Makna Perintah Puasa Dalam Al-Baqarah Ayat 183 Menurut Buya Hamka - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu

BANDUNGMU.COM, Bandung — Ibadah puasa Ramadan merupakan salah satu dari rukun Islam. Sebagai sebuah tanggungjawab bagi kaum muslimin, ibadah puasa diperintahkan Allah SWT melalui surah Al-Baqarah ayat 183.

“Hai orang-orang nan beriman, diwajibkan atas Anda berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum Anda agar Anda bertakwa.”

Bagaimana hikmah, pelajaran, tujuan, dan fadilah puasa berasas ayat di atas menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka)?

Mengutip laman muhammadiyah.or.id, menurut Buya Hamka dalam “Tafsir Al-Azhar” Jilid 1, ayat di atas setidaknya mengandung empat bagian penting, ialah hikmah, pelajaran, tujuan, dan faedah.

Hikmah: puasa Ramadan hanya bisa ditunaikan oleh orang nan mempunyai iman

Mengutip penjelasan sahabat Nabi SAW, Abdullah bin Masud RA, Hamka menyebut ayat nan dimulai dengan bunyi “Ya ayuhalladziina-aamanu” (wahai sekalian orang-orang beriman) dipastikan berisi suatu pesan nan sangat krusial nan hanya bisa ditunaikan oleh orang-orang beriman.

“Kalau perintah tidak dijatuhkan kepada orang nan beragama tidaklah bakal berjalan. Orang nan merasa dirinya ada ketaatan bersedia menunggu, apa agaknya perintah nan bakal dipikul itu. Dan bersedia mengubah kebiasaannya, menahan nafsunya, dan bersedia pula bangun di waktu sahur (dini hari) dan makan pada waktu itu, lantaran Tuhan nan memerintahkan,” tulis Hamka.

Pelajaran: puasa adalah suatu aktivitas agung, telah dilakukan umat terdahulu

Dalam bahasa Arab, puasa disebut shiyam alias shaum, nan artinya adalah menahan. Dalam pengertian syariat, shiyam berarti menahan makan dan minum dan bersetubuh suami isteri dari waktu fajar sampai waktu magrib.

Sebelum datangnya risalah Nabi Muhammad SAW, aktivitas puasa telah dilakukan oleh banyak umat, kebudayaan, dan keyakinan. Hamka menulis bahwa penganut Hindu, Buddha, kepercayaan Mesir Kuno, dan nan lainnya telah mempunyai aliran serupa.

Umat Hindu, misalnya, berpuasa untuk menaklukkan kekuasaan kekuatan ragawi dan kehendaknya. Jika manusia bisa lepas dari kehendak ragawi, Buddha beranggapan maka mereka bakal mencapai derajat mulia, nirwana.

Sementara itu dalam tradisi kepercayaan samawi, puasa juga dilaksanakan oleh penganut Yahudi dan Nasrani. Kitab Taurat memuji dan menganjurkan umatnya untuk berpuasa. Begitu pula kitab Injil, Nabi Isa AS, Nabi Musa AS, Nabi Zakaria AS, dan Maryam nan secara spesifik disebut pernah berpuasa oleh Al-Quran.

Setelah Rasulullah SAW diutus, puasa ditetapkan sebagai ibadah. Puasa nan wajib melalui Ramadan, sedangkan nan lain-lain sebagai ibadah sunnah (tathawu).

Tujuan: puasa membentuk ketakwaan

Di ujung ayat Al-Baqarah 183, ibadah puasa disebut untuk membentuk pribadi nan bertakwa (la-alakum tattaqun). Kaum muslimin, menurut Hamka dilatih untuk dapat mengendalikan diri. Terutama pada dua syahwat alamiahnya, ialah syahwat perut, dan syahwat kelamin.

Walaupun seorang muslim itu telah mempunyai pasangan nan halal, makanan, dan minuman nan halal, dan tidak ada satu orang pun nan mengawasinya, orang nan beragama tetap bakal berpuasa lantaran keyakinannya pada pengawasan Allah SWT.

“Jika keduanya ini tiada terkendali (syahwat perut dan syahwat kelamin), bisalah kemanusiaan manusia menjadi runtuh dan turun berganti menjadi kebinatangan. Namun, andaikan dapat dikendalikan dengan puasa, kemanusiaan tadi bakal naik tingkatnya. Kesabaran menahan adalah nilai nan banget krusial bagi keteguhan jiwa. Sebab itu maka berfirman Nabi kita SAW, puasa adalah separuh dari sabar (HR Ibnu Majah).”

Faedah: puasa menyebabkan kesehatan badan dan kestabilan jiwa

Selain memenuhi tuntutan syariat, puasa juga mempunyai fadilah bagi badan, misalnya kesehatan. Hamka lampau mengisahkan bahwa sahabatnya, tokoh NU, KH Wahid Hasyim, nyaris berpuasa setiap hari sepanjang hayatnya.

“Karena dengan jalan demikian beliau rasai betul sungguh besar faedah puasa beliau itu mengurangi penyakit gula nan menyerang diri beliau. Namun, beliau tegaskan bahwasanya bagi beliau nan utama sekali adalah niat beribadat, nan nomor dua barulah kesehatan.”

“Memang demikianlah pendirian orang nan alim. Karena jika berpuasa dengan niat hanya untuk kesehatan badan, belumlah tentu diterima Tuhan. Namun, berpuasa dengan niat mencapai takwa, itulah nan dikehendaki Tuhan, dan untung juga jika di samping ibadat dia pun membawa kesehatan.”

Ibadah puasa menurut Hamka juga bisa membikin jiwa lebih stabil, jika ibadah itu dilaksanakan dengan ketaatan dan kesadaran (imaanan wa ihtisaaban). Mereka nan terlatih berpuasa dengan kemantapan iman, bakal terhindar dari puasanya orang awam nan tidak memberikan jejak kepada dirinya sendiri.

“Niscaya kita pun berjumpa orang nan puasa asal perut lapar saja. Dibendungnya selera satu hari penuh, tetapi ketika berbuka puasa dihantamnya mana nan terletak dengan tidak terkendalikan sehingga belanjanya sebulan puasa sama dengan shopping setahun. Nanti jika tiba waktu beribadat tarawih alias tadarus matanya sudah ngantuk lantaran terlalu kenyang. Tentu kurang sekali angan bahwa orang ini bakal mendapat kegunaan takwa dengan puasa semacam itu.”

“Maka jika Rasulullah SAW menganjurkan berbuka puasa dengan secangkir air sejuk dan sebutir korma, artinya adalah agar dalam membukakan puasa itu kita pun terlatih juga mengendalikan diri. Sehingga maksud puasa untuk takwa betul-betul dapat dirasakan,” tulis Hamka.

“Itu pula dapat dipahami jika ulama-ulama menganjurkan agar tiap-tiap malam puasa itu dibaharui niat. Niat hendak puasa besok lantaran Allah. Meskipun misalnya tidak diucapkan, tetapi dirasakan dalam hati,” tulisnya.***

-->
Sumber bandungmu.com
bandungmu.com