Berbicara mengenai tragedi 1965 Gerakan 30 September (Gestapu) peristiwa terbunuhnya tujuh jenderal yangg diduga dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) memang tidak pernah habis-habisnya untuk dibahas.
Setidaknya ada dua perihal mengenai dengan itu, yaitu: pertama, sejarah yangg begitu pekatnya mengenai peristiwa itu. Sehingga menyulitkan beberapa sumber untuk membongkarnya. Kedua, adalah kisah kelam yangg menyisakan trauma yangg mendalam, baik bagi pihak yangg merasakannya alias yangg dituduh mengenai dengannya.
Membahas kisah kelam peristiwa 65 memang tidak bisa sehari untuk dapat memahaminya. Butuh beberapa tahun dan sumber-sumber untuk memaknainya. Hal itu bukan tanpa alasan, melainkan memang pertistiwa itu banyak menyisakan pertanyaan dan kebingunan mendalam bagi pihak-pihak yangg mau mengetahuinya.
Maka hadirnya kitab terbaru karya Soe Tjen Marching berjudul, “Yang Tak Kunjung Padam (Narasi Eksil Politik Indonesia di Jerman)”. Terbitan EA Books tahun 2023. Bisa memberikan sedikit info mengenai orang-orang yangg pernah merasakan akibat dari tragedi 65.
Buku karya Soe Tjen Marching ini terdiri dari 330 hlm, yangg terbagi dari tujuh bab yakni, 1). Eksil politik: kenapa memilih Jerman, 2). Mengejar eksil politik: asumsi, fitnah, dan terror, 3). Eksil politik wanita dan bunyi yangg terbungkam, 4). Arief Harsana: Soeharto tak bisa mengubah idealism saya, 5). Waruno Mahdi: Indonesia, bukan lagi tanah airku?, 6). Supardjo: calon jenderal jadi gelandangan, 7). Willy Wirantaprawira: kehilangan anak di Rusia.
Bab-bab ini terdiri dari beragam cerita tentang orang-orang yangg saