Khitan Perempuan masih Relevankah? (Dalam Perspektif Muhammadiyah) - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 9 bulan yang lalu

Oleh: Dian Eka Kurniawati

Khitan, alias sunat, secara tradisional lebih dikenal sebagai praktik yangg dilakukan pada laki-laki. Namun, dalam sejarah dan budaya tertentu, praktik ini juga dilakukan pada perempuan. Pertanyaan tentang apakah khitan wanita diperbolehkan dan apa manfaatnya sering kali menjadi bahan diskusi, terutama lantaran praktik ini jarang ditemukan di masa kini, tidak seperti pada era dahulu.

Khitan wanita telah dilakukan selama beratus-ratus tahun di beragam budaya dan agama, termasuk di Indonesia. Dalam beberapa masyarakat, praktik ini dianggap sebagai bagian dari tanggungjawab kepercayaan alias simbol kesucian. Sebagai contoh, ada organisasi yangg memandang khitan wanita sebagai langkah untuk menjaga tradisi, melambangkan kemurnian, alias menunjukkan penghormatan terhadap nilai-nilai adat. Namun, krusial untuk dipahami bahwa praktik ini berbeda dengan khitan laki-laki, baik dari segi prosedur maupun tujuan.

Dalam perkembangan zaman, pandangan terhadap khitan wanita mengalami banyak perubahan. Kesadaran bakal kewenangan asasi manusia, pentingnya kesehatan, dan prinsip kesetaraan kelamin telah membawa banyak pihak untuk mempertanyakan relevansi dan faedah praktik ini. Secara medis, belum ada bukti ilmiah yangg mendukung faedah kesehatan khitan perempuan. Bahkan, jika dilakukan secara tidak aman, praktik ini dapat menimbulkan akibat kesehatan, seperti infeksi, perdarahan, alias komplikasi lainnya.

Di sisi lain, ada golongan yangg tetap mendukung khitan wanita sebagai bagian dari warisan budaya yangg perlu dilestarikan. Mereka berdasar bahwa praktik ini mempunyai nilai simbolis yangg krusial dalam menjaga identitas dan tradisi suatu komunitas. Namun, pandangan ini sering kali berbenturan dengan perspektif modern yangg menilai praktik tersebut sebagai sesuatu yangg tidak relevan lagi, terutama jika dikaitkan dengan potensi akibat negatif bagi kesehatan dan hak-hak perempuan.

Dengan demikian, perdebatan tentang khitan wanita terus berjalan seiring dengan perubahan nilai-nilai sosial, budaya, dan norma di masyarakat modern. Praktik ini sekarang lebih banyak dilihat sebagai pilihan yangg sifatnya sangat kontekstual, tergantung pada budaya istiadat, kepercayaan, dan pemahaman masing-masing komunitas. Namun, krusial untuk memastikan bahwa setiap tindakan yangg dilakukan, terutama yangg melibatkan tubuh seseorang, selalu menghormati prinsip keamanan, kesehatan, dan kewenangan individu.

Baca Juga: KHGT: Cermin Pencerahan

Khitan wanita merupakan salah satu rumor yangg sering menjadi bahan obrolan dalam beragam organisasi Islam, termasuk oleh organisasi Muhammadiyah. Berikut adalah pandangan Muhammadiyah mengenai khitan perempuan, seperti yangg disampaikan oleh ibu Dr. Widiastuti S.Ag MM, Ketua PP Aisyiyah.

