
Sc: haibunda
Oleh: Fuad Zein*
Imunisasi adalah suatu tindakan untuk memberikan perlindungan (kekebalan tubuh) di dalam tubuh bayi dan anak. Tujuan akhir imunisasi adalah mengeradiksi (melenyapkan dari muka bumi) penyakit. Berdasarkan teori antibodi, ketika barang asing masuk seperti virus dan kuman ke dalam tubuh manusia, maka tubuh bakal menandai dan merekamnya sebagai suatu barang asing.
Kemudian tubuh bakal membikin perlawanan terhadap barang asing tersebut dengan membentuk yangg namanya antibodi terhadap barang asing tersebut. Antibodi yangg dibentuk berkarakter spesifik yangg bakal berfaedah pada saat tubuh kembali terekspos dengan barang asing tersebut. Tubuh manusia dilengkapi dengan antibodi untuk mengatasi serangan penyakit, tetapi kadar tiap orang berbeda-beda. Makanya, imunisasi ditujukan untuk meningkatkan kekebalan seseorang lewat vaksin.
Pemberian vaksin dilakukan dalam rangka untuk memproduksi sistem imun (kekebalan tubuh) seseorang terhadap suatu penyakit tertentu, berfaedah untuk mencegah penyakit berat, kecacatan. Memang ada penolakan sebagian masyarakat terhadap imunisasi, baik lantaran pemahaman keagamaan bahwa praktik imunisasi dianggap mendahului takdir maupun lantaran vaksin yangg digunakan diragukan kehalalan- nya.
Sebagai landasan normatif terhadap pencegahan dan pengobatan penyakit, bahwa pencegahan secara awal terhadap terjangkitnya suatu penyakit, seperti dengan imunisasi polio, campak, dan juga DPT serta BCG, adalah cermin perintah Allah agar tidak meninggalkan family yangg lemah (An-Nisa’ (4): 9).
Islam mengutamakan aspek pencegahan dalam beragam bagian kehidupan. Sebagai contoh dalam menghadapi kemungkinan timbulnya penyakit menular seksual, Islam dengan tegas melarang umatnya untuk mendekati zina. Dalam surat al-Isra (17): 32 yangg artinya: “Janganlah Anda mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan biadab dan jalan yangg buruk.”
Coba perhatikan, bukan larangan bercabul tapi larangan untuk mendekati zina. Suatu aspek preventif yangg luar biasa lantaran jauh lebih mudah menghindari mendekati zina daripada menghindari berzina. Panduan terhadap pencegahan penyakit dalam al-Quran maupun al-Hadis (petunjuk Nabi saw) dapat dilihat pada beberapa ayat dan sabda berikut: “Dan persiapkanlah kekuatan semaksimal mungkin dalam menghadapi musuhmusuhmu…”
Dalam sebuah sabda shahih (sesuai syarat al-BukhariMuslim) yangg diriwayatkan oleh al-Hakim dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah saw berpesan : “Ightanim khamsan qabla khams” (Manfaatkanlah oleh kalian lima perkara sebelum datangnya lima perkara yangg lainnya), dan di antara yangg lima perkara itu adalah: “Sihhataka qabla saqamika ” Masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu.
Apabila terjadi pandemi di suatu tempat, maka masyarakat setempat dilarang meninggalkan daerahnya dan orang luar dilarang berjamu sampai pandemi berlalu. Hadis riwayat Usamah bin Zaid ra., dia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sampar itu siksa yangg dikirimkan kepada Bani Israel alias orang-orang yangg hidup sebelum kalian. Apabila kalian mendengar adanya sampar itu di suatu daerah, maka janganlah kalian datang ke sana. Dan jika sampar itu berjangkit di suatu daerah, sedangkan kalian berada di sana, maka janganlah kalian keluar untuk melarikan diri darinya.“ (HR. al-Bukhari).
Inilah konsep isolasi wilayah pandemi yangg sudah diajarkan oleh Nabi saw sejak dahulu. “Barang siapa yangg makan pagi dengan tujuh butir kurma ‘Ajwah, dia tidak bakal dibahayakan oleh racun dan sihir pada hari itu.” (Hadits diriwayatkan dari Saad bin Abi Waqqas, HR. al-Bukhari)
Dari beberapa ayat al-Quran dan Hadis tersebut di atas, dapat dipahami bahwa Islam sangat menganjurkan aspek pencegahan terhadap penyakit. Karena biaya yangg dikeluarkan untuk aspek pencegahan bakal jauh lebih murah dibandingkan dengan pengobatan penyakit. Hal ini telah dibuktikan kebenarannya oleh pengetahuan kedokteran modern.
Islam memberi kebebasan dalam perihal teknik pencegahan sesuai dengan perkembangan teknologi yangg ada saat itu. Islam tidak pernah membatasi kemajuan teknologi, namun hanya memberi batas alias rambu-rambu yangg tidak boleh dilanggar. Seperti larangan berobat dengan yangg haram, larangan berobat ke dukun alias mahir sihir namun mengenai hal-hal yangg berkarakter teknis sepenuhnya diserahkan kepada perkembangan pengetahuan sains sesuai perkembangan zamannya. Dengan prinsip ini tidak heran bahwa para intelektual muslim pernah mencapai puncak kejayaannya dalam perihal sains tidak berapa lama setelah Nabi saw wafat.
