Catatan Akhir Tahun 2024 Pemuda Muhammadiyah DIY: Hukum, HAM, dan Lingkungan - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 9 bulan yang lalu

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Tahun 2024 ini menyajikan banyak sekali kejadian bagi masyarakat Indonesia, terutama di bagian hukum, HAM, dan lingkungan, mulai dari Pemilu 2024, bentrok agraria dan lingkungan di beberapa daerah, kasus korupsi, polemik Pilkada, penembakan sadis oleh polisi, dan tetap banyak lagi.

Dalam Catatan Akhir Tahun 2024 yangg diselenggarakan Bidang Hukum, HAM, dan Advokasi Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Senin (30/12) di Gedung Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY, tiga narasumber yangg terdiri dari Trisno Raharjo (Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah), Indah Shanti (Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan), dan Muhammad Saleh (Peneliti Hukum CELIOS) memberikan banyak perihal yangg terjadi di 2024 ini.

Dimulai dari sambutan Novrizal Sayuti Selaku Wakil Ketua PWPM DIY bagian Hukum yangg menyampaikan refleksi singkat kondisi norma di Indonesia. Selanjutnya sambutan Iwan Setiawan selaku Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY yangg menyampaikan norma di Indonesia tetap tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Catatan dimulai dari Trisno Raharjo, yangg memaparkan Indeks Negara Hukum di Indonesia tetap stagnan menurut World Justice Project (WJP), ialah di kisaran 0,53 selama di bawah periode Presiden Joko Widodo. Selaras dengan ini, Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia juga rendah, dengan skor 34 dari 100, apalagi kalah dari Timor Leste yangg skornya 43.

Cerminan lemahnya norma di Indonesia, kata Trisno, juga ditunjukkan dengan digunakannya norma sebagai perangkat sandera di politik. Contohnya, kasus Harun Masiku yangg turut menahan beberapa elit partai politik. Serta Hasto Kristiyanto yangg menyimpan banyak bukti yangg diklaim bisa membikin “geger” negara Indonesia lantaran membuka skandal para pejabat.

“Seperti saling sandera-menyandera. Lalu, kapan masalah norma itu terselesaikan, jika tidak ada kesungguhan untuk mengatasi kasus norma yangg ada?” kata Trisno dengan prihatin.

Tahun 2024 juga menjadi ujian bagi kepolisian yangg mengalami masalah banyak sekali. Termasuk yangg menjadi sorotan adalah ketika salah satu polisi di Semarang menembak seorang siswa SMK berjulukan Gamma, pemerasan kepada Warga Negara Asing (WNA) di sebuah konser, dan beragam kekerasan polisi terhadap masyarakat sipil.

Juga korupsi pengadaan gas air mata mencapai triliunan serta kasus gas air mata yangg belum kelar seperti Tragedi Kanjuruhan Malang dan sengketa Pulau Rempang.

Proyek Strategis Nasional (PSN) juga menjadi sorotan, di mana dalam praktiknya abdi negara turut dilibatkan untuk mengusir penduduk yangg sudah lama tinggal di wilayah tersebut dengan kekerasan, seperti yangg ditunjukkan pada kasus Pulau Rempang dan PIK 2.

Kemudian, beragam upaya kriminalisasi juga ditujukan kepada para pejuang lingkungan, sebagaimana menurut info WALHI, ada 1.131 pejuang lingkungan mengalami kekerasan dan kriminalisasi.

Selain itu, beragam pembungkaman kritik juga turut dilakukan. Contohnya, gimana pameran seni pelukis Yos Suprapto di Galeri Nasional kudu dibatalkan hanya lantaran ada beberapa karyanya yangg menyindir salah satu jejak Presiden RI.

“Kita ini seperti negara hukum, tapi tatanan hukumnya tak cukup baik untuk hal-hal gimana penggunaan perangkat-perangkat dimungkinkan untuk melakukan upaya penegakan norma kita,” ujar Trisno.

Indah Shanti juga memberi rekomendasi mengenai kelamin dan lingkungan, mulai dari substansi norma yangg berkeadilan dan berkesetaraan gender.

Menurutnya, gimana sebuah produk norma itu berkeadilan dan berkesetaraan kelamin jika wanita tidak diberi ruang untuk mengambil keputusan mengenai lingkungan hidup. Meskipun ada Inpres Nomor 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan kelamin dalam pembangunan nasional, tetapi tetap belum cukup.

Baca Juga: Merawat Optimisme dan Kesadaran Hukum Anak Muda

“Karena banyak produk perundang-undangan yangg tidak pro terhadap kesetaraan dan keadilan gender, terutama wanita dan lingkungan hidup,” ucapnya.

Rekomendasi selanjutnya adalah penguatan pendidikan lingkungan hidup yangg berkesetaraan gender. Ini krusial lantaran bicara soal kenapa tidak ada keadilan kelamin bermulai dari keluarga. Ketika family menempatkan perempuan, laki-laki, dan anak-anak pada satu lingkup yangg adil, pada saat itu sebenarnya sudah memberikan pendidikan gender.

Sebab, tidak mungkin bakal ada wanita yangg jadi aktivis, dokter, guru, politisi, dan pekerjaan lainnya jika kemudian tidak didukung oleh lingkungan yangg genderist. Keluarga merupakan sentral yangg pertama untuk menjinakkan budaya patriarki, artinya memberikan porsi yangg sesungguhnya kepada wanita termasuk berkedudukan untuk lingkungan hidup.

“Sehingga di tahun 2025, ketika kita memperbaiki relasi antara wanita dan laki-laki, terhadap lingkungan hidup, menjadi satu langkah terdepan agar lingkungan hidup tetap lestari berbareng wanita dan laki-laki dalam satu bingkai yangg agamis,” kata Indah.

Muhammad Saleh memberikan catatannya dengan menjawab dua pertanyaan yangg disampaikan di awal materinya. Pertama, gimana kualitas norma negara kita hari ini, dia menjawab kualitas norma di Indonesia tidak berubah dan justru mengalami penurunan.

Dalam sebuah studi, Indonesia disebut beranjak dari negara kerakyatan menjadi non-demokrasi dan ada kecenderungan terjadi autocratic legalism, artinya pemimpin punya kewenangan absolut dalam pengambilan keputusan tanpa melibatkan bawahan. Dimana perbuatan-perbuatan autocratic ini dilegalkan dalam corak hukum.

Pertanyaan yangg kedua, variabel apa yangg paling banyak menentukan proses penegakan norma dan berjalannya norma di Indonesia. Ternyata, Indonesia tetap terlalu dominan di dalam sektor bisnis, khususnya upaya ekstraktif macam tambang dan sawit.

Hal ini dikarenakan masalah upaya ini menimbulkan banyak persoalan hukum, seperti ketimpangan, masalah lingkungan hidup, praktik politik dinasti, dan praktik politik yangg tidak akuntabel transparan.

Ini membikin Indonesia agak mirip dengan sebuah tesis yangg dikeluarkan Daron Acemoglu dan James A. Robinson berjudul “Why Nations Fail?” dimana intinya adalah kenapa sebuah negara bisa kandas andaikan tidak bisa mengelola lembaga ekonominya secara inklusif.

“Apabila lembaga ekonomi itu mengarah pada lembaga yangg sifatnya ekstraktif, maka ada kecenderungan negara itu gagal. Dan nampaknya beberapa tesis dari Acemoglu itu terlihat variabelnya di Indonesia, sehingga ada kecenderungan kita bakal mengarah pada negara yangg ‘gagal’,” ungkap Saleh. (Arief)-sa

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id