Jika Perlindungan Remaja Setipis Tisu: Menilik Maraknya Bullying dan Sarkasme di Media Sosial - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 9 bulan yang lalu

Oleh :Dwi Wahyuningsih*

Sedih dan menangis, perihal yangg hanya bisa dilakukan seorang remaja  kelas 1 SMP di wilayah Bantul Timur awal tahun 2024. Sebut namanya Al, remaja laki-laki ini di-bully di media sosial lantaran fotonya diunggah di grup WA dengan tampilan yangg sudah dipoles sana-sini. Mungkin terlihat kocak bagi sebagian besar teman-temannya, tapi tidak bagi Al sang korban yangg memendam amarah, malu, dan kesedihan.

Bagi sebagian remaja, perihal tersebut bisa dianggap sepele,tapi bagi sebagian remaja lain perihal itu bisa sangat menyakiti dan memerlukan waktu yangg lama untuk menyembuhkannya, apalagi jika sembuh pun bakal sangat susah menghilangkan kejadian itu dari memorinya.

Muhammad Hanafi, Psikolog Klinik Psikologi RSU PKU Muhammadiyah Bantul mengungkapkan, “Kejadian bullying ini bisa mengubah gambaran diri remaja yangg sedang berkembang. Ketidakmampuan untuk menanggapi langsung alias mencari perlindungan membikin korban merasa lebih rentan, mempengaruhi kesehatan mental, dan meningkatkan potensi terjadinya depresi alias kecemasan.”

Kasus Al hanya contoh mini dari perilaku bullying remaja di media sosial. Masih banyak kasus-kasus lain yangg sepertinya sudah menjadi perihal yangg biasa bagi remaja di obrolan daring alias obrolan sehari-hari. Menelusuri lebih lanjut obrolan WA anak-anak remaja rupanya banyak kata-kata sarkasme yangg tak layak mereka ucapkan dan jauh dari nilai moral yangg diajarkan nenek moyang tradisi ketimuran yangg menjunjung tinggi sopan santun dan etika. Berdalih biar gaul dan tidak gaptek, anak-anak dan remaja sekarang lebih condong menggunakan kata-kata gaul yangg mereka mengambil dari beragam platform digital yangg bertebaran.

Sayangnya, anak-anak dan remaja belum mengerti betul makna dari kata-kata yangg mereka mengambil dan jika diterapkan belum tau pengaruh buruknya. Ketidaktahuan inilah yangg menjadikan remaja dengan polosnya bisa ceplas-ceplos bermain kata di media sosial yangg kadang terdengar kasar dan tak sopan bagi orang dewasa.

Baca Juga: Live Bullying, Bukti Degradasi Moral Generasi

Dijelaskan lagi oleh Hanafi yangg telah menangani banyak pasien kasus bullying di kliniknya ini, “Penanganan secara umum terhadap bullying dan sarkasme di media sosial melibatkan langkah-langkah pencegahan, edukasi, dan penegakan hukum. Pihak berwenang, seperti sekolah, keluarga, dan platform media sosial, perlu memberikan edukasi tentang etika berinternet, empati, dan akibat kata-kata yangg menyakitkan. Sementara itu, penanganan terhadap korban, antara lain dengan memberikan support emosional, mendengarkan keluhan mereka, dan membantu mereka untuk melaporkan tindakan bullying ke pihak berkuasa alias admin media sosial. Dalam beberapa kasus, tindakan norma bisa diambil jika bullying berkarakter serius alias mengarah pada ancaman. Penting juga untuk memastikan korban mendapatkan support psikologis untuk mengatasi akibat emosionalnya.”

Jika perlindungan orang tua terhadap pengaruh media setipis tisu, entah bakal menjadi apa perkembangan anak-anak generasi ini, melek pengetahuan pengetahuaan dan teknologi tapi rendah moralitas. Untuk itu orang tua kudu memahami bahwa anak adalah amanah yangg kudu dijaga betul di setiap langkah dan ucapannya. Orang tua kudu mempunyai filter dan perlindungan kepada anak yangg tebal dan kuat dari pengaruh jelek media. Bekali anak dengan nilai spiritualitas dan moralitas yangg tinggi lantaran itu yangg bakal menjadi tembok pertahanan mereka saat orang tua tidak berada di samping anak.

Benarlah istilah belajar sepanjang masa. Orang tua kudu belajar terus pengetahuan parenting, lantaran perkembangan pengetahuan itu bergerak dan sigap sekali. Bisa jadi apa-apa yangg orang tua tahu dan pernah dipelajari dalam mendidik anak sudah tidak bertindak lagi di masa kini. Penerapan pengetahuan parenting tidak hanya pada masa bayi dan anak-anak, tetapi justru pada masa remaja ini yangg lebih sulit.

Pada masa ini orang tua kudu bisa berkedudukan ganda, ialah menjadi orang tua, guru, dan yangg terpenting menjadi teman, sehingga anak tidak bakal sungkan curhat tentang masalah-masalahnya dan bercerita tentang apa saja. Sesekali cek juga gadget anak dengan pendekatan sebagai teman. Lihat obrolan anak-anak dengan temannya, dan platform apa saja yangg dia ikuti. Orang tua bisa berbincang tanpa menggurui tentang benar-salah dan baik-buruk.

Orang tua kudu lebih cerdas dan berwawasan luas, lantaran mendidik remaja jauh lebih susah dibanding masa kanak-kanak. Remaja punya banyak pengetahuan tapi lemah di filter terhadap hal-hal buruk, mudah meniru apa saja yangg dia lihat dan dengar, tapi kurang bisa berpikir panjang dan logis. Orang tua lah yangg kudu mempunyai filter dan perlindugan yangg kuat agar anak terbendung dari pengaruh jelek media sosial, sehingga terbentuk Generasi Emas 2045 bebas bullying dan sarkasme.

*Mahasiswa RPL Keperawatan UNISA Yogyakarta TA 2024/2025 dan Perawat RSU PKU Muhammadiyah Bantul

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id