BANDUNGMU.COM, Jakarta — Salah satu perihal mendasar dalam rumor Hak Asasi Manusia (HAM) adalah kebebasan berakidah alias kebebasan berkeyakinan.
Kebebasan berakidah dapat diartikan dalam dua percabangan, ialah bebas berakidah tertentu (termasuk memeluk aliran kepercayaan adat) alias bebas dari kepercayaan tertentu (agnotisisme/ateisme).
Bagi umat Islam, menghadapi rumor kebebasan berakidah semestinya bukanlah persoalan sensitif. Pasalnya Islam sangat inklusif terhadap perbedaan dan kebebasan manusia dalam berkeyakinan alias beragama.
Demikian perihal itu dijelaskan oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Muti dalam konvensi internasional Institut Leimena mengenai “Isu HAM dan Pendidikan Agama” di FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Rabu (03/05/2023).
Kemudian Muti mengutip ayat 29 surah Al-Kahfi: Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, peralatan siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan peralatan siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir. Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yangg gejolaknya mengepung mereka.”
Menurut Muti, ayat ini menjadi pedoman dalam menghadapi perbedaan kepercayaan terhadap rumor kebebasan beragama.
Dalam konteks pendidikan agama, ayat ini kata dia juga dapat dijadikan referensi dalam menanamkan nilai inklusivitas sekaligus penguat dari model pendidikan kepercayaan yangg ada.
Di beragam negara, pendidikan kepercayaan diajarkan lewat model yangg berbeda. Ada yangg sekadar mengartikan anak didik bahwa kepercayaan adalah kejadian sosial untuk membentuk masyarakat harmonis. Ada juga yangg mengajarkan kepercayaan agar diresapi dalam kepribadian sehari-hari.
Dari beragam model pendidikan kepercayaan yangg ada, sistem pendidikan nasional di Indonesia menurut Abdul Muti adalah model yangg paling ideal dan futuristik, ialah pendidikan yangg membentuk anak didik agar menjadi insan yangg saleh, beriman, dan bertakwa.
Apalagi, pendidikan nasional memberikan agunan bagi seorang penganut kepercayaan berbeda untuk diberikan pendidikan kepercayaan lewat pembimbing yangg seagama alias seiman.
Namun, perihal tersebut tidak cukup. Dalam upaya mendorong pemahaman inklusif terhadap kebebasan beragama, Muti menganggap perlunya anak didik saling mempelajari konsep-konsep kepercayaan dari siswa pemeluk kepercayaan berbeda secara tematik.
Dengan demikian, ketika mereka mengerti terhadap konsep yangg berbeda, mereka bisa saling memahami dan menghargai.***
English (US) ·
Indonesian (ID) ·