Banda Aceh, Suara ‘Aisyiyah – Ketua Lembaga Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Aceh, Musliadi M Tamin menyampaikan, tahun 2024 ini merupakan peringatan 20 tahun musibah gempa dan tsunami Aceh. MDMC adalah lembaga yangg bekerja mengkoordinasikan sumber daya Muhammadiyah dalam penanggulangan bencana.
“Kesadaran masyarakat tentang kebencanaan, terutama pemahaman tentang pemindahan berdikari tetap rendah. Selain itu juga belum terdapat akomodasi publik seperti escape building dan rambu-rambu penunjuk pemindahan musibah sudah banyak yangg tidak terawat,” ungkap Musliadi di sela-sela obrolan rutin MDMC tentang pentingnya pengurangan akibat bencana, Selasa (24/12/2024).
Dalam beberapa bulan ini, MDMC semakin gencar melaksanakan diskusi, seminar, sosialisasi dan simulasi musibah bagi masyarakat di Aceh. Hal tersebut, ungkapnya, sebagai corak kepedulian MDMC Aceh.
Menurut Musliadi, edukasi tentang manajemen kebencanaan merupakan perihal yangg wajib diberikan kepada masyarakat. Karena musibah tidak dapat diduga datangnya, yangg krusial adalah berupaya menyelamatkan diri masing masing.
“Penyelamatan diri juga kudu dengan ilmu. Misalnya gimana jika saat terjadi gempa kita berada dalam rumah? Apa yangg kudu kita lakukan? Apakah berlari ke luar alias mencari tempat berlindung? Hal seperti ini mungkin jika ditanyakan kepada masyarakat pasti jawabannya langsung lari keluar, padahal gempa sedang terjadi. Maka risikonya mungkin bakal terkena barang benda yangg jatuh menimpa dirinya sehingga bisa fatal,” imbuhnya.
Baca Juga: Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Hidrometeorologi: Belajar dari Valencia Bersiap di Lampung
Musliadi berambisi kepada pemerintah agar rutin melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pemahaman resiliensi bencana. Dari aktivitas kegiatan edukasi yangg pernah dilaksanakan MDMC, memang pengetahuan masyarakat tetap sangat kurang tentang pemindahan berdikari ini, oleh karenanya MDMC selalu membujuk semua stakeholder untuk bekerja-sama melakukan pendidikan kebencanaan ini bagi masyarakat.
Seharusnya, ungkap Musliadi, program yangg telah dirancang pemerintah mengenai resilensi musibah dapat diimplementasikan di masing-masing lokus. Misalnya program SPAB dapat diimplementasikan lingkungan sekolah, Destana dapat dijalankan di lingkungan masyarakat di desa, apalagi sampai ke organisasi terkecil seperti jamaah handal musibah yangg bisa diimplentasi di lingkungan rumah ibadah, sehingga pengurangan resiko musibah itu dapat diminimalisir.
Bahkan yangg lebih miris lagi, kata Musliadi, di lingkungan instansi pemerintah saja tetap sangat minim upaya mitigasi bencana, misalnya rambu-rambu evakuasi, sosialisasi kepada para pegawai tentang pemindahan mandiri, alias safety briefing, sehingga peserta aktivitas rapat dapat info tentang info pemindahan berdikari saat bencana.
Jika belajar dari negara Jepang tentang kebencanaan, mereka memberikan edukasi mitigasi musibah secara rutin melalui training evakuasi, simulasi bencana, dan program pendidikan di sekolah.
“Jadi kesadaran dan kesungguhan kita nampaknya perlu ditingkatkan, dengan demikian dapat mengurangi akibat dari akibat musibah yangg ditimbulkan,” tutup Musliadi. (Agusnaidi B/Sa)
English (US) ·
Indonesian (ID) ·