Latar Belakang Lahirnya Majelis Tarjih Muhammadiyah - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 10 bulan yang lalu

Oleh: Mu’arif*

Kelahiran Majelis Tarjih yangg diputuskan dalam Kongres Muhammadiyah XVI di Pekalongan (17-24 Februari 1927) tidak serta-merta datang sebagai respons usulan K.H. Mas Mansur dalam kongres sebelumnya di Surabaya (1926). Keputusan untuk membentuk unsur pembantu ketua yangg mewadahi mengerti keagamaan ala Muhammadiyah ini jelas mempertimbangkan situasi dunia dan lokal umat pada waktu itu.

Situasi Global dan Lokal

Kelahiran Majelis Tarjih pada 1927 sebagai indikasi lokal memang tidak bisa dipisahkan dengan peristiwa-peristiwa krusial di ranah global. Majelis ini lahir sekira tiga tahun pasca runtuhnya imperium Kekhalifahan Turki Usmani (1924), ketika Mustafa Kamal dengan kekuatan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (3 Maret 1924), menghapuskan kedudukan khalifah untuk selama-lamanya (Djarnawi Hadikusuma, Aliran Pembaharuan dalam Islam, t.t.).

Adapun dalam konteks situasi lokal, majelis ini lahir bertepatan dengan kebijakan disiplin partai yangg dikeluarkan oleh Partai Syarikat Islam (PSI)—yang secara langsung berpengaruh dengan organisasi Muhammadiyah lantaran banyak pengurusnya yangg masuk dalam partai Islam terbesar pada waktu itu.

Lamat-lamat, segala rumor strategis yangg mengemuka di pentas global, khususnya bumi Islam, masuk ke dalam forum pembentukan Majelis Tarjih ketika Kongres XVI digelar di Pekalongan. Perdebatan tentu terjadi di internal Muhammadiyah, membahas isu-isu yangg berangkaian langsung dengan persoalan bumi Islam.

Beberapa rumor strategis bumi pada waktu itu, seperti sistem politik Islam (khususnya pasca kekhalifahan Turki Usmani), hingga munculnya aktivitas nasionalisme sebagai respons atas kolonialisme Barat (misalnya di Turki), dan lahirnya aktivitas Islam puritan dan politik Islam di Nejed (Wahhabi) yangg berpatokan konservatis. Belum lagi gerakan-gerakan Islam di tanah Hindustan yangg pada intinya merespons runtuhnya sistem kekhilafahan Turki Usmani di tangan Mustafa Kamal.

Ketika Mustafa Kamal menghapus kekhalifahan di Turki, respons negara-negara berpenduduk muslim sangat beragam, tetapi lebih banyak yangg mengritik kebijakan yangg dianggap menghapus legasi kepemimpinan dalam sejarah umat Islam (khalifah).

Dari Mesir datang seruan penyelenggaraan Kongres Khilafah pada 1924 de- ngan mengundang negara-negara muslim, termasuk Indonesia (Hindia-Timur), yangg bermaksud untuk menghidupkan kembali Pan-Islamisme sebagai ideologi politik Islam dunia.

Namun dinamika politik lokal di beberapa negara muslim tidak mendukung terselenggaranya event akbar ini, apalagi di Mekah sedang terjadi bentrok politik antara Raja Syarif Husein—berafiliasi ke Turki Usmani—dengan Ibnu Sa’ud—didukung oleh golongan pembaharu keagamaan yangg menyatakan sebagai ”Ahlu at-Tauhid wa al-’Adl”—oleh pihak musuh dijuluki sebagai golongan ”Wahhabi” (dinisbatkan kepada tokoh pendiri aktivitas ini, Muhammad bin ’Abd. al-Wahhab).

Kongres Khilafah 1924 yangg sedianya digelar di Kairo gagal, tetapi pada 1926 setelah sukses mengalahkan Raja Syarif Husein, Ibnu Sa’ud mengundang negara-negara muslim untuk menggelar muktamar di Mekah bertepatan dengan penyelenggaraan musim haji.

Dari tanah air (Hindia-Timur), Komite Khilafat yangg dibentuk oleh organisasi-organisasi Islam (PSI dan Muhammadiyah) mengutus dua orang, H.O.S. Tjokroaminoto dan K.H. Mas Mansur. Pada saat yangg sama, Kiai Syujak juga turut menyaksikan momentum berhistoris di Mekah tersebut, tetapi kapasitasnya bukan sebagai utusan Komite Khilafat, melainkan sebagai utusan HB Muhammadiyah yangg sedang melakukan penyelidikan perjalanan haji dari tanah air (Djarnawi Hadikusuma, Aliran Pembaharuan dalam Islam, t.t.).

