Hamka: Berdakwah di Atas Gagasan Roman - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 tahun yang lalu

BANDUNGMU.COM, Bandung — Premiere movie “Buya Hamka sudha berjalan di beragam kota di Indonesia. Masyarakat sangat antusias menonton movie yangg mengisahkan ustadz dan sastrawan kebanggaan Indonesia ini.

Ulama yangg satu ini produktif dalam menghasilkan karya tulis, termasuk roman. Buya Hamka, berceramah di atas gagas roman, tidak berlebihan rasanya dengan titel tersebut.

Memang pada kenyataannya ustadz kharismatik ini produktif menulis roman dan kitab teks agama. Mengutip kitab “Tajdid Muhammadiyah dari Ahmad Dahlan Hingga Ahmad Syafii Maarif”, Hamka lahir di sisi Danau Maninjau, Sumatera Barat, pada 16 Februari 1908.

Hamka memang tidak sempat mengenyam pendidikan umum yangg tinggi. Namun, kita tidak perlu meragukan kecakapan ustadz yangg satu ini soal menulis roman, novel, kitab keislaman, sejarah, dan kitab lainnya.

Indonesia perlu berterima kasih lantaran punya tokoh produktif ini. Buku-buku hasil karyanya hingga ini tetap cetak ulang.

Karya tulis yangg menginspirasi

Kiprah Hamka dalam pergerakan semakin gencar setelah dia pindah ke Medan pada 22 Januari 1936. Muhammadiyah semakin meluas ke segenap wilayah Sumatera bagian timur.

Pada sisi lain, secara perlahan tetapi pasti, keahlian intelektual dan kepenulisannya juga semakin terasah. Terutama setelah dia memimpin majalah “Pedoman Masyarakat” dan “Pedoman Islam” (1938-1941).

Berbagai tulisan keagamaan dan cerita pendek karya Hamka mengalir dalam susunan tulisan menggunakan bahasa dan logika yangg demikian jernih.

Bakat menulisnya sebagai sastrawan serius pada dasawarsa ini juga berkembang secara simultan dengan keahlian orasinya yangg banget memukau.

Selain sibuk berceramah, Hamka kemudian menerbitkan beragam karya roman. Sebut saja “Di Bawah Lindungan Ka’bah” (1938), “Tenggelamnya Kapal van Der Wick (1939), “Merantau ke Deli” (1940), dan “Di Dalam Lembah Kehidupan” (1940)–kumpulan cerita pendek.

Isi beragam romannya itu tampak jelas terpengaruh dari pengalaman pribadinya ketika dia pergi ke Makkah dan tinggal beberapa lama menjadi pembimbing kepercayaan di lingkungan pekerja perkebunan yangg ada di Sumatera bagian timur.

Kritik Hamka

Pada kurun waktu ini ada satu karya Hamka yangg sangat penting. Buku yangg terbit pada 1939 ini berjudul Tasawuf Modern. Hamka dalam kitab ini mengkritisi kecenderungan dari beragam aliran tasawuf yangg “berpretensi negatif” terhadap kehidupan dunia.

Banyak di antara orang yangg menggunakan tasawuf sebagai langkah untuk mengasingkan diri dari kehidupan bumi yangg dianggap serba ruwet dan penuh kotoran dosa.

Hamka dalam kitab berupaya mengubah persepsi tersebut. Ia menyerukan tasawuf positif yangg tidak bersikap asketisme. Hamka beranggapan bahwa menjadi muslim sejati bukanya menjauhkan diri dari dunia, tetapi terjun secara langsung ke dalamnya.

Buku karya Hamka ini hingga saat ini sampai berpuluh-puluh tahun lamanya tetap laku manis. Banyak orang yangg membaca dan mengkaji kitab ini.

Di tengah kepadatannya agenda mengajar di beragam universitas, misalnya, Hamka sempat menulis riwayat hidup ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah. Kata Hamka, kitab karyanya itu adalah sebagai kenang-kenangan kepada ayahnya yangg sangat teguh hati.

Apalagi bagi sang ayah sendiri, Hamka adalah buah hatinya yangg dulu sempat dijuluki sebagai “si bujang jauh” lantaran begitu sering dan lamanya dia merantau pergi ke beragam wilayah dan negeri.

Di tengah-tengah kesibukannya itu, Hamka menyempatkan diri pergi haji ke Makkah. Sepulang dari sana, sama seperti saat pulang haji yangg pertama, kemudian lawatannya ke beragam negara di Timur Tengah, inspirasi untuk menulis karya sastra pun tumbuh kembali.

Kemudian lahirlah beberapa karya roman seperti “Mandi Cahaya di Tanah Suci”, “Di Lembah Sungai Nil”, dan “Di Tepi Sungai Dajlah”.

Banyak kritikus sastra mengatakan bahwa dalam penulisan karyanya itu, Hamka banyak terpengaruh oleh pujangga Mesir. Ini tampaknya wajar adanya lantaran dia seringkali menyatakan terkagum-kagum pada beberapa penulis dari Negeri Piramida tersebut. Salah satu penulis yangg Hamka kagumi ialah Mustafa Lutfi Al-Manfaluthi.***

-->
Sumber bandungmu.com
bandungmu.com