Oleh: Prahasti Suyaman
Perkawinan dalam Islam adalah sesuatu yangg berangkaian dengan memenuhi tuntutan hatikecil hidup alias gharizah manusia, antara laki-laki dengan wanita dalam upaya tercapainya kebahagiaan family yangg sesuai dengan perintah Allah dan sunnah Rasulullah. Untuk dapat melangsungkan perkawinan tersebut, seseorang kudu dianggap telah dewasa dan bisa dalam membangun rumah tangga.
Di beberapa tempat di Indonesia yangg tetap dipengaruhi oleh budaya setempat, perkawinan anak-anak tetap kerap terjadi. Perkawinan dilakukan oleh anak laki-laki dan wanita yangg belum mencapai kematangan jiwa raga lantaran dijodohkan oleh orang tua mereka. Kepentingan orang tua seringkali menjadi dasar ukuran dan tidak mempedulikan kepentingan anak-anak yangg belum terlalu memahami makna perkawinan.
Kecakapan Usia Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Kecakapan dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai keahlian alias kesanggupan. Bila digabungkan dengan kata usia perkawinan, maka dapat diartikan sebagai usia yangg dianggap bisa alias sanggup untuk melakukan perkawinan.
Aturan norma Indonesia awalnya mengatur batas usia untuk melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Melalui pembahasan intensif, akhirnya dilakukan revisi terbatas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai pemisah usia perkawinan. Batasan usia laki-laki dan wanita disepakati menjadi 19 tahun untuk dapat melangsungkan perkawinan yangg sah. Penentuan batas usia perkawinan, dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 15 ayat (1) adalah sebagai pertimbangan untuk kemaslahatan family dan rumah tangga perkawinan.
Prinsip Undang-undang perkawinan ini bahwa calon suami dan juga calon istri kudu siap jiwa raganya agar dapat melangsungkan perkawinan dan mewujudkan tujuan perkawinan serta mendapatkan keturunan yangg baik dan sehat. Dari segi kependudukan, perkawinan yangg dilakukan oleh wanita yangg berumur terlalu muda mengakibatkan laju kelahiran yangg lebih tinggi dibandingkan dengan ketika mereka melakukan perkawinan di usia yangg lebih matang.
Kecakapan Usia Perkawinan Menurut Hukum Islam
Islam mengenakan manusia pembebanan norma (taklif) setelah dia ocehan untuk bertindak hukum. Ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa dasar dari pembebanan norma tersebut adalah logika dan pemahaman, sehingga dapat dipahami bahwa seseorang baru bisa dibebani norma andaikan dia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yangg ditujukan padanya, dalam ushul fiqih disebut dengan al-ahliyyah.
Ahliyyah secara etimologi berfaedah kecakapan menangani suatu urusan. Secara terminologi dapat didefinisikan “suatu sifat yangg dimiliki seseorang, yangg dijadikan ukuran oleh syari untuk menentukan seseorang telah ocehan dikenai tuntutan syarak.” Hal ini berfaedah al-ahliyyah adalah sifat yangg menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syarak. Ulama ushul fiqih membagi al-ahliyah kedalam dua bentuk, yaitu: ahliyyah al-wujub, dan ahliyyah al-ada’.
Baca Juga: FIK UM Surabaya International Expansion: Lakukan Pengabdian Internasional
Ahliyyah al-wujub adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-haknya dan belum ocehan untuk dibebani seluruh kewajiban. Misalnya dalam masalah kekayaan warisan, dia dianggap ocehan untuk menerima kekayaan warisan namun belum ocehan untuk dibebani dengan kewajiban, seperti shalat, puasa dan haji. Ahliyyah al-ada’ adalah sifat kecakapan bertindak norma seseorang yangg dianggap telah sempurna untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya baik yangg positif maupun yangg negatif. Ulama mengatakan bahwa yangg menjadi ukuran adalah akil baligh dan cerdas.
وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ ۖ …
artinya: “dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah pandai (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya…” (QS. an-Nisa ayat 6)
Menurut penafsiran, kalimat “cukup umur” dalam ayat ini menunjukkan seseorang telah bermimpi dengan mengeluarkan mani untuk laki-laki dan menstruasi untuk perempuan. Orang yangg seperti ini telah dianggap ocehan untuk melakukan tindakan norma sehingga seluruh perintah dan larangan syara dapat dia pikirkan dengan sebaik-baiknya dan dapat pula dia laksanakan secara benar. Dalam sebuah hadits:
عن علي -رضي الله عنه- عن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال: رُفِعَ الْقَلَمُ عن ثلاثة: عن النائم حتى يَحْتَلِمَ، وعن المجنون، وعن الصبيتى يَعْقِلَ ححتى يَسْتَيْقِظَ.
Artinya: Dari Ali ra., dari Nabi saw., beliau bersabda, “Pena (pencatat amal) bakal diangkat dari tiga orang, yaitu: dari orang yangg tidur sampai dia bangun, dari anak-anak sampai dia baligh, dan dari orang yangg gila sampai dia sadar (berakal).” (H.R. Ahmad)
Filsafat Hukum Keluarga Islam tentang Kecakapan Usia Perkawinan
Penentuan batas usia minimal perkawinan untuk menilai kecakapan pasangan yangg bakal menikah termasuk ke dalam masalah ijtihadiyah, disebabkan Al-Quran dan juga hadits tidak menjelaskan secara rinci di usia berapakah laki-laki dan wanita dikatakan ocehan sehingga dapat melangsungkan perkawinan.
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: Abdullah Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam berfirman pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara Anda telah bisa berfamili hendaknya dia kawin, lantaran dia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum bisa hendaknya berpuasa, karena dia dapat mengendalikanmu.” (H.R. Muttafaq Alaihi).
Hadits tersebut hanya menyebut kriteria “mampu” sebagai dorongan untuk melakukan perkawinan tanpa menjelaskan batas usia minimum. Menurut Ahmad Azhar Basyir, hadits tersebut mengajarkan bahwa perkawinan merupakan jalan untuk menyalurkan hatikecil manusiawi, guna melangsungkan kehidupan jenis, mewujudkan ketentraman hidup dan menumbuhkan serta memupuk rasa kasih sayang dalam hidup bermasyarakat. Perkawinan itu sendiri mempunyai nilai keagamaan sebagai ibadah kepada Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah.
Pernikahan yangg dilakukan oleh remaja berpengaruh terhadap beragam hal, sebagai contoh belum matangnya organ reproduksi dan juga kematangan bentuk dari seorang remaja wanita bakal berpengaruh terhadap akibat jika dia mengandung. Kemungkinan kecacatan pada anak, akibat mengalami kanker leher rahim, alias ibu meninggal saat melahirkan menjadi sangat besar. Tujuan perkawinan ialah tentram dalam rumah tangga berasas kasih sayang juga berpotensi susah diwujudkan jika pasangan yangg menikah belum mencapai kecakapan usia sehingga belum matang jiwa dan raganya.
Ditetapkannya pemisah usia minimum dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7 mengenai pemisah usia minimum wanita menjadi 19 tahun, mempunyai aspek kemaslahatan dan sejalan dengan petunjuk-petunjuk umum hukum Islam.
***
Prahasti Suyaman, Dosen Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sukabumi, juga ketua Majelis Hukum dan HAM PDA Kabupaten Sukabumi.
English (US) ·
Indonesian (ID) ·