
Sc: Mapcarta
Oleh: Hajriyanto Y. Thohari*
Pada musim dingin yangg menggigit awal tahun 2024 ini saya berjamu ke Qalamun, sebuah kota mini yangg berjarak sekitar 90 km dari ibu kota Lebanon, Beirut, alias 5 km dari Kota Tripoli, di Lebanon Utara. Qalamun termasuk kota mini setingkat Baladiyah (dulu setingkat kawedanan) yangg berada di bibir pantai Laut Mediterania (Laut Tengah). Qalamun, nama lengkapnya Al-Qalamun (ditulis dalam bahasa Arab: القلمون (kadang ditulis El-Qalmoun, Al-Qalamun, El-Qalmoûn, Al-Qalamūn, dan alias El-Qalamoûn. Pada era dulu kala kota ini disebut Kalamos alias Kalomo, sedangkan pada masa Perang Salib kota mini dan tua ini dikenal sebagai Calmont alias Calamón.
Rasyid Ridha Lahir di Qalamun
Penduduk Al-Qalamoun kebanyakan Muslim (sunni), tetapi cukup banyak juga yangg berakidah Kristen. Beberapa tokoh Kristen yangg besar dan terkenal malah lahir di Al-Qalamun, seperti misalnya Santo Marina, seorang pastor (the Monk). Di Qalamun juga lahir Mustafa Agha Barbar, Gubernur Provinsi Tripoli dan Latakia pada masa kekhalifahan Ottoman.
Dan, jangan kaget, Syekh Mohammad Rasyid Ridho (1865-1935), penulis Tafsir Al-Manar, sekaligus seorang pembaharu Islam yangg meski belakangan tinggal dan meninggal di Mesir, dilahirkan dan dibesarkan di kota mini Qalamun ini. Ridha tertarik pindah ke Mesir barangkali lantaran pesona Syekh Mohammad Abduh (1849-1905) yangg luar biasa mengesankan itu.
Sebagai anak muda Lebanon yangg intelek dan aktivis pergerakan, Rasyid Ridha sangat terkesan dengan Abduh. Keduanya berjumpa di Beirut kemudian berkawan akrab. Abduh menetap di Beirut lantaran menjalani pembuangan yangg dijatuhkan penguasa Mesir kepadanya selama kurang lebih tiga separuh tahun.
Selama di Beirut, Abduh sangat aktif bukan hanya dalam pergerakan kepercayaan Islam, melainkan juga dalam pergerakan politik, sosial, dan budaya, termasuk di dalamnya aktivitas Nahda (Al-Nahda), ialah aktivitas kebangkitan Arab. Perlu dicatat bahwa Syekh Mohammad Abduh tinggal di Beirut setelah pulang dari London dan kota-kota besar Eropa lainnya di mana dia berjumpa dan berinteraksi secara intensif dan ekstensif dengan tokoh Pan Islamisme Sayyed Djamaluddin Al-Afghani (1839- 1897). Rasyid Ridha akhirnya menjadi sahabat sekaligus pengikut protagonis Syekh Mohammad Abduh, dan keduanya menjadi pelopor reformasi Islam.
Syekh Mohammad Rasyid Ridha memang juga dikenal sebagai penulis Tafsir Al-Manar yangg sangat terkenal itu. Perlu diketahui juga bahwa tafsir modernis ini awalnya merupakan kumpulan dari penggalan pemikiran yangg diutarakan oleh Syeikh Mohammad Abduh. Kemudian Ridha mengumpulkan, mengedit, dan menuliskannya kembali dalam bahasa yangg lebih ringkas dan lugas. Sebagai tafsir dengan pendekatan modern, tafsir yangg terdiri dari 12 jilid tersebut banyak mengaitkan penafsirannya dengan isu-isu kontemporer dan perihal inilah yangg membedakannya dari tafsir-tafsir al-Quran klasik.
Masjid Tua di Tepi Laut
Di Al-Qalamoun terdapat sebuah masjid tua yangg dikenal dengan nama Masjid Bahr (Masjid Laut). Jadi, seperti kota-kota di sepanjang bibir pantai Laut Mediterania dari Latakia di ujung Suriah sampai Tanjir di Maroko, Al-Qalamun juga mempunyai masjid tua di tepi laut yangg berjulukan Masjid Laut (Masjid Al-Bahr). Masjid ini terdiri atas dua aula besar: jika masjid di Jawa alias Indonesia mungkin semacam ruang inti di dalam dan ruang serambi. Masjid ini dibangun menggunakan batu hitam, seperti halnya masjid-masjid tua di Timur Tengah. Sisi atas tembok dihiasi cornice dan di atas masjid terdapat menara (mungkin baru dibangun belakangan).
