Para santri menyambut dan menyalami ustad satu persatu. (Ilustrasi dibuat menggunakan SORA)
Oleh: Achmad Fauzi Nasyiruddin
MAKLUMAT — Dunia pesantren kembali gempar. Belum kering air mata atas tragedi robohnya Ponpes Al-Khoziny di Sidoarjo yangg menyita perhatian dunia, sekarang santri-santri kembali merasakan duka. Namun, duka kali ini berbeda dengan duka sebelumnya. Jika sebelumnya merupakan sebuah bencana, kali ini datang dari tuduhan biadab yangg dilakukan oleh media.
Penulis terkenang dalam satu jenis Catatan Pinggir, Goenawan Mohamad pernah menulis, “Yang sunyi sering kali lebih jujur dari yangg gaduh.” Kalimat itu, hari ini, kembali terasa relevan ketika televisi—yang dulu kita percaya sebagai jendela pengetahuan—berubah menjadi panggung intermezo yangg menghamba adsense dan pengeras bunyi yangg doyan memotong konteks dan mengoyak kesunyian tempat pengetahuan dipelihara; dalam tulisan ini, sasarannya adalah pesantren.
Trans7, dalam konten “Xpose Uncensored” bertema pondok pesantren yangg tayang pada 13 Oktober 2025, pada slot waktu 17.15 WIB, menampilkan potongan realitas tentang santri yangg melangkah menunduk, jongkok, mencium tangan kiai, apalagi memberi amplop. Gambar-gambar itu ditampilkan dengan disertai bunyi wanita yangg seolah-olah hendak mengatakan: “Lihatlah, inilah feodalisme baru yangg tumbuh di kembali tembok pesantren.”
Stasiun televisi lupa bakal satu hal: bahwa etika bukanlah tunduk kepada manusia, melainkan langkah manusia menundukkan diri di hadapan ilmu. Dalam Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim, Imam al-Nawawi menjelaskan, “Al-adab qablal ‘ilm,” yangg berfaedah etika didahulukan sebelum ilmu.
Ia bukanlah ritual kosong, tapi langkah menjaga agar pengetahuan tidak kehilangan cahaya. Senada dengan itu, dalam pandangan yangg lebih ekstrem, Sayyidina Ali berkata, “Ana ‘abdun man ‘allamanii harfan wahidan,” yangg secara leksikal berarti “Aku adalah hamba/budak kepada orang yangg telah mengajariku meski hanya satu huruf.”
Maka ketika seorang santri melangkah menunduk di hadapan kiai, dia sedang menunduk di hadapan ilmu, bukan pada daging dan tulang. Apa yangg di mata media tampak sebagai kepatuhan membuta, di mata santri adalah corak kesadaran bakal jarak antara siswa dan guru, antara yangg mencari dengan yangg telah menemukan.
Liputan itu kandas membaca bahasa simbolik bumi pesantren. Ia mengira sampulsurat adalah sogokan, padahal itu infak mini untuk pembimbing yangg tak pernah menetapkan tarif atas ilmunya.
Sang Hujjatul Islam namalain Imam Al-Ghazali dalam karya fenomenalnya, Ihya’ ‘Ulum al-Din, menerangkan, “Barang siapa memberi bingkisan kepada gurunya, maka itu tanda syukur kepada ilmu.” Bahkan, dalam kitab-kitab level Ibtida’iyah, seperti ‘Alala, dengan majas metonimia menginstruksikan seorang siswa untuk memberikan reward sebanyak seribu dirham terhadap gurunya yangg mengajarkan satu huruf.
Miskonsepsi Pesantren
Pesantren hidup dalam ritme yangg tak bisa dipahami oleh logika rating dan sensasi. Ia tumbuh di antara azan subuh dan angan malam, di ruang-ruang sederhana tempat kitab kuning dibaca dengan pelan dan tekun. Di sana, orang belajar bukan untuk sigap pandai, tapi agar pelan-pelan menjadi bijak. Di sana, pengetahuan bukan komoditas yangg bisa dijual dengan tayangan berdurasi dua menit.