***

Di luar kekuasaan politik, setiap negara muslim mempunyai tradisi praktik keagamaan yangg mengikuti mazhab-mazhab fikih yangg masyhur. Seperti negara-negara yangg sebelumnya di bawah kekuasaan Turki Usmani kebanyakan menganut ajaran fikih Imam Hanafi, sedangkan Mesir sebagai kiblat peradaban muslim setelah Mekah kebanyakan menganut ajaran fikih Imam Asy-Syafii, termasuk di Hindia-Timur (Indonesia). Di bawah kekuasaan Raja Syarif Husein, ajaran fikih kebanyakan di Mekah mengikuti ajaran fikih Imam Hanafi, tetapi kekuasaan baru di bawah rezim Sa’ud lebih condong ke ajaran fikih Imam Hambali.

Peralihan kekuasaan dari Raja Syarif Husein ke tangan Ibnu Sa’ud yangg didukung golongan puritan (Ahlu at-Tauhid wa al-’Adl—Wahhabi) mendapat respons keras dari beragam negara muslim, terutama berakibat pada golongan muslim yangg mengikuti ajaran fikih di luar ajaran Hambali (mazhab fikih resmi golongan Wahhabi). Dalam konteks inilah, sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU)—pengikut Kalam Sunni dengan empat ajaran fikih yangg masyhur (Imam Asy-Syafii, Imam Hambali, Imam Hanafi, dan Imam Maliki) menemukan momentumnya.

Ketika K.H. Abdul Wahab Chasbullah, ketua Komite Hijaz (1926)—merepresentasikan umat Islam pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) di Hindia-Timur—mengajukan lima permohonan kepada Ibnu Sa’ud, penguasa baru di Makkah. Satu di antara lima permohonan tersebut adalah ”kebebasan beraliran di Negeri Hejaz pada salah satu dari ajaran empat, ialah Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali” (A. Khoiril Anam, ”Komite Hijaz”, https://www.nu.or.id/ nasional/komite-hijaz-bqouE diakses 20 Januari 2024). Komite Hijaz inilah embrio Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia.

Perbedaan ajaran fikih di antara pendapat-pendapat para Imam Mazhab memang telah menciptakan disparitas di kalangan umat Islam. Ada problem serius di kalangan umat Islam pasca kegagalan sistem politik Islam, ialah munculnya indikasi kejumudan alias apalagi kemunduran dalam praktik keagamaan yangg terikat oleh ajaran fikih tertentu. Seperti yangg terjadi di Hindia-Timur pada awal abad ke-20, praktik keagamaan dipengaruhi oleh ajaran fikih tertentu ditopang dengan munculnya indikasi mistisisme Islam lewat menjamurnya aktivitas tarekat.

Baca Juga: KHGT: Cermin Pencerahan

Dalam praktik keagamaan kebanyakan umat Islam, setiap tokoh kepercayaan (ulama/kiai) dipandang mempunyai otoritas pemahaman dan memutuskan suatu persoalan keagamaan umat. Kharisma sang ustadz alias ustad menjadi legitimasi kebenaran fatwa keagamaan. Ketika sebuah fatwa keagamaan dari seorang ustadz alias ustad berbeda dengan fatwa keagamaan yangg dikeluarkan oleh sosok ustadz alias ustad lain, padahal objek hukumnya sama, maka yangg terjadi adalah perselisihan pendapat yangg tajam.

Nalar dogmatis dari para pengikut dari jemaah alias santri masing-masing tokoh kepercayaan tersebut menambah kebekuan praktik keagamaan sehingga potensial melahirkan bentrok antar jama’ah. Inilah gambaran realita yangg terjadi pada umat Islam di tanah air pada saat Majelis Tarjih dibentuk pada tahun 1927.

Ikhtilaf dan Otoritas

Di kembali kelahiran Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim, ialah ketika K.H. Mas Mansur, konsul Muhammadiyah Surabaya yangg menyampaikan usulan dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 yangg digelar di Surabaya, terdapat beberapa masalah krusial yangg menjadi dasar pertimbangan terbentuknya majelis ini. Usulan K.H. Mas Mansur dalam Kongres ke-15 (1926) di Surabaya kemudian ditindaklanjuti dan diterima dalam Kongres Muhammadiyah ke-16 (1927) yangg digelar di Pekalongan.

Ada beberapa argumen yangg menjadi latar belakang pemikiran berdirinya majelis ini: pertama, masalah perbedaan (ikhtilafiyah) dalam pemahaman fikih kepercayaan (baik akidah, ibadah, maupun muamalah) yangg sangat berpotensi melahirkan perpecahan umat Islam di tanah air—pengalaman praktik keagamaan di negara-negara muslim yangg berbeda ajaran fikih.

Kedua, otoritas pemahaman keagamaan yangg terpusat pada satu figur/tokoh berpotensi melahirkan penyalahgunaan kewenangan sehingga perlu dibentuk badan alias struktur yangg dapat mendelegasikan kewenangan pemahaman kepercayaan berasas kapabilitas keilmuan yangg beragam (Irfan Nurdin, “K.H. Mas Mansur: Pencetus Lahirnya Majelis Tarjih” dalam Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tokoh dan Pimpinan Tarjih: Riwayat Hidup dan Pemikiran, Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2017, hal. 9).

