Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Ketua Lembaga Dakwah Komunitas PCM Bergas, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PDM Kab Semarang

Utang, dalam pandangan Islam, bukan hanya urusan nomor di atas kertas alias catatan di ponsel. Ia adalah amanah, janji, dan tanggung jawab moral antara dua insan. Banyak orang memandangnya ringan, namun dalam timbangan Allah, utang bisa menjadi penghalang antara seseorang dan ampunan-Nya, apalagi meski dia wafat dengan gelar syahid sekalipun.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Ruh seorang mukmin tergantung (tertahan) lantaran utangnya hingga utangnya itu dilunasi.” (HR. Tirmidzi, no. 1078)
Hadis ini memberi gambaran sungguh seriusnya urusan utang dalam pandangan syariat. Seseorang bisa jadi mahir ibadah, banyak kebaikan saleh, giat sedekah, tapi jika dia meninggalkan utang tanpa melunasinya, kebaikan itu bisa tertahan dan tidak sampai kepada Allah. Utang bukan hanya soal ekonomi, tapi soal keadilan, lantaran dalam utang terkandung kewenangan orang lain.


Utang sebagai Amanah dan Ujian Keimanan
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yangg beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian).” (QS. Al-Ma’idah: 1)
Ayat ini menjadi dasar bahwa setiap perjanjian, termasuk utang, adalah amanah yangg wajib ditunaikan. Orang yangg berutang berfaedah telah berjanji kepada Allah dan sesamanya. Jika janji itu diingkari, maka bukan hanya kepercayaan manusia yangg hancur, tapi juga nilai takwa di hadapan Allah.
Rasulullah ﷺ apalagi menolak menyolatkan jenazah seorang sahabat yangg tetap mempunyai utang dan belum dilunasi. Dalam sebuah riwayat disebutkan, ketika jenazah dihadapkan kepada beliau, beliau bertanya: “Apakah dia mempunyai utang?” Mereka menjawab: “Ya.” Beliau bertanya lagi: “Apakah dia meninggalkan kekayaan untuk melunasinya?” Mereka menjawab: “Tidak.” Maka Rasulullah bersabda, “Shalatkanlah kawan kalian ini.” (HR. Muslim)
Bayangkan, Rasulullah yangg penuh kasih pun menahan diri untuk tidak menyalatkan jenazah yangg belum melunasi utangnya. Ini bukan lantaran beliau marah, melainkan untuk mengingatkan umat bahwa utang adalah perihal serius yangg bakal diadili di hadapan Allah.
Dalam sabda lain, beliau ﷺ bersabda:
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ شَيْءٍ إِلَّا الدَّيْنَ
“Semua dosa orang yangg meninggal syahid bakal diampuni, selain utang.” (HR. Muslim, no. 1886)
Hadis ini mengguncang kesadaran kita. Seorang syahid yangg darahnya tumpah di medan jihad, yangg dalam pandangan manusia telah mencapai derajat tertinggi, tetap kudu menanggung dosa utang jika belum melunasinya. Artinya, utang bukan sekadar urusan bumi yangg bisa ditunda, melainkan beban alambaka yangg bisa menutup pintu surga.
Keadilan dan Kasih Sayang dalam Urusan Utang
Selain membebani urusan akhirat, utang yangg tak dibayar juga bisa merenggangkan tali silaturahmi. Hubungan baik bisa retak lantaran kepercayaan yangg dikhianati. Berapa banyak persahabatan yangg hancur, family yangg renggang, apalagi ukhuwah yangg terputus lantaran satu pihak mengingkari utangnya? Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak legal kekayaan seorang Muslim diambil oleh orang lain selain dengan kerelaan hatinya.” (HR. Ahmad, no. 20172)
Jika seseorang meminjam lampau tak beriktikad melunasi, maka dia sejatinya telah mengambil kekayaan orang lain tanpa kerelaan. Dalam pandangan agama, itu setara dengan mencuri. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Barang siapa mengambil kekayaan orang lain dengan niat untuk mengembalikannya, maka Allah bakal menolongnya untuk melunasinya. Tetapi peralatan siapa mengambilnya dengan niat untuk merusaknya (tidak membayar), maka Allah bakal membinasakannya.” (HR. Bukhari, no. 2387)
Betapa halusnya keadilan Allah. Utang bukan hanya urusan nominal, tapi niat di hati. Seseorang mungkin belum bisa membayar, namun jika dia sungguh-sungguh beriktikad melunasi, Allah bakal menolongnya. Sebaliknya, jika dia sengaja menunda dengan tipu daya, maka kehancuran bumi dan alambaka menantinya.
Utang juga bisa menutupi sinar kebaikan saleh seseorang. Seorang mahir ibadah bisa kehilangan keberkahan amalnya lantaran menunda tanggung jawabnya kepada manusia. Dalam hadis, Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa pada hari kiamat, setiap kewenangan bakal dikembalikan kepada pemiliknya, apalagi kucing pun bakal menuntut kucing lain yangg mencakar tanpa hak. Maka gimana mungkin manusia bisa lepas dari tuntutan utang yangg belum dibayar?
Sebagian ustadz menafsirkan bahwa kebaikan saleh orang yangg berutang bakal dipindahkan kepada pihak yangg memberi pinjaman hingga utang itu terbayar. Jika amalnya tak cukup, maka dosa orang yangg diutangi bakal dipindahkan kepadanya. Na’udzubillah, sungguh ruginya keadaan itu.
Di sisi lain, Islam juga memberikan tuntunan bagi orang yangg berpiutang agar bersikap sabar dan memberi kelonggaran. Allah berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang yangg berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah handal sampai dia lapang. Dan jika Anda menyedekahkan (sebagian alias seluruhnya), itu lebih baik bagimu, jika Anda mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280)
Ayat ini menunjukkan keelokan aliran Islam: keras terhadap kezaliman, tapi lembut terhadap kesulitan. Orang yangg berutang tidak boleh menipu, tapi orang yangg memberi pinjaman juga tidak boleh menekan. Ada ruang bagi kasih sayang, keadilan, dan kemanusiaan di antara keduanya.
Amanah yangg Menentukan Nasib Akhirat
Maka, marilah kita merenung. Utang bukan hanya urusan dunia, tapi ujian iman. Jangan sampai kita menghadap Allah dalam keadaan membawa status “pencuri” hanya lantaran menyepelekan tanggung jawab kepada sesama. Jika kita pernah berutang, segeralah berupaya melunasinya. Jika belum mampu, sampaikan dengan jujur dan minta kelonggaran.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ لَهُ، أَظَلَّهُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ
“Barang siapa memberi kelonggaran kepada orang yangg kesulitan alias menghapuskan sebagian utangnya, maka Allah bakal menaunginya di bawah naungan-Nya pada hari yangg tiada naungan selain naungan-Nya.” (HR. Muslim, no. 3006)
Begitulah keadilan dan kasih sayang Allah berpadu dalam satu ajaran. Utang bukanlah kutukan, tapi amanah. Ia bisa menjadi jalan menuju keberkahan, alias sebaliknya, menjadi penghalang menuju surga. Semoga setiap dari kita bisa menjaga amanah itu, menepati janji, dan menghadap Allah dengan dada yangg lapang, tanpa beban utang di bumi maupun di akhirat. (*)
4 hari yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·