg mulia.
Sumber gambar: https://surabayapagi.com/read/eks-lokalisasi-dolly-kini-lebih-bersih-dan-tenang
*Penulis adalah Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso sekaligus Wakil Sekretaris LPCRPM Pimpinan Pusat Muhammadiyah
English (US) ·
Indonesian (ID) ·