Oleh: Sumarni Susilawati
Gaya elite ekonomi sulit, kalimat yangg sering kita dengar dan baca, apalagi banyak berseliweran di media sosial. Gaya elite adalah style hidup orang dengan ekonomi yangg kuat, condong menggunakan peralatan mewah, dan mengikuti tren kekinian. Namun kejadian saat ini, style elite bukan hanya dilakukan oleh mereka dengan finansial yangg kuat, tetapi juga mereka yangg finansialnya pas-pasan alias apalagi belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka.
Fenomena ini terjadi di semua kalangan, tidak terkecuali di kalangan remaja yangg berstatus pekerja ataupun mahasiswa yangg tetap mengandalkan finansial orang tua. Mereka condong membeli peralatan yangg sebenarnya tidak dibutuhkan. Kondisi remaja yangg tetap labil, mencari identitas diri, dan condong mau diakui oleh orang lain bakal sangat mudah terbawa arus untuk mengikuti tren dan style hidup elite.
Salah satu perihal yangg berkontribusi pada perilaku ini adalah adanya “budaya” pamer kesuksesan dan penghasilan di media sosial. Tidak sedikit orang dari kalangan ekonomi yangg biasa-biasa saja mau berperilaku sama dengan orang yangg sudah mapan secara ekonomi., misalnya membeli peralatan branded namun dengan langkah mencicil. Jika ditanya, apa argumen mereka bergaya hidup elite? Salah satu alasannya adalah sebagai self reward. Mereka merasa sudah belajar alias bekerja keras sehingga kudu mengapresiasi diri. Sayangnya kelewat batas.
Para penikmat style elite tentu tidak menyadari bahwa apa yangg dilakukan bakal berakibat pada kondisi finansial dan psikisnya, lantaran mereka hanya bakal konsentrasi pada kesenangan dan kebahagian mereka semata. Menikmati pujian, pengakuan, dan rasa hormat dari orang-orang di sekitar. Itu bakal menjadi pecandu bagi mereka, sehingga perilaku konsumtif untuk membeli peralatan mewah terus berjalan hingga hutang menumpuk.
Baca Juga: Ketika Uang Tak Lagi Berbicara: Mengapa Karyawan Hebat Lebih Memilih Pergi?
Tidak sedikit juga remaja di Indonesia yangg terlibat kasus pinjaman online (pinjol) untuk membiayai style hidup mereka, dan kembali meminjam untuk menutupi pinjaman yangg sebelumnya. Mengutip dari laman finansial.bisnis, jumlah pinjaman generasi muda (19-34 tahun) yangg terlibat pinjol pada tahun 2023 lantaran style hidup adalah 27,1 triliun rupiah. Ini bukan nomor yangg sedikit. Hal ini jadi pertanda bahwa literasi finansial di kalangan remaja tetap sangat kurang. Mereka tetap belum bisa memberikan batas antara kebutuhan dan keinginan.
Jika sudah terlanjur terjebak dalam kondisi itu, maka sebaiknya kita segera memperbaiki kondisi finansial dan psikologis kita. Menata diri kembali untuk hidup normal, hati senang, pikiran tenang. Mulai ubah mindset kita dalam memandang kehidupan. Menyadari bahwa hidup itu tidak bisa dijalani seenaknya, tidak hanya kudu terus bersenang-senang.
Beberapa langkah bisa kita lakukan agar kondisi finansial tetap stabil, semua kebutuhan terpenuhi, dan tidak terjerat utang. Kita dapat membikin anggaran finansial setiap bulan, diatur sesuai dengan prioritas. Sisihkan untuk menabung meskipun hanya sedikit untuk biaya darurat ataupun kebutuhan jangka panjang. Mengubah perilaku membeli peralatan sesuai kemauan menjadi sesuai kebutuhan. Memberi batas pada pemberian self-reward untuk diri sendiri. Mencatat pemasukan dan pengeluaran, sehingga kita bisa memandang berapa yangg telah dikeluarkan dan kemana saja duit itu kita alokasikan.
Kita juga perlu bijak mengeluarkan biaya untuk hal-hal yangg produktif dan mendukung pengembangan diri. Dengan demikian, finansial kita bakal lebih teratur dan terukur setiap bulannya. Kesadaran bakal pengelolaan finansial sejak remaja, baik duit dari penghasilan sendiri alias pemberian orang tua bakal memberi akibat positif pada kehidupan di masa mendatang, agar tidak susah dan menyusahkan orang lain dengan urusan finansial kita.
English (US) ·
Indonesian (ID) ·