Oleh: Neni Nur Hayati
Sejumlah 580 personil Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari delapan partai politik dan 152 personil Dewan Perwakilan Daerah (DPD) telah diambil sumpahnya pada tanggal 1 Oktober 2024. Peta politik di parlemen pada periode 2024-2029 yangg didominasi oleh koalisi partai pendukung pemerintah menjadi tantangan yangg tidak mudah untuk DPR terpilih.
Hal ini karena, menurut pengalaman sepuluh tahun terakhir, dengan adanya koalisi gendut pendukung pemerintah maka jarang sekali, apalagi nyaris tidak terdengar perbedaan pendapat antara pemerintah dan DPR, sekalipun kebijakan yangg dibuat menuai kontroversi lantaran dinilai
bertentangan dengan aspirasi rakyat. Pemerintah dan DPR melangkah beriringan tanpa peduli dengan kehendak rakyat, apalagi kegunaan kontrolnya sudah tidak lagi terlihat.
Harapan di awal era reformasi bahwa DPR bakal menjadi kekuatan politik penyeimbang bagi pemerintah tidak terwujud. nan terjadi justru adalah krisis kegunaan kontrol terhadap pemerintahan lantaran sikap DPR yangg lunak dan selalu menurut kepada pemerintah. Kekuatan DPR yangg lemah ini menjadi salah satu penyebab
kemunduran demokrasi.
Ilmuwan politik Universitas Oxford, Nancy Bermeo dalam tulisannya yangg berjudul “On Democratic Backsliding”, mengungkapkan bahwa salah satu indikasi kemunduran kerakyatan adalah peningkatan kekuasaan pelaksana (executive aggrandizement) secara terstruktur, sistematis, dan massif yangg melemahkan dan menghalang kekuatan oposisi.
Eksekutif yangg “membentuk” koalisi pendukung kuat mereka di badan legislatif bakal menghasilkan produk legislasi sesuai kepentingan pelaksana tanpa mendapat halangan yangg berarti, seperti mobil melaju di jalan tol. Pihak oposisi dalam kondisi yangg sangat lemah dan kerap kali menjadi minoritas. Produk undang-undang dengan sigap disahkan tanpa ada partisipasi dari publik. Andaipun secara prosedural ada masukan dan tanggapan publik, perihal itu berjalan sebatas wacana dan basa basi.
Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, UU Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Minerba, UU Watimpres, UU Keimigrasian, UU IKN, dan produk legislasi lainnya disahkan dengan pembahasan kilat dan nyaris tidak ada penolakan. DPR tidak berkekuatan di hadapan pemerintah. Bagi pemerintah dengan koalisinya, mengutamakan kepentingan penguasa dan kelompoknya menjadi lebih utama dibandingkan dengan mengutamakan kepentingan rakyat.
Padahal mereka semua bisa duduk sebagai lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif atas dasar kehendak rakyat (Nashir, 2020). Realitas kerakyatan hari ini menunjukkan bahwa keahlian parlemen semakin jauh dari angan rakyat. Berbagai kebijakan yangg merugikan rakyat menjadi gambaran bahwa kepentingan rakyat tidak lagi dianggap krusial. Suara rakyat yangg secara prosedural mereka peroleh melalui pemilu telah disalahgunakan untuk kepentingan mereka berbareng rezim yangg mereka dukung.
Atas nama rakyat, undang-undang dan norma “diakali” sebagai perangkat legitimasi kebijakan dan langkah penguasa dengan kepentingannya. Minimnya penggunaan kewenangan angket atas kebijakan yangg merugikan publik, seperti pembagian support sosial (bansos) menjelang pemungutan bunyi yangg berpotensi sebagai kecurangan dalam pemilu, menjadi indikasi sungguh tidak berdayanya posisi DPR. Wacana untuk menggulirkan kewenangan angket tersebut berlalu begitu saja akibat arogansi dan kebebalan politik penguasa.
Fungsi Legislatif
Dalam Pasal 69 dan 70 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, DPR mempunyai tiga kegunaan utama, ialah kegunaan legislasi, kegunaan anggaran, dan pengawasan. Hasil survei Kompas pada September 2024 memperlihatkan sebanyak 67,9 persen responden percaya bahwa DPR 2024-2029 bisa menjalankan tiga kegunaan lembaga legislatif untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Hal ini menjadi pertanda positif dan optimisme yangg datang di tengah masyarakat.
Baca Juga: PCA Kotagede Gelar Pelatihan Paralegal
Demokrasi yangg sehat meniscayakan adanya pertimbangan dan perbaikan. DPR 2024-2029 kudu kembali pada khittah kerakyatan sebagaimana diamanatkan oleh para pendiri bangsa. Pemusatan kekuasaan secara gradual di tangan pemerintah selama sepuluh tahun terakhir hanya menyengsarakan rakyat.
