BANDUNGMU.COM, Bandung — Penggunaan metode hisab asasi wujudul bulansabit nan selama ini dipedomani Muhammadiyah dianggap telah usang oleh seorang master astronomi.
Bahkan dia menyebut sikap Muhammadiyah tersebut sebagai tindakan nan mengedepankan ego organisasi sehingga berpotensi memecah belah ukhuwah Islam.
Ketua Divisi Fatwa dan Pengembangan Putusan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ruslan Fariadi menanggapi tuduhan di atas.
Menurutnya, tanpa disadari pernyataan di atas justru lebih potensial bisa memprovokasi keselarasan umat Islam khususnya di Indonesia.
Lebih dari itu, memaksakan kriteria MABIMS sebagai metode penentuan awal bulan justru bakal semakin susah mewujudkan persatuan Islam.
Sebab alih-alih mau merealisasikan ukhuwah Islamiyah, dengan meningkatkan kretiria ketinggian bulansabit 2 derajat menjadi 4 derajat saja telah semakin membuka perbedaan nan semakin lebar. Padahal kriteria 2 derajat sudah digunakan bertahun-tahun lamanya.
“Teringat betul ketika Kemenag tetap menggunakan ketinggian 2 derajat, pada saat itu cuaca sangat mendung nan secara logika sehat tidak mungkin ada nan bisa memandang bulansabit dalam ketinggian 2 derajat. Namun, lantaran berasas hisab bahwa ketinggian bulansabit mencapai 2 derajat, seakan-akan dipaksakan kudu ada nan melaporkan memandang hilal,” terang Ruslan seperti bandungmu.com kutip dari laman resmi Muhammadiyah, Senin 20 Maret 2023.
Kini ketika Kemenag mempersyaratkan ketinggian bulansabit 4 derajat, sekalipun sekelompok masyarakat melaporkan bahwa mereka telah memandang bulansabit dalam ketinggian 2-3 derajat dan mereka berani disumpah sekalipun, kesaksian mereka tetap ditolak lantaran belum mencapai ketinggian 4 derajat.
Berbeda jauh dengan pada era Rasulullah SAW ketika seorang Badui (rakyat jelata) memberikan kesaksian telah memandang bulansabit dan mau disumpah, kesaksian sang Badui pun diterima.
Alasan Muhammadiyah menggunakan hisab
Ruslan menegaskan bahwa penggunaan wujudul bulansabit bukan berasas ego, melainkan berasas dalil agama, pengetahuan pengetahuan, dan teknologi.
Dalam dokumen-dokumen resmi Muhammadiyah sebagaimna juga sering disampaikan oleh Syamsul Anwar bahwa setidaknya ada tujuh argumen kenapa Muhammadiyah istikamah menggunakan hisab asasi wujudul hilal.
Pertama, semangat Al-Quran adalah menggunakan hisab. Hal ini sebagaimana tersirat dalam Al-Quran, “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS Ar-Rahman [55]: 5).
Ayat ini tidak sekedar menginformasikan bahwa mentari dan bulan beredar secara pasti (eksak). Namun, dorongan untuk menghitungnya lantaran memilik faedah nan sangat banyak, antara lain untuk mengetahui bilangan tahun dan kalkulasi waktu (QS Yunus [10] ayat: 5).
Kedua, Rasulullah SAW menggunakan rukyat lantaran itulah langkah nan memungkinkan untuk digunakan saat itu. Rasyid Ridha dan Mustafa Ahmad Az-Zarqa menjelaskan bahwa perintah melakukan rukyat adalah amrun ma’lulah (perintah nan mempunyai ilat alias causa hukum) sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya kami adalah umat nan ummi, kami tidak bisa (tidak terbiasa) menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian, kadang-kadang 29 hari dan kadang-kadang 30 hari” (HR Bukhari dan Muslim).
Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membikin kalender, apalagi almanak dunia hingga sekian puluh alias seratus tahun nan bakal datang. Rukyat tidak dapat dijadikan sarana untuk menentukan penanggalan jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1.
Kalau dalam konteks Indonesia menyebabkan masyarakat di wilayah timur bingung untuk mengakhiri rangkaian ibadah Ramadhannya termasuk shalat tarawih lantaran di daerahnya telah masuk waktu isya, sedangkan di Jakarta tetap sore dan menunggu sidang itsbat nan sejatinya tidak diperlukan.
Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara dunia (Kalender Islam Internasional). Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan kamariah.
Hal ini lantaran rukyat pada visibilitas pertama tidak mengkover seluruh muka bumi. Pada hari nan sama ada muka bumi nan dapat merukyat, tetapi ada muka bumi lain nan tidak dapat merukyat.
Kelima, jangkauan rukyat terbatas, hasilnya rukyat bentuk tidak dapat menyatukan awal bulan kamariah di seluruh dunia. Pada sisi lain pengetahuan astronomi telah mengalami kemajuan pesat dan dapat menjadi solusi nan dapat dipertanggungjawabkan, baik secara kepercayaan maupun saintifik.
Keenam, pada masa Nabi SAW rukyat tidak problematik lantaran terbatasnya wilayah umat Islam pada masa Nabi SAW, tidak seperti saat ini nan telah mendunia.
Ketujuh, rukyat menimbulkan masalah penyelenggaraan puasa Arafah lantaran di Makkah belum terjadi rukyat, sedangkan di area sebelah barat sudah terukyat, demikian pula sebaliknya.
Oleh lantaran itu, bisa terjadi area lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan kamariah. Akibatnya area ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah lantaran wukuf di Arafah jatuh berbarengan dengan hari Idul Adha.***