Dengan memahami masalah-masalah yangg sebenarnya sudah menjadi kebenaran historis umat Islam, tidak hanya di level lokal namun juga bertindak secara global, maka kita dapat menandai perihal ini sebagai titik kisar awal alias barangkali inilah “lompatan paradigma pertama” dalam estafet sejarah pemikiran Islam di Muhammadiyah. Problem klasik ikhtilaf (khususnya ikhtilaf al-furu’iyyah) hendak dijawab oleh Muhammadiyah secara logis dengan membentuk lembaga legal-keagamaan yangg menampung semua ajaran pemikiran fikih maupun ajaran kalam.

Langkah Muhammadiyah ini dapat disebut sebagai lompatan besar pada level paradigmatik mengingat perihal tersebut memang jarang alias malah belum pernah ada dalam sejarah umat Islam di Indonesia. Usulan K.H. Mas Mansur yangg kemudian direalisasikan dengan membentuk tim mini beranggotakan 7 (tujuh) orang tersebut juga belum pernah terjadi pada masa kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan.

Maka jelas bahwa lompatan paradigma telah terjadi di Muhammadiyah ketika Majelis Tarjih dibentuk lantaran masalah mengerti kepercayaan (fikih) menjadi sorotan utama yangg bakal menjadi identitas keislaman ala Muhammadiyah sampai sekarang. Menariknya, sorotan masalah mengerti kepercayaan tidak pernah terjadi pada masa K.H. Ahmad Dahlan sehingga dapat dikatakan bahwa mengerti fikih Muhammadiyah pada masa awal berdirinya organisasi ini memang bukan menjadi salah satu variabel identitas gerakan.

Dengan membentuk lembaga legal-keagamaan Majelis Tarjih, maka otoritas keagamaan yangg pada umumnya dipegang oleh seorang figur ustadz alias ustad (top figure) mengalami desentralisasi kewenangan secara profesional.

Desentralisasi kewenangan masalah keagamaan ini telah mengubah corak kepemimpinan kepercayaan di Muhammadiyah dari model “kepemimpinan kharismatik” berubah menjadi model “kepemimpinan rasional” lewat kehadiran Majelis Tarjih. Menariknya, dengan memandang latar belakang keilmuan dan kompetensi ketujuh tim mini (komisi) Tarjih kita dapat mengukur bahwa struktur ini mempunyai kewenangan-delegatif yangg multi-talenta (belum sampai pada tahap multi-disiplin keilmuan).

Disebut multi-talenta lantaran ketujuh personil komisi tersebut adalah: 1) K.H. Mas Mansur (Surabaya) dengan basic keilmuan syariah (hukum Islam), iktikad (teologi/filsafat) tetapi dia terlibat aktif dalam politik pergerakan nasional. 2) A.R. Sutan Mansur (Sumatra Barat) dengan basic keilmuan iktikad (tauhid), syariah (hukum Islam) tapi dia juga seorang pengusaha. 3) H. Mochtar (Yogyakarta) dengan basic keilmuan syariah dan pemikiran Islam (filsafat) tapi juga dia seorang pengusaha. 4) H.A. Mukti (Kudus) dengan basic keilmuan syariah dan dia seorang aktivis pergerakan. 5) M. Kartosudarmo (Betawi) dengan basic keilmuan kepercayaan dan dia seorang pegawai manajemen (pegawai kolonial). 6) M. Kusni (Yogyakarta) seorang intelektual muda dan seorang pengurus (Sekretaris HB Muhammadiyah pada masa K.H. Ahmad Dahlan). 7) M. Junus Anis (Yogyakarta) seorang mubaligh muda, aktivis, dan administrator.

Kerja tim mini (komisi) yangg beranggotakan tujuh orang dengan latar belakang keilmuan dan skill multi-talenta tersebut menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yangg diajukan kepada HB Muhammadiyah.

Dalam Kongres Muhammadiyah ke-17 yangg diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 1928 terbentuklah struktur pertama Majelis Tarjih dengan komposisi sebagai berikut: 1) K.H. Mas Mansur, ketua. 2) K.R.H. Hadjid, wakil ketua. 3) H.M. Aslam Zainuddin, sekretaris. 4) H. Jazari Hisyam, wakil sekretaris. 5) K.H. Ahmad Badawi, anggota. 6) K.H. Hanad, anggota. 7) K.H. Wasil, anggota. 8) K.H. Fadlil, anggota; dll.

Selanjutnya, dalam kongres akbar Muhammadiyah (kongres ke-29) di Yogyakarta, Majelis Tarjih di bawah kepemimpinan K.H. Mas Mansur mengeluarkan keputusan resmi tentang 11 dalil alias norma ushul fikih yangg kemudian menjadi metode istinbath norma dalam Muhammadiyah (Baca “Poetoesan Madjlis Tardjih” dalam Congres Moehammadijah Djokjakarta, Boeah Congres Akbar Moehammadijah Ke 29, hal. 14-15). Inilah embrio manhaj tarjih Muhammadiyah yangg hingga sekarang terus mengalami penyempurnaan. [10/24]

*Pemerhati Sejarah Muhammadiyah

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id