Baca Juga: Rasyid Ridha dan PR yangg Tak Kunjung Usai
Masjid ini dibangun sekitar 800 tahun yangg lalu. Hal ini diketahui melalui lempengan nama tiga baris tertempel di tembok samping mimbar yangg tertulis nomor 527 H/1132 M. Ini sangat menarik, lantaran pada tahun-tahun itu Al-Qalamun dan Tripoli berada di bawah kekuasaan Tentara Salib. Lama setelah itu, masjid ini kemudian dipugar oleh Syekh Ali al-Baghdadi (wafat 1192 H/1778 M). Syekh Mohammad Rasyid Ridha, tokoh reformis Islam yangg sangat menonjol itu, siswa protagonis Abduh, dilahirkan di sebuah rumah yangg sekarang berdampingan dengan Masjid Al-Bahr, di Al-Qalamun ini.
Tidak jauh dari Masjid Al-Bahr, hanya beberapa ratus meter, ada sebuah sekolah teologi yangg dulunya adalah sebuah musala yangg berjulukan Ayn el-Jami’ (Jami’ Ayn). Seperti yangg beredar di kalangan penduduk kota, masjid tersebut dibangun pada masa Perang Salib. Umat Islam membangun musala tersebut di dekat sebuah sumber mata air, kemudian berkembang menjadi sebuah masjid yangg dinamakan Ayn elJami’. Mungkin lantaran masjid ini terlalu dekat dengan Masjid Laut, alias entah bagaimana, kemudian sebuah asosiasi kebaikan (charity) mengubahnya menjadi sebuah sekolah kepercayaan (diniyah, a theological school).
Masjid Batu yangg Wah!
Sebagai masjid yangg sangat tua, Masjid Al-Bahr telah melintasi sejarah, perubahan politik dari era ke zaman, tetapi tetap eksis, kuat, dan perkasa hingga sekarang. Hal ini karena, sebagaimana gereja, rumah, sinagoge, dan bangunan-bangunan tua lainnya di area Timur Tengah, umumnya dibuat dari batu sehingga sangat kuat dan berumur sangat panjang. Masjid-masjid di Beirut seperti Masjid Amir Mundzir, Masjid Umariy, Masjid Assaf, dan Masjid Al-Majidiyah adalah sederet “ Sebagai masjid yangg sangat tua, Masjid Al-Bahr telah melintasi sejarah, perubahan politik dari era ke zaman, tetapi tetap eksis, kuat, dan perkasa hingga sekarang. “ masjid tua serupa Al-Bahr. Rata-rata usianya adalah 800 tahun, apalagi ada yangg mendekati seribu tahun.
Selain terbuat dari batu, bangunanbangunan tua tersebut sangat kuat lantaran mempunyai ketebalan tembok yangg luar biasa, apalagi jika dibandingkan dengan tembok-tembok gedung di Indonesia. Tembok Masjid Al-Bahr yangg terbuat dari batu gilang saya kira tebalnya lebih dari satu meter. Ini tampak jelas manakala kita memperhatikan jendela, pintu, dan ventilasinya. Ruang teras jendelanya, lantaran begitu luas dan lebarnya, sampai-sampai dapat dijadikan sebagai ruang penyimpanan mushaf Al-Qur’an dan barang-barang lainnya.
Keistimewaan lainnya adalah, lantaran terbuat dari batu, ruangan dalam masjid terasa dingin dan sejuk saat musim panas (summer) dan menjadi hangat ketika musim dingin (winter). Lalu, meskipun tua dan arkais, alih-alih tampak kumuh dan kusam, interiornya sangat bersih, indah, dan terang benderang. Lantainya dilapisi dengan karpet yangg sangat lembut, tebal, empuk, dan terkesan mewah sekali. Akustikanya sangat baik dan berbobot premium: sound system-nya, seperti lazimnya masjid-masjid di Arab Levant lainnya, apalagi di Lebanon, selalu sangat sempurna, tidak kalah dari sound system Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah.
Saya kagum dengan sound system masjid-masjid tua di Lebanon, seperti Masjid Laut itu: selalu bersuara jernih, bening, terang dan jelas, clear, apalagi sampai bunyi serak-seraknya bunyi muadzin dan pemimpin salat terdengar dengan sangat baik. Apalagi referensi pemimpin salat yangg selalu seorang hafiz, fasih (maklum orang original Arab), jernih, bersuara bariton, dengan lagu alias irama unik Arab Syam! Sempurnalah sudah masjid-masjid tua di area tersebut. Hati mini saya berkata, “Nama boleh Masjid Laut, tetapi soal kemegahan bangunan, kemewahan interior, dan kebeningan sound system-nya, tak kalah dari ‘masjid-masjid darat’ di Indonesia. Allahu akbar!”
*Duta Besar LBBP Republik Indonesia di Beirut
English (US) ·
Indonesian (ID) ·