Pembajakan kerakyatan dan perusakan tatanan nilai serta moralitas ini kudu diakhiri. Rakyat tidak boleh menanggung tambahan penderitaan baru selama lima tahun yangg bakal datang. Suksesi pemerintahan saat ini menjadi momentum yangg baik untuk berbenah dan melakukan reformasi legislasi. Demokrasi sebagai sistem politik yangg mempunyai prinsip pengawasan dan keseimbangan (check and balance) kudu dijalankan (kembali) dan dijaga keberlangsungannya oleh DPR.
Merujuk info Komisi Pemilihan Umum (KPU), dari total 580 personil DPR RI terpilih, 307 orang alias setara dengan 54% adalah petahana dan sisanya personil DPR baru. Harapan kepada DPR baru sangatlah tinggi lantaran mereka dianggap tetap mempunyai idealisme serta mengusung politik pendapat di tengah kondisi publik yangg skeptis.
Harapan itu terutama mengenai dengan keterwakilan anak muda dan perempuan. Dua golongan ini diharapkan menjadi kekuatan yangg bisa mewarnai pemerintahan yangg baru. Keduanya diharapkan bisa mengambil sikap yangg berbeda jika keputusan partai bertentangan dengan kehendak rakyat. Namun, ada satu perihal krusial yangg kudu diwaspadai: jebakan pragmatisme.
Jebakan Pragmatisme
Jebakan pragmatisme DPR 2024- 2029 untuk menghamba pada kekuasaan menjadi tantangan yangg tidak bisa dihindari. Koalisi pendukung pemerintah yangg lebih gendut daripada sebelumnya sangat mungkin bakal membikin DPR sekadar sebagai stempel pemerintahan. Tak ada sikap kritis dan kontrol sebagai kekuatan penyeimbang.
Kondisi ini semakin mengkhawatirkan dengan adanya indikasi kroni-isme politik. Hasil Riset Litbang Kompas, memetakan ada 285 personil MPR periode 2024-2029 alias 38,9 persen yangg terindikasi mempunyai ikatan kekerabatan dengan pejabat publik alias tokoh politik nasional. Sebanyak 220 orang adalah personil DPR dan 65 orang sisanya merupakan personil DPD.
Komposisi tersebut mengalami kenaikan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Menurut studi dari Jalalzai dan Rincker (2018), terdapat untung politis bagi seseorang lantaran mempunyai relasi kekeluargaan dengan tokoh politik berpengaruh. Hal inilah yangg bakal membikin DPR susah mengelak dari intervensi dan dominasi
partai politik yangg lebih kuat terhadap fraksinya di DPR jika terdapat sikap yangg bertentangan dengan pilihan partai. Oleh karenanya, DPR kudu melakukan upaya perubahan, bisa melepaskan diri dari kekuasaan kepentingan politis pemerintah dan bisa berdikari dalam membikin kebijakan. DPR tidak boleh sekadar menyetujui pemerintah.
Kebijakan yangg diambil oleh DPR juga kudu betul-betul inklusif. DPR kudu mengarusutamakan kelompokkelompok rentan seperti wanita dan anak-anak untuk mewujudkan kerakyatan deliberatif, ialah sistem kerakyatan yangg inklusif, partisipatif, dan mengedepankan diskursus antara kreator kebijakan dengan masyarakat (Habermas, 1996). Habermas menekankan pentingnya kesetaraan dan kerakyatan untuk semua (democracy for all).
Keterwakilan Perempuan Menjadi Kunci
Dalam membangun kerakyatan inklusif, hadirnya keterwakilan wanita di parlemen menjadi perihal yangg sangat krusial meskipun keterwakilan wanita di parlemen tetap jauh panggang dari api. Jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, keterwakilan itu condong stagnan. Hasil pemilu 2024 hanya bisa menghadirkan 22,4 persen dari total 580 bangku DPR. Rendahnya persentase wanita di DPR bakal berakibat pada sulitnya menghadirkan kebijakan yangg inklusif dan ramah terhadap hak-hak perempuan.
Anggota parlemen wanita kudu bekerja keras untuk melakukan pembelaan rumor dan kebijakan yangg berpihak pada wanita lantaran parlemen tetap didominasi oleh laki-laki. Mereka menghadapi tantangan yangg cukup berat tatkala wanita kudu berjuang untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender, baik dalam lingkungan politik ataupun kebijakan publik.
Faktanya banyak wilayah pemilihan (dapil) yangg tidak menunjukkan keterwakilan wanita di parlemen. Hal ini cukup menyulitkan dalam memberikan edukasi politik tentang keberpihakan pada wanita sebagai bagian dari upaya memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender.
Keterwakilan wanita semakin jauh lantaran mengutamakan kepentingan wanita tidak lagi dianggap sebagai skala prioritas oleh para wakil rakyat. Kita tentu punya angan besar bahwa mereka yangg terpilih bisa mengemban amanah sebagai mandatoris rakyat yangg dengan penuh ketulusan memberikan pelayanan terbaik, melakukan kerja preventif dan mengatasi persoalan hilir yangg sedang terjadi. Semoga!
* Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Wakil Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah, Mahasiswi S3 Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
English (US) ·
Indonesian (ID) ·