BANDUNGMU.COM, Bandung — Muhammadiyah sering diasosiasikan sebagai bagian dari aktivitas Salafi. Gerakan nan secara genealogi pemikiran merujuk pada Ahmad Ibnu Hanbal (780-855 M), Ibnu Taimiyah (1268-1328 M), dan Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792 M) ini memang mempunyai kemiripan dengan Muhammadiyah.
Namun, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Agung Danarto membeberkan perbedaan Muhammadiyah dengan Salafi. Apa saja?
Kesatu, meski Muhammadiyah dan Salafi sama-sama mempunyai semboyan kembali pada Al-Quran dan Al-Sunah, metode pembacaannya berbeda.
Menurut Agung, Muhammadiyah memahami dengan menggunakan logika pikiran nan sesuai dengan jiwa aliran Islam. Salafi memahaminya secara literal. Pemahaman literal inilah nan membawa mereka pada pendapat tersulit dengan dalih kehati-hatian.
Kedua, dalam wacana komoderenan, kata Agung, Muhammadiyah menerima kemodernan dan melakukan modernisasi. Salafi menolak modernisasi, tetapi menerima produk teknologi.
“Muhammadiyah menerima budaya Barat nan sesuai dengan aliran Islam dan menolak nan tidak sesuai. Salafi menolak budaya Barat,” tuturnya dalam aktivitas Pengajian Ramadan 1444 H nan berjalan pada Sabtu (25/03/2023).
Ketiga, pada persoalan budaya lokal, Muhammadiyah menerima budaya lokal dan melakukan islamisasi terhadap budaya lokal nan tidak sesuai. Sementara itu, Salafi menolak budaya lokal dan merujuk pada budaya Arab nan tergambar dalam hadis.
Keempat, Muhammadiyah melakukan amar makruf secara perseorangan dan kelembagaan. Secara perseorangan dilakukan melalui pengajian, kultum, dan tablig. Secara kelembagaan dilakukan secara sistematis melalui ama usaha. Nahi Munkar dilakukan secara sistemik.
Salafi melakukan dengan tahzir dan hajr al-mubtadi. Tahzir adalah memperingatkan. Hajr al-mubtadi adalah mengisolasi alias menyingkirkan pelaku bidah.
Kelima, Muhammadiyah mendirikan NKRI dan memperjuangkannya agar menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Sementara dalam tubuh Salafi terdapat perbedaan pandangan.
Salafi Yamani alim pada pemerintah NKRI, tetapi pasif. Dakwah mereka terfokus pada pembinaan iktikad dan akhlak. Sementara itu, Salafi Haraki dan Jihadi mau mengganti dengan pemerintahan alias negara Islam.
“Muhammadiyah memandang NKRI sudah cukup, tinggal mengisinya agar sesuai dengan aliran Islam. Salafi Yamani apolitik, tetapi mengidolakan kehidupan berbangsa seperti era Nabi. Salafi Haraki dan Jihadi memperjuangkan terbentuknya negara Islam,” ucap Agung.
Keenam, Muhammadiyah berpandangan bahwa logika adalah perangkat nan dianugerahkan Tuhan kepada manusia untuk bisa survive. Akal berfaedah untuk memahami alam dan teks keagamaan.
Teks keagamaan perlu dipahami dengan menggunakan logika lantaran Islam diturunkan untuk semua umat manusia dengan beragam latar budaya dan peradaban nan berbeda.
Salafi mengabaikan peran logika dalam menafsirkan teks keagamaan. Bagi mereka, kebenaran itu tunggal dan hanya terletak dalam wahyu. Wahyu adalah sumber pertama manusia dan sumber terakhir nan tidak bisa diperselisihkan.
Konsekuensinya, Muhammadiyah berpandangan bahwa kerasionalan dan pengembangan pengetahuan sosial diperlukan untuk memahami teks dan untuk membangun peradaban manusia nan maslahah dan islami. Salafi berpandangan bahwa kerasionalan dan pengembangan pengetahuan sosial adalah bidah. Anti makulat dan anti tasawuf.
Ketujuh, menurut Muhammadiyah, wanita mempunyai peran domestik dan publik. Perempuan boleh menjadi pejabat publik dan boleh berjalan tanpa mahram jika keadaan kondusif dan terjaga dari fitnah.
Menurut Salafi, peran wanita adalah sektor domestik, sedangkan sektor publik adalah milik laki laki. Perempuan berjalan kudu berbareng mahram.
“Menurut Muhammadiyah, wanita sebagaimana laki laki kudu mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya di semua bagian ilmu. Menurut Salafi, wanita perlu mendapatkan pendidikan nan baik terutama keagamaan dan nan menopang peran domestiknya,” ucap Agung.
Kedelapan, bagi Muhammadiyah, busana nan krusial menutup aurat. Boleh memakai busana tradisional, lokal, ataupun Barat. Batik, sarung, peci, jas, celana panjang, kebaya, dan sejenisnya, biasa dipakai di Muhammadiyah.
Cara berpakaian Salafi membiasakan empat identitas: jalabiya (pakaian panjang), isbal (celana cingkrang), lihya (jenggot), dan niqab (cadar).
Kesembilan, bermusik, bernyanyi, main drama, teater, menurut Muhammadiyah bisa menjadi media dakwah. Bagi salafi, seni jenis itu adalah bidah dan haram. Nonton TV, mendengarkan radio, dan intermezo adalah dilarang.***
___
Sumber: muhammadiyah.or.id
Editor: FA