Kontrol Sosial Pada Pemerintah Sudah Lemah? - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu

BANDUNGMU.COM, Bandung — Terngiang selalu kata-kata “agent of social change, agent of social control” saat menjadi aktivis jalanan kala tetap usia remaja.

Saat itu tercatat sebagai mahasiswa. Gerakan praksis dari kata-kata tersebut diterjemahkan langsung tindakan ke jalan menyuarakan aspirasi dan kehendak rakyat.

Benar adanya, ketika seorang penduduk mengerti bakal sistem keadilan sosial, namun implementasinya “jauh panggang dari api”. Perundang-undangan dan kebijakan hanya sebuah tumpukan arsip negara yangg nilai gunanya tetap ada dalam khayalan mimpi belaka.

Wajar saja kala itu, semangat tindakan demonstrasi turun kejalan selalu atraktif dan provokatif. Terik mentari membakar kulit tidak peduli, haus dahaga pun kadang tak dirasa.

Merasa happy penuh semangat berapi-api berorasi dengan pengeras bunyi tangan sembari berjalan. Di akal dan pikiran pada saat itu seolah menjadi aspirator dan peduli pada rakyat yangg tertindas.

Lantang bunyi keras menggema ketika yel-yel kata kata-kata kritik dan saran pada pihak-pihak tertentu yangg dianggap tidak berkeadilan sosial di ranah-ranah publik.

Begitulah langkah praktis menerjemahkan “social control” dalam pandangan seorang aktivis jalanan. Sebenarnya siapa agent of social control di masyarakat Indonesia? Apakah hanya mahasiswa alias pemuda? Atau siapa saja yangg merasa diri penduduk negara Indonesia.

Selama ini dipahami pada umumnya seolah-olah perihal tersebut menjadi kegunaan utama mahasiswa saja, padahal sebenarnya semua penduduk masyarakat mempunyai kegunaan yangg sama tidak dipilah-pilah.

Selama setiap perseorangan orang yangg berkepentingan baligh dan berakal sehat, orang tersebut mempunyai tanggungjawab moral berkedudukan untuk melakukan kontrol sosial, baik berasosiasi dengan kepentingan perseorangan maupun publik.

Hal tersebut senapas dengan aliran Islam yangg mensyariatkan untuk saling mengingatkan dalam perihal kebenaran.

Saat ini di era global, nyaris dikatakan susah menemukan istilah “kaum muda” dan jarang sekali ditemukan dalam narasi-narasi pergerakan di kalangan aktivis.

Yang sering diungkap yangg semakin terkenal istilah generasi kaum milenial, Y dan Z, serta generasi alfa. Istilah-istilah alias aliran bahasa sudah tidak lagi menggunakan idiom-idiom kebahasaan budaya lokal.

Melainkan menggunakan telaah media sosial yangg dipopulerkan oleh Youtuber, TikToker, dan Facebooker yang selalu berselancar 24 jam tanpa henti dan jarak waktu.

Putaran waktunya sudah sama persis dengan putaran mentari dan bulan, selama daya listrik arusnya tetap nyala, maka diputarannya pun terus ada tidak berakhir pula.

Pergeseran budaya dan life style generasi era digital sangat terlihat jelas, seluruh aktivitas sosial sudah berselancar dalam bumi maya.

Suka tidak suka pada masa transisi, social control sebagaimana biasa dilakukan secara manual-konvensional, bersuara lantang di jalanan dengan pengeras suara.

Saat ini, lantaran transisi pergeseran budaya pada generasi old & X menuju ke generasi Y &  Z serta Alfa, kepedulian dalam corak sikap kritis nyaris menghilang.

Sehingga pemerintah sebagai pengendali kebijakan publik merasa tidak ada yangg mengganggu, mereka leluasa melakukan sekehendaknya sehingga wajar saja salah seorang menko mengatakan budaya korupsi lebih banyak dan meluas dibandingkan dengan Orde Baru.

Hal itu terjadi lantaran kontrol sosial sangat lemah, apalagi dapat dikatakan tidak berkekuatan lantaran terpedaya dan terhipnotis oleh media sosial yangg menggoda setiap saat.

Benarkah tak berkekuatan kontrol sosial publik pada pemerintah? Sependek pengetahuan yangg dapat terlihat sikap kritis masyarakat, khususnya para golongan terpelajar, baik itu akademisi, mahasiswa, aktivis sosial, dan politisi.

Mereka semua saat masuk era digital, beberapa tahun belakangan ini terlihat sangat loyo dan tak berdaya. Entah apa aspek dominannya, sepertinya ada pergeseran budaya dari komunikasi verbal ke komunikasi virtual alias digital.

