Ari Aprian HarahapSATU di antara kegelisahan yangg hari ini mengemuka atas politik kita adalah hadirnya orang-orang yangg dianggap “kurang kompeten”. Banyak perihal yangg membikin mereka dianggap kurang. Di antaranya lantaran mereka tidak lahir dari jenjang kaderisasi partai dan condong hanya mengandalkan popularitas. Umumnya mereka berasal dari publik figur seperti artis, musisi dan komedian.
Meski soal ini tentu tetap sangat terbuka untuk diperdebatkan. Sebab kenyataannya tak sedikit artis yangg hari ini menjadi personil legislatif juga mempunyai kualitas. Seperti Eko Patrio, Rieke Diah Pitaloka dan Desy Ratnasari. Tapi gimana dengan Marshel Widianto? Apakah dia mempunyai cukup kapasitas? Apa yangg membikin orang menyatakan dukungannya kepada Marshel?
Itulah yangg menjadi kegelisahan banyak aktivis dan netizen kita. Mereka menilai bahwa sosok seperti dia tidak cocok menjadi pemimpin. Sebab nama saja tidak cukup. Pengalaman dan pendapat kudu menjadi ahli bicara paling depan. Dan mereka menilai itu tidak ada pada Marshel. Penilaian yangg berujung pengadilan dan penghakiman yangg berlebih.
Mereka terburu-buru menghakimi Marshel. Mereka tak sadar jika Marshel hanyalah satu di antara sekian korban sistem dan style politik kita hari ini. Kalau saja kita mau membaca lebih jauh, yangg sebenarnya kudu disalahkan bukan Marshel, tapi sistem politik kita. Sistem yangg mengakomodir hadirnya orang-orang semacam Marshel.
Partai politik kita juga pun dihadapkan pada dilema serius. Apakah bakal tetap memperkuat pada langkah lama? Dalam artian hanya mengambil orang-orang dari internal partai namun punya ketenaran lemah? Atau mengambil pihak luar namun mempunyai ketenaran tinggi dan itu sangat berfaedah untuk mendongkrak dan mendulang bunyi partai.
Jika boleh sedikit menoleh pada Pilpres beberapa bulan yangg lalu, kita bisa membicarakan sosok seperti Anies Baswedan. Siapa dia? Apakah dia orang yangg berasal dari internal partai? Jawabannya tentu tidak. Lalu apa pertimbangan partai-partai mendukungnya? Apakah semata lantaran dia punya pendapat dan karir yangg cemerlang? Jawabannya lagi-lagi tidak. Popularitas alias ketenaran nama tetap jadi pertimbangan paling akbar.
Kita mungkin membantah. Harusnya tidak seperti itu. Kita harusnya berbenah dan berubah. Tapi realitas berbicara lain. Partai butuh meningkatkan engagement-nya dengan meningkatkan dan menampilkan sosok populer. Karena itulah nama-nama seperti Denny Cagur, Gilang Dirga, Narji dan terakhir Marshel, ditarik ke panggung politik.
Lalu, jika demikian realitasnya, apa yangg semestinya kita lakukan? Apakah bakal terus berdiam diri dan berpangku tangan serta mengutuk tanpa aksi? Kita tidak mau seperti itu. Kita berambisi bisa terlibat secara aktif dan positif dalam politik hari ini dan ke depan. Bagaimana caranya? Yakni dengan mendorong orang-orang yangg kita anggap layak dan punya pendapat serta mimpi besar bagi masyarakat luas.
Beberapa hari yangg lalu, kami di Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) mencoba melakukan itu. Kami mau memberikan dan menunjukkan tindakan nyata dalam mengimbangi realitas politik kita hari ini. Harapan kami agar perpolitikan kita juga diisi orang-orang yangg punya gagasan, kompeten dan rekam jejak yangg panjang dalam pengabdian.
Karena itulah kami mengantar demisioner DPP IMM Abdul Musawir Yahya (Ketua Umum DPP IMM 2021-2023) dan Baikuni Alshafa (Ketua DPP IMM Bidang Hikmah, Politik dan Kebijakan Publik 2021-2023) ke instansi DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) untuk berasosiasi sebagai kader. Hanya saja, sebagai sesuatu yangg betul-betul baru, langkah kami dicurigai dan menimbulkan gejolak di akar rumput.
