Istri Berpuasa Sunah, Apakah Harus Izin Suami? - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 9 bulan yang lalu

Oleh: Siti Aisyah

Pertanyaan tersebut sering disampaikan oleh para wanita di ruang tanya jawab majalah, surat kabar, dan media sosial serta majelis-majelis pengetahuan Perempuan, seperti majelis taklim dan pengajian. Jawabannya pada umumnya disampaikan bahwa wanita menjalankan puasa sunnah kudu dengan izin suami.

Dalil pendukungnya cukup kuat. Sabda Nabi Muhammad saw:

ال حيل المرأة أن تصوم وزوجها شاهد إال بإذنه

“Tidaklah legal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) selain dengan izin suaminya.”(HR. Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah).

Nukilan sabda tersebut diperkuat dengan pendapat ustadz yangg dikutipnya, misalnya, Jumhur Ulama menyatakan bahwa jika seorang iwaya menjalankan puasa (selain puasa Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya tetap sah, namun dia telah melakukan keharaman. Ulama Hanafiyah menganggapnya makruh. Ulama Syafi’iyah menyatakan hukumnya haram jika puasanya berulang kali. Akan tetapi, jika puasanya tidak berulang kali seperti puasa ‘Arafah, ‘Asyura, enam hari di bulan Syawal, maka boleh dilakukan tanpa izin suami, selain jika memang suami melarangnya.

Pendapat tersebut, dapat dimaklumi di era dan budaya patriarki yangg menempatkan iwayatn sebagai makhluk kelas dua, iwayat tidak mempunyai otoritas atas
dirinya dalam menunaikan ibadah dan aktivitas lainnya.  Budaya pada era disrupsi sangat berbeda dengan era klasik (mazhab). Pada era laki-laki dan iwayatn mempunyai akses luas dan setara dalam mengembangkan potensi, termasuk potensi spiritual, maka perlu ada pengembangan metodologi istimbat norma yangg kontekstual dengan kemajuan iptek dan budaya yangg berkembang. Bagaimana pandangan Tarjih dalam merespons perihal tersebut?

Majelis Tarjih dan Tajdid telah mengembangkan Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam dengan pendekatan bayani, burhani, dan ’irfani. Salah satu
Keputusan Munas Tarjih ke-26 tahun 2003 di Padang Sumatera Barat adalah tentang tata langkah mengerjakan Puasa Tathawwu’, dicantumkan bahwa: “Salah seorang pasangan suami alias istri yangg hendak puasa sunnat hendaklah berembuk minta izin dengan pasangannya ketika berada di rumah (ketika tidak bepergian). Landasan dalilnya, Q.S. asy-Syura (42) : 38, Q.S. an-Nisa’ (4) : 124, Q.S. an-Nahl (16) : 97, dan dua hadis.

Pertama, sabda iwayat Imam Bukhari dari Abdullah Ibn ‘Amr Ibn al-‘As :

ِDari ‘Abdullah Ibn ‘Amr Ibn al-‘As (Diriwayatkan bahwa) dia berkata: Rasulullah saw bersabda: Wahai ‘Abdullah, bukankah saya pernah diberitahu bahwa
engkau berpuasa di siang hari dan melakukan ibadah (salat) di malam hari? Aku (‘Abdullah) menjawab: Benar wahai Rasulullah. Rasulullah bersabda: Janganlah engkau lakukan! Berpuasalah, berbuka, salat malam, dan tidurlah. Sesungguhnya, tubuhmu mempunyai kewenangan terhadapmu, matamu mempunyai kewenangan terhadapmu, dan istrimu mempunyai kewenangan terhadapmu” (HR. Al-Bukhāri).

Kedua, sabda riwayat Abū Dāwūd, Ahmad, al-Baihaqī, al-Hākim Ibnu Hibbān, Ibn Sa ‘ad, Ibnu ‘Asākir dan ad-Dailamī dari Abu Sa’id al-Khudri tentang istri Safwan Ibn al-Mu’attal yangg mengadukan kepada Rasulullah saw tentang perlakuan suaminya. Hadisnya cukup panjang, dengan pertimbangan efisiensi penulisan, sabda dimaksud tidak kami tuliskan. Intinya, senada dengan sabda Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah di atas, dengan dilengkapi sabab wurud dalam corak rangkaian peristiwa yangg terjadi, sehingga Rasulullah saw. berfirman (“Pada hari itu, janganlah seorang istri berpuasa selain dengan izin suaminya”).