Pendapat Muhammadiyah tentang Khitan Perempuan

  1. Tidak Ada Ketentuan yangg Kuat dalam Islam
    Muhammadiyah menyatakan bahwa dalam Islam, tidak ada patokan yangg jelas alias ketentuan yangg mewajibkan khitan bagi perempuan, seperti halnya khitan untuk laki-laki. Bahkan jika terdapat hadist yangg membahas tentang khitan perempuan, statusnya dianggap dhaif (lemah) sehingga tidak dapat dijadikan landasan norma yangg kuat.
  2. Lebih Bersifat Tradisi daripada Kewajiban
    Dalam pandangan Muhammadiyah, khitan wanita lebih merupakan tradisi yangg dilakukan di beberapa masyarakat, bukan tanggungjawab agama. Tradisi ini berbeda-beda tergantung pada budaya dan kebiasaan lokal di suatu daerah. Oleh lantaran itu, Muhammadiyah mendorong umat Islam untuk memahami bahwa praktik ini bukanlah sesuatu yangg diwajibkan oleh agama.
  3. Pentingnya Perspektif Kesehatan dan Hak Perempuan
    Muhammadiyah menekankan bahwa khitan wanita perlu dilihat dari sisi kesehatan dan hak-hak perempuan. Organisasi ini mendorong adanya edukasi yangg lebih luas mengenai kesehatan reproduksi serta perlindungan wanita dari praktik-praktik yangg dapat merugikan mereka. Praktik khitan wanita seringkali mempunyai akibat terhadap kesehatan bentuk maupun psikologis, sehingga krusial untuk membicarakannya secara hati-hati dan bijaksana.
  4. Prinsip Pelayanan Kesehatan yangg Aman
    Jika khitan wanita tetap dilakukan di organisasi tertentu, Muhammadiyah menekankan agar prosedur tersebut dilakukan dengan langkah yangg aman, profesional, dan tidak merugikan kesehatan perempuan. Hal ini sesuai dengan prinsip pelayanan kesehatan yangg mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan pasien.

Tinjauan dari Al-Qur’an dan Hadist

Baik dalam Al-Qur’an maupun hadist, tidak ada ayat alias pernyataan yangg secara definitif memerintahkan khitan perempuan. Berikut beberapa poin terkait:

  • Al-Qur’an:Tidak ditemukan ayat yangg secara langsung mengatur alias mewajibkan khitan perempuan.
  • Hadist:Beberapa hadist menyebut tentang khitan perempuan, tetapi derajatnya dinilai lemah alias tidak kuat sehingga tidak dapat menjadi dasar hukum. Sebagai contoh, salah satu hadist menyebut soal khitan, tetapi lantaran sanad (rantai perawi) dan matannya (isi) tidak memenuhi standar keshahihan, maka hadist ini tidak dijadikan pedoman.

Dalam konteks ini, Muhammadiyah mendorong pendekatan yangg berbasis pada kesehatan dan menghargai hak-hak perempuan. Sementara tidak ada perintah definitif dalam Al-Qur’an alias sabda mengenai khitan perempuan, Maka, jelaslah bahwa khitan wanita bukan sebuah praktik yangg dianjurkan. Sunat wanita apalagi bisa menjadi mudharat andaikan pelaksanaanya hanya sekadar untuk memenuhi tradisi alias budaya masyarakat. Muhammadiyah lebih condong untuk mengedepankan perlindungan dan penghormatan terhadap wanita penekanan pada kesehatan dan etika dalam praktik tersebut menjadi perihal yangg krusial dalam menghadapi rumor tentang khitan wanita ini..

Sebagai penutup, krusial untuk memahami bahwa khitan wanita merupakan rumor yangg memerlukan pendekatan hati-hati, dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama, tradisi budaya, kesehatan, dan hak-hak perempuan. Muhammadiyah mendorong edukasi dan obrolan yangg terbuka agar masyarakat dapat membikin keputusan yangg bijaksana, berasas pengetahuan yangg betul dan prinsip menjaga kemaslahatan bersama. Pada akhirnya, tujuan utamanya adalah melindungi kesehatan dan kesejahteraan perempuan, sekaligus menghormati tradisi tanpa melupakan aspek keadilan dan kemanusiaan.

(Tulisan ini berasas penuturan dari Dr. Widiastuti, S.Ag, MM selaku Ketua PP ‘Aisyiyah)

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id