Sehingga mengakibatkan sikap kepekaan dan kepeduliannya mengalami pengurangan dan pelemahan yangg disebabkan minimnya sentuhan batiniahnya sangat rendah, baik kualitas maupun kuantitasnya.

Kualitas pemerintahan semakin hari kian semakin tidak baik. Perilaku kopruptif di kalangan birokrat merajalela dan kebijakan berpihak pada oligarki.

Rakyat hanya menerima sampah dan getahnya, sehingga secara tidak langsung dipaksa tetap sengsara.

Kontrol sosial semakin tidak berdaya, sekalipun ada dalam bumi maya seolah tidak ada lantaran daya presure sangat lemah. Kelemahan daya presure diakibatkan tidak mempengaruhi sistem tatanan sosial dan ekonomi.

Sementara jika kontrol sosial verbal tindakan turun ke jalan dengan skala besar, baik jumlah maupun rumor yangg dinarasikan menarik perhatian publik lebih luas.

Termasuk media masa pun ikut terprovokasi, apalagi ikut memprovokasi berambisi banyak yangg membeli medianya sehingga oplah meningkat.

Saat ini, bersikap kritis dalam bumi maya tidak terorganisir dengan masif dan farsial, selain perihal tersebut konten-kontennya tidak berbobot sehingga kurang menyentuh dan memprovokasi.

Ketidakberdayaan masyarakat saat ini, khususnya dalam hal social control dikarenakan kondisi dan situasi budaya masyarakat yangg semakin tidak peduli dan peka terhadap persoalan kehidupan orang lain.

Acuh tak acuh menjadi perihal lumrah dan biasa dikalangan masyarakat abad digital, terlebih generasi milenial sangat individualistik. Memang persoalan tersebut bukan salah orang tua dan guru, melainkan saat ini betul-betul proses disrupsi beragam bagian kehidupan.

Contoh mini di depan mata kita semua. Saat ada orang meninggal, tetangga kita, nyaris dipastikan generasi milenial tidak datang untuk takziah dan urun rembug membantu proses yangg biasa dilakukan umat muslim terhadap tetangganya yangg meninggal.

Menengok kawan yangg sakit pun secara langsung nyaris condong tidak dilakukan. Meminjamkan peralatan milik pribadi sudah semakin jarang terjadi. Termasuk saling bantu lainnya. Sekira tidak ada feedback pada dirinya condong tidak diperbuat.

Hal itu semua indikasi umum terjadi sejak saat era dunia masuk dalam pusaran kehidupan manusia, yangg konon kabarnya manusia modern. Apalagi hal-hal yangg dianggap menakut-nakuti eksistensi hidupnya, sudah dipastikan pembiaran dan abai terhadap orang lain pasti terjadi.

Sehingga jauh untuk social control bagi generasi milenial terhadap pemerintah, mereka sibuk dengan dirinya sendiri berupaya tanpa support orang lain.

Tragisnya manakala menghadapi persolaan sangat susah lantaran kepercayaan diri tidak mau membebani orang lain, sekalipun family akhirnya jalan pintas yangg melanggar aliran kepercayaan pun dilabrak.

Bahkan sudah mulai ada style bunuh diri untuk mengakhiri hidupnya saat masalah tidak kunjung selesai, naudzubillahi mindzalik.

Berharap dengan sepenuhnya meminta dan memohon kepada Allah SWT, bahwasanya kejadian alam semesta dengan perilaku manusia yangg kian hari semakin individualistik.

Pengaruh perangkat lunak bumi digital, masyarakat saat ini jauh mempunyai sikap kritis kepada pemerintah alias negara, peduli pada sesama saja sudah terus bergeser pada budaya keakuan merasa sudah diri tak butuh support orang lain.

Ketidakberdayaan sikap kritis saat ini menjadi momentum pengambilalihan kekuasaan negara oleh pihak-pihak tertentu melalui sistem politik oligarki yangg memanfaatkan situasi sosial yangg semakin tidak peduli pada bumi kebangsaan, kenegaraan dan kerakyatan.

Sikap peduli dan peka pada sesama bagian aliran Islam yangg semestinya menjadi salah satu kunci membangun ideologi berakidah bagi manusia untuk memperkuat hidup tetap selamat bumi dan akhirat.

Hidup orang lain, hidup kita juga. Kematian orang lain, kematian kita juga. Kita semua hidup dan mati, berasal dan kembali, dari dan kepada Tuhan yangg sama ialah Allah Subhanahu wata’la. Wallahu’alam.***

-->
Sumber bandungmu.com
bandungmu.com