Apabila ditanyakan adakah dalil dari al-Quran alias Hadis Nabi yangg spesifik menyebut perlunya vaksinasi? Jawabannya tentu tidak ada. Namun tidak adanya dalil qauliyah bukan berfaedah vaksinasi bertentangan dengan aliran Nabi saw. Hal ini adalah lantaran vaksinasi termasuk ranah kauniyah. Ranah pengetahuan pengetahuan modern yangg diperoleh berasas pencarian oleh manusia. Berdasarkan penelitian yangg tekun dan seksama. Oleh lantaran itu, master mengenai vaksinasi tentu saja adalah para master dan peneliti di bagian vaksinologi, bukan wartawan, sarjana hukum, mahir statistik, alias yangg lainnya.
Dasar hukum
1. Al-Quran
وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
“… dan Barangsiapa yangg memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (al-Maidah [5]:32)
Baca Juga: Khitan Perempuan: Tradisi alias Syar’i?
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“…dan janganlah Anda menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,” (al-Baqarah [2]: 195)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai sekalian manusia, makanlah yangg legal lagi baik dari apa yangg terdapat di bumi, dan janganlah Anda mengikuti langkah-langkah syaitan; lantaran Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yangg nyata bagimu.” (al-Baqarah [2]: 168)
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
“dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yangg seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yangg lemah, yangg mereka cemas terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh karena itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yangg benar.” (AnNisa’ [4]: 9)
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yangg (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (al-Baqarah [2]: 173).
2. Al-Hadis
“Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) dari Nabi saw beliau bersabda: Sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit selain menurunkan (pula) obatnya.” (HR. Al-Bukhari).
Pendapat Muhammad al-Khatib asy-Syarbaini dalam kitab al-Mughni al-Muhtaj yangg menjelaskan barang najis alias yangg diharamkan untuk obat ketika belum ada barang suci yangg dapat menggantikannya. “berobat dengan barang najis adalah boleh ketika belum ada barang suci yangg dapat menggantikannya”
“… Adapun perintah Nabi saw kepada suku Uraniyyin untuk meminum air kencing onta, itu untuk kepentingan berobat, maka ini dibolehkan sekalipun najis, selain khamr”.
Berdasarkan Hadis: Thariq bin Suwaid al-Ju’fi bertanya kepada Nabi saw. tentang khamr, maka Nabi melarangnya untuk membikin khamer. Kemudian dia berkata:”sesungguhnya saya membuatnya untuk obat”, Nabi bersabda: sesungguhnya khamer itu bukan obat tetapi penyakit. (HR. Muslim).
Beberapa ayat al-Qur’an dan sabda Nabi Muhammad saw yangg dapat dijadikan sandaran untuk menghukumi masalah vaksin polio ini adalah sebagai berikut: “..janganlah Anda menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (Q.S. al-Baqarah [2]: 195).
“dari Jabir [diriwayatkan], dari Rasulullah saw, bahwasanya beliau bersabda: Setiap penyakit ada obatnya, maka penyakit telah dikenai obat, semoga sembuh dengan izin Allah.” [HR. Muslim, Ahmad dan an-Nasai lafal dari Muslim]
Artinya: “Dari Abu Darda’ [diriwayatkan], dia berkata: Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat. dan menjadikan bagi setiap penyakit bakal obatnya. Maka hendaklah Anda berobat, tetapi janganlah Anda berobat dengan sesuatu yangg haram.” [HR. Abu Dawud]
Analisis Hukum
Mencermati dalil-dalil di atas, dapat diambil pengertian bahwa manusia kudu senantiasa menjaga diri agar tidak terkena penyakit yangg bisa merusak tubuhnya, dan sudah semestinya berobat jika menderita sakit, sepanjang tidak berobat dengan sesuatu yangg haram.
Dalam kasus polio, penyakit ini cukup rawan bagi manusia. Di sisi lain, vaksin yangg merupakan sarana untuk menghindarkan diri dari penyakit yangg rawan ini, mengandung unsur babi, – yangg jelas haram dimakan dagingnya, – meskipun bukan merupakan bahan baku, melainkan sekedar perangkat (perantara) untuk memisah sel.
Dalam kajian hukum, menghindarkan diri dari penyakit polio merupakan hajah (kebutuhan), meskipun kudu menggunakan vaksin yangg memanfaatkan enzim tripsin dari babi. Hal ini sesuai dengan norma fiqhiyah yangg berbunyi:
Artinya: “Kebutuhan itu menduduki tempat darurat.”
Demikian pula, babi adalah mafsadah, polio juga mafsadah. Menghadapi dua perihal yangg sama-sama mafsadah ini, kudu dipertimbangkan mana yangg lebih besar madlaratnya dengan memilih yangg lebih ringan madlaratnya. Oleh lantaran itu, dalam rangka membentengi penyakit polio dibolehkan menggunakan vaksin tersebut. Hal ini sesuai dengan kaidah:
Artinya: “Apabila bertentangan dua mafsadah, maka perhatikan mana yangg lebih besar madlaratnya dengan dikerjakan yangg lebih ringan mafsadahnya.”
Sebagai kesimpulan, dapatlah dimengerti bahwa vaksinasi polio yangg memanfaatkan enzim tripsin dari babi hukumnya adalah mubah alias boleh, sepanjang belum ditemukan vaksin lain yangg bebas dari enzim itu. Sehubungan dengan itu, kami menganjurkan kepada pihakpihak yangg berkuasa dan berkompeten agar melakukan penelitian-penelitian mengenai dengan penggunaan enzim dari hewan selain babi yangg tidak diharamkan memakannya. Sehingga suatu saat kelak dapat ditemukan vaksin yangg betul-betul bebas dari barang-barang yangg norma asalnya adalah haram.
*Ketua Divisi Fatwa dan Pengembangan Tuntunan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
English (US) ·
Indonesian (ID) ·