Dalam sabda tersebut Abū Sa‘īd (al-Khudrī), menyampaikan, ada seorang wanita datang kepada Rasulullah saw, dan saat itu para sahabat berada bersama-sama beliau. Perempuan itu mengatakan, “Wahai Rasulullah, suami saya, Safwan Ibn al-Mu ‘attal, memukul saya andaikan saya salat dan menyuruh saya membatalkan puasa andaikan saya puasa.” Ketika itu Safwan ada berbareng beliau. Lalu Rasulullah saw bertanya kepada Safwan tentang apa yangg dikatakan istrinya itu. Safwan menjawab, “Wahai Rasulullah, saya memukul istri saya andaikan saya salat lantaran dia membaca dua surat, padahal saya telah melarangnya.” Maka Rasulullah saw. berfirman “Seandaiya dibaca satu surat, maka itu sudah mencukupi.” Adapun saya menyuruhnya membatalkan puasa, lantaran dia terus berpuasa padahal saya adalah seorang laki-laki muda yangg tidak bisa menahan (keinginan biologis). Maka Rasulullah saw bersabda, “Pada hari itu, janganlah seorang istri berpuasa selain dengan izin suaminya.”

Apabila dicermati, kasus tersebut menggambarkan kekerasan bentuk yangg dialami istri, lantaran menunaikan puasa sunah sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan biologis suaminya. Dengan demikian, sabda Rasul dimaksud, sejatinya upaya Nabi menghindarkan wanita dari kekerasan bentuk yangg dilakukan suaminya. Dalam merespon persoalan wanita puasa sunah kudu izin suami, Majelis Tarjih mengembangkan dugaan metode integralistik dan hierarkis.

Secara integralistik, dijelaskan tentang Wujhul-Istidlal dari dalil-dalil di atas bahwa dalam mengistimbatkan norma dengan menerapkan metode istiqra’ ma’nawi (induksi tematis), tidak didasarkan hanya pada suatu ayat alias sabda tunggal tertentu (yaitu sabda wanita kudu izin suami ketika puasa sunah), melainkan didasarkan pada keseluruhan ayat, sabda dan sumber-sumber material syariah yangg dari padanya ditarik konklusi umum mengenai ketentuan hukum. Secara hierarkis, norma-norma syariah dapat dibedakan ke dalam tiga lapisan, ialah nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah), asas-asas umum (al-ushul al-kulliyyah), dan peraturan kongkrit (al-ahkam al-far’iyyah).

Nilai-nilai dasar berkarakter absurd dan universal, sekaligus menggambarkan pokok-pokok esensial aliran Islam, seperti tauhid, adab karimah, kemaslahatan, keadilan, persamaan, musyawarah, dan lain-lain. Asas-asas umum merupakan konkritisasi dari nilai-nilai dasar yangg berkarakter absurd dan biasanya dirumuskan dalam alqawa’id al-fiqhiyyah dan an-naariyyah al-fiqhiyyah.

Sedangkan peraturan norma konkret merupakan konkretisasi lebih lanjut dan merupakan penjabaran terhadap norma-norma di atasnya. Secara hierarkis, Q.S. asy-Asyura (42): 38 memuat nilai dasar musyawarah (asy-syūrā). Al-Qur’an Surah an-Nisa’ (4) : 124 dan an-Nahl (16) : 97memuat nilai dasar kesetaraan (al-musāwah), ialah kesetaraan dalam beriman, beramal saleh, dan beribadah. Secara unik dalam Q.S. al-Ahzab (33): 35, disebutkan kesetaraan laki-laki dan wanita dalam menunaikan puasa.

Hadis ‘Abdullah Ibn ‘Amr bin al’As merupakan asas umum yangg mengkonkretisasi nilai dasar kesetaraan, ialah adanya persamaan kewenangan mendapatkan kenikmatan biologis dalam kehidupan rumah tangga. Artinya, salah satu pasangan mempunyai kewenangan terhadap pasangannya yangg lain untuk pemenuhan tuntutan biologis yangg seyogianya tidak dihalangi oleh penyelenggaraan ibadah sunnah pasangannya.

Hadis Abū Sa‘īd yangg diriwayatkan oleh Abū Dāwūd menerangkan contoh kasus yangg terjadi pada Safwan Ibn al-Mu‘attal, bahwa pemenuhan kebutuhan biologisnya
seyogianya tidak terhalangi oleh penyelenggaraan ibadah sunnah pasangannya. Hal ini bertindak sama terhadap istri maupun suami lantaran dalam sabda ‘Abdullah Ibn ‘Amr, Rasulullah saw menegaskan suatu asas bahwa sesungguhnya pasanganmu mempunyai kewenangan atas dirimu. Dalam perihal ini, Ibn Hajar mengutip pernyataan Ibn Battal (w.449) ketika mensyarah sabda ini menyatakan, “Ketika pada bab sebelumnya disebutkan kewenangan suami terhadap istri maka pada bab ini disebutkan kewenangan istri terhadap suami.

Tidaklah sepantasnya seorang suami melelahkan dirinya beragama sehingga tidak bisa memenuhi kewenangan biologis istrinya” (Ibn Hajar, Fath al-Bari, X:374, “Kitāb an-Nikāh”) Sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an dan sabda di atas, dengan menggunakan kajian dugaan metode yangg berorientasi pada integralistik dan hirarkis, maka “Suami alias istri hendaklah berembuk guna memperoleh persetujuan pasangannya untuk melakukan puasa sunat.” Hal ini sejalan dengan nilai-nilai dasar keadilan, kesetaraan, dan maslahah.

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id