Trans7, seperti kebanyakan media hari ini, tampak terburu-buru menafsir. Ia lupa bahwa setiap realitas sosial mempunyai “logika batin” yangg tak bisa dihakimi dengan nilai-nilai luar. Clifford Geertz dalam The Religion of Java menulis, “To understand Javanese piety, one must listen to its silence.” Tapi televisi, dengan segala kebisingannya, justru menutup ruang itu—menolak mendengar.
Bukan berfaedah pesantren tak boleh dikritik. Kritik adalah bagian dari cinta. Tapi kritik yangg beradab menuntut riset, empati, dan keberanian untuk memahami sebelum menilai. Liputan yangg lahir tanpa riset adalah seperti fatwa tanpa ilmu, seperti khutbah tanpa wudhu. Ia sah secara teknis, tapi batal secara moral.
Santri telah lama hidup dalam tudingan: kuno, kolot, anti-modern. Padahal di dalam sana ada Bahtsul Masa’il, sebuah tradisi pesantren yangg mendidik santri untuk mengkaji isu-isu aktual yangg ada di dalam tubuh kemasyarakatan secara sistematis dan kredibel.
Dan pesantren berada di dalam penjara framing media: feodal alias perbudakan. Tapi sejarah justru mencatat, pesantren merupakan sebuah pemasok yangg mengutuk dan melawan imperialisme dan kolonialisme dalam corak apa pun—sebutlah Perang Jawa alias dikenal Perang Diponegoro yangg menyebabkan Belanda mengalami kerugian besar (20 juta gulden dan 150 ribu tentara tewas)—atau Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy‘ari dengan Resolusi Jihad yangg bisa memantik semangat rakyat Indonesia hingga meletusnya pertempuran 10 November di Surabaya yangg menewaskan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby.
Selain itu, pesantren juga adalah embrio yangg melahirkan figur-figur pembentuk karakter bangsa, seperti Abdurrahman Wahid dan Emha Ainun Najib. Mereka adalah tokoh yangg tumbuh dan besar dari bangunan pendidikan pesantren. Mereka bisa memadukan etika dan kemerdekaan, tafsir dan teknologi, fikih dan budaya modernitas agar umat tak kehilangan tujuan hidup dan dapat dengan mudah memahami wahyu sesuai latar belakangnya masing-masing.
Maka, ketika media menakwil etika sebagai perbudakan dan pelestari kejumudan, sesungguhnya mereka melupakan sejarah sembari melancarkan tindakan perobohan salah satu fondasi paling luhur dari peradaban kita.
Marwah pesantren tidak dibangun dengan klaim suci, melainkan dengan kesetiaan sunyi. Ia seperti api mini di tengah badai: tak besar, tapi tetap menyala. Di sana, ustad mengajarkan makna kesabaran kepada generasi yangg hidup terburu-buru; makna keikhlasan kepada era yangg menimbang segalanya dengan uang.
Mungkin benar, seperti kata Rumi dalam Matsnawi, “Hati manusia adalah cermin Tuhan, tapi dia berdebu lantaran tergesa-gesa.” Liputan Trans7 dalam “Xpose Uncensored“, mungkin adalah salah satu debu itu, yangg menutupi cermin kebenaran lantaran tergesa-gesa mau viral karena memburu adsense.
Namun, siklus kehidupan pesantren dalam membentuk peradaban bakal tetap berjalan. Santri bakal tetap menunduk, mencium tangan, dan melipat angan di dada. Sebab mereka tahu, menunduk di hadapan pembimbing bukan berfaedah kehilangan nilai diri; justru di sanalah kehormatan dijaga. Dan mungkin, seperti yangg dikatakan Goenawan di catatan pinggirnya, “Yang tampak mini di mata dunia, bisa jadi adalah yangg paling besar di mata Tuhan.”
*) Penulis: Achmad Fauzi Nasyiruddin
Pegiat literasi asal Nganjuk, Jawa Timur
1 minggu yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·