Bahkan bukan hanya di kalangan kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, langkah itu juga menjadi perbincangan hangat di pimpinan, personil dan penduduk Muhammadiyah. Kami tentu tak mempersalahkan jika ada yangg menghakimi dan mempertanyakan langkah kami itu. Layaknya sebuah ijtihad, dipersoalkan adalah perihal yangg biasa.
Kita tentu tidak lupa saat organisasi Muhammadiyah pertama kali tampil dan berdiri. Banyak penolakan di sana sini. Bahkan langgar Kiai Ahmad Dahlan sempat dibakar. Apa yangg membikin tindakan-tindakan represif semacam itu terjadi? Jawabannya adalah lantaran Muhammadiyah datang dengan semangat yangg berbeda alias yangg sering disebut semangat tajdid (pembaharuan).
Melakukan pembaharuan memang tidak mudah. Jalannya selalu terjal dan penuh onak duri. Itulah yangg pernah dirasakan oleh tokoh-tokoh pembaharu yangg pernah ada. Dari Muhammad Abduh, Kiai Dahlan, hingga Buya Syafii. Langkah-langkah mereka sering disalahpahami. Tapi berikutnya, lambat tapi pasti, diikuti secara diam-diam.
Kesaksian inilah yangg diberikan oleh Buya Syafii saat mengulas sosok Nurcholish Madjid alias Cak Nur. Buya mengatakan, “Setiap pembaharu di manapun di muka bumi ini, nyaris pasti dilawan, dicaci maki, dan dimusuhi, tetapi ajaibnya diam-diam diikuti. Dan ini juga bertindak atas Nurcholish Madjid.”
Kalimat Buya Syafii ini tentu menjadi semangat bagi kami. Terutama dengan langkah alias ijtihad yangg kami ambil. Sebab kami mafhum, langkah yangg kami ambil dijalankan dengan penuh kesadaran. Murni bahwa kami mau mengantar kader terbaik kami kepada partai yangg telah mereka pilih sebagai jalan juang, ialah PSI.
Kami mau mengawal proses diaspora politik alumni IMM sejak dari awal dan dari bawah. Kami tidak mau menjadi orang yangg hanya tampil ketika alumni kami telah menjadi tokoh alias sukses dalam karirnya. Sebab itu langkah yangg tidak setara dan fair. Kita kudu terlibat dalam setiap jenjang prosesnya. Tentu dalam batas-batas yangg diwajari. Kami tidak mau menjadi bagian dari yangg hanya mengutuk kegelapan, namun tidak membawakan obor.
Kritik kita atas politik hari ini kuat. Terutama ketika tampilnya orang-orang seperti Marshel di panggung politik. Tapi yangg apa kita perbuat? Tidak ada. Nah, kami mau menawarkan solusi atas masalah itu. Salah satunya dengan mengantarkan kader terbaik IMM yangg kami anggap punya pendapat dan visi besar untuk terjun ke politik dengan angan bisa mewarnai.
Apakah dengan itu kami terlibat dalam agenda politik praktis? Tidak. Karena tugas kami hanya mengantar dan memastikan bahwa politik kita hari ini diisi oleh orang-orang punya gagasan. Apa kami juga telah kehilangan idealisme? Lagi-lagi tidak. Sebab perihal yangg ideal bagi kami adalah tidak hanya mengutuk sistem yangg ada, tapi juga memberikan solusi dan pengganti lain. Dan pengganti inilah yangg kami berikan.
Sebagai awalan, langkah kami pasti bakal dicurigai dan dicibir sana sini. Tapi setelahnya kami yakin, bahwa langkah dan terobosan yangg kami lakukan ini diam-diam dianggap baik dan perlu sebagai corak support penuh atas mereka yangg berjuang meluaskan khidmah dan kebermanfaatan.
Ari Aprian Harahap, Penulis adalah Ketua DPP IMM Bidang Hikmah, Politik dan Kebijakan Publik 2024-2026
1 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·