Ketua Umum PP Muhammadiyah Terus Dorong Pemerintah Agar Batalkan Kenaikan PPN dan Lakukan Reformasi Perpajakan - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 9 bulan yang lalu

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir menyampaikan bahwa rencana penerapan kenaikan PPN 12% ini perlu betul-betul dikaji ulang. Salah satu akibat yangg disampaikan adalah bakal potensinya menghalang spirit kemajuan. Menurutnya kebijakan pajak di Indonesia tidak bakal lepas dari kondisi kehidupan bangsa dan cita-cita keadilan sosial. Kebijakan ini bakal memberikan akibat serius bagi eksistensi pelaku upaya mini dan penduduk masyarakat di tengah ketimpangan ekonomi dan juga berakibat pada lembaga-lembaga yangg bergerak di bagian sosial.

Pemerintah bakal memberlakukan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen per 1 Januari 2025. Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen bertindak untuk seluruh peralatan dan jasa yangg selama ini dikenai tarif 11 persen, selain beberapa jenis peralatan yangg dikenai PPN dengan tarif 0 persen. Selain itu, kitab pelajaran umum, kitab suci, barangbarang untuk penanganan bencana, jasa pendidikan non-premium, jasa kesehatan non-premium, dan jasa pikulan umum juga dikenai PPN dengan tarif 0 persen. Hal ini menjadi kontroversi di ruang publik apalagi golongan ekonomi kritis menyampaikan kebijakan tidak strategis jika hanya untuk mengejar besaran duit yangg bakal didapatkan ialah perkiraan 50-an Trilyun (Peneliti Celios, 2024).

Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dan mendukung konsolidasi fiskal. Namun, kajian mendalam menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN justru berpotensi memberikan akibat negatif yangg signifikan terhadap perekonomian nasional, daya beli masyarakat, dan kesejahteraan sosial. Oleh lantaran itu, seruan pembatalan kebijakan ini kudu dipertimbangkan sebagai langkah yangg lebih bijak untuk menjaga stabilitas ekonomi dan keadilan sosial.

Dampak Kenaikan Tarif PPN pada Konsumsi Rumah Tangga

Konsumsi rumah tangga merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, dengan kontribusi lebih dari 55 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam situasi konsumsi yangg stagnan di kisaran 4,9 persen sepanjang triwulan I hingga III tahun 2024, kenaikan tarif PPN bakal memberikan tekanan tambahan pada daya beli masyarakat. Sebagai pajak yangg berkarakter regresif, PPN memberikan beban yangg lebih besar kepada golongan masyarakat berpenghasilan
rendah dibandingkan dengan golongan berpenghasilan tinggi. Masyarakat miskin, yangg sebagian besar pengeluarannya digunakan untuk konsumsi peralatan dan jasa kebutuhan dasar, bakal merasakan akibat langsung dari kenaikan nilai peralatan akibat kenaikan tarif PPN.

Baca Juga: Cakap Bermedia Sosial di Era Polarisasi Informasi

Dalam kondisi saat ini, di mana pemulihan ekonomi belum sepenuhnya stabil pasca-pandemi, kenaikan tarif PPN berisiko memperburuk ketidakpastian ekonomi. Kenaikan nilai peralatan dan jasa yangg diakibatkan oleh kebijakan ini dapat memicu perlambatan konsumsi, yangg berakibat negatif pada sektor-sektor lain seperti ritel, manufaktur, dan jasa. Efek domino ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan.

Dampak pada Petani, Nelayan, Pelaku Usaha dan UMKM

Petani dan nelayan bakal terdampak langsung akibat kenaikan harga-harga di pasaran. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yangg merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia, juga bakal menghadapi tekanan besar akibat kenaikan tarif PPN. Kenaikan tarif ini bakal meningkatkan biaya produksi UMKM, memaksa mereka untuk meningkatkan nilai jual produk, yangg pada akhirnya mengurangi daya saing di pasar domestik.

Dengan menurunnya daya beli masyarakat, permintaan terhadap produk UMKM juga berisiko menurun, menghalang pertumbuhan sektor ini yangg semestinya menjadi motor penggerak ekonomi inklusif dan pembuatan lapangan kerja. Oleh lantaran itu, kebijakan pajak yangg pro rakyat, mementingkan rakyat kecil, dan mendukung pemulihan ekonomi menjadi suatu keniscayaan Rekomendasi dan Seruan kepada Pemangku Kepentingan.

Dari hasil kajian ini, disampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut. Pertama, kepada Presiden Republik Indonesia, dapat menggunakan kewenangan konstitusionalnya dengan menerbitkan Perppu alias peraturan lainnya untuk membatalkan kebijakan kenaikan Pajak PPN 12% sebagaimana yangg tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Kedua, kepada Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk melakukan upaya sungguh-sungguh untuk reformasi perpajakan dengan membikin Undang-Undang perpajakan yangg mencerminkan prinsip keadilan sosial, progresivitas, dan keberlanjutan ekonomi; memastikan setiap kebijakan perpajakan yangg disahkan berpihak pada kepentingan rakyat banyak, bukan sekadar memenuhi sasaran fiskal jangka pendek alias mengakomodasi kepentingan tertentu; memperkuat kebijakan pajak langsung seperti Pajak Penghasilan (PPh) dan implementasikan pajak kekayaan untuk meningkatkan kontribusi golongan berpenghasilan tinggi. Pencegahan dan penindakan korupsi serta upaya konstitusional untuk perampasan aset tindak pidana korupsi juga mempunyai kontribusi besar dibandingkan dengan mengejar pajak dari masyarakat menengah ke bawah.

Ketiga, kepada Masyarakat dan Pelaku Usaha agar berkedudukan aktif dalam mendukung reformasi perpajakan yangg lebih inklusif dan adil. kepada pelaku upaya untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan memberikan masukan konstruktif terhadap kebijakan perpajakan untuk menciptakan sistem yangg berkeadilan bagi semua pihak sehingga dapat menopang agenda mendesak bangsa ialah menghadirkan kesejahteraan dan kemakmuran untuk semua. (-lsz)

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id