Sri Retna Wulandari, Mahasiswa RPL UNISA
WARTAMU.ID, Humaniora – Perundungan masih menjadi salah satu masalah sosial yang sulit diatasi di Indonesia. Isu ini terus menjadi perhatian berbagai pihak karena dampak emosional, sosial, dan psikologis yang ditimbulkan. Sebagai tindakan kekerasan atau intimidasi, perundungan dianggap sebagai tindak pidana yang melanggar hak asasi manusia serta norma hukum. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, revisi dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, yang bertujuan melindungi anak-anak dari perilaku merugikan di sekolah maupun masyarakat (Aryani & Yusuf, 2024).
Faktor dan Bentuk Perundungan
Perundungan sering terjadi karena pelaku merasa puas menyakiti korban, memiliki dendam, iri, atau ingin meningkatkan rasa percaya diri (Yanti et al., 2021). Perundungan dapat terjadi di mana saja, termasuk sekolah, kampus, dunia maya, tempat kerja, dan lingkungan masyarakat. Berdasarkan information dari databooks (2021), lingkungan sekolah adalah lokasi yang paling sering terjadi kasus perundungan.
Menurut information statistik (Almaidha, 2023), jumlah korban perundungan di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun:
- 2019: 11.057 korban
- 2020: 11.278 korban
- 2021: 14.517 korban
- 2022: 21.241 korban
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menjabarkan enam bentuk perundungan:
- Kontak Verbal Langsung: Ancaman, penghinaan, intimidasi, hingga penyebaran gosip negatif.
- Kontak Fisik Langsung: Tindakan seperti memukul, mencakar, atau merusak barang milik korban.
- Perilaku Non Verbal Langsung: Ekspresi wajah sinis, ancaman dengan gerakan tubuh, atau intimidasi non verbal lainnya.
- Perilaku Non Verbal Tidak Langsung: Manipulasi persahabatan, pengucilan, atau pengabaian keberadaan korban.
- Pelecehan Seksual: Tindakan fisik maupun verbal yang merendahkan secara seksual.
- Cyber Bullying: Intimidasi melalui media elektronik, seperti komentar negatif atau pencemaran nama baik secara online.
Dampak Perundungan dan Upaya Penanganan
Muhammad Hanafi, M.Psi, seorang psikolog di RSU PKU Muhammadiyah Bantul, menjelaskan bahwa korban perundungan sering mengalami kecemasan, stres, hingga depresi. Hal ini dapat menurunkan prestasi dan kemampuan anak dalam membangun relasi sosial. Selama setahun terakhir, kliniknya menangani lebih dari 10 kasus anak korban perundungan, meliputi perundungan fisik, verbal, relasional, seksual, dan dunia maya.
Upaya terapi yang diberikan kepada korban meliputi konseling, terapi kognitif dan perilaku (CBT), serta relaksasi. Hanafi menekankan pentingnya peran orang tua dalam membangun komunikasi yang terbuka dengan anak. “Dukungan penuh dari keluarga sangat luar biasa untuk perbaikan intelligence anak,” ujarnya.
Selain itu, peran sekolah dalam memantau kejadian perundungan juga sangat krusial. Sinergi antara siswa, orang tua, dan pihak sekolah dapat mempercepat penanganan kasus dan mencegahnya berlarut-larut. Hanafi berharap sekolah-sekolah di Indonesia mulai menerapkan programme pendidikan karakter yang mengajarkan empati, rasa hormat, dan keterampilan sosial.
Harapan untuk Masa Depan
Hanafi menegaskan pentingnya menciptakan lingkungan inklusif di mana setiap individu dihargai dan diterima. “Sekolah perlu memiliki sistem pelaporan anonim yang memadai serta menyediakan dukungan bagi korban dan pelaku perundungan untuk mengubah perilaku mereka,” tambahnya.
Kolaborasi antara guru, orang tua, dan siswa sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan positif bagi semua. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan kasus perundungan di Indonesia dapat diminimalkan dan memberikan dampak positif bagi perkembangan anak-anak di masa depan.
Dibaca: 2,318
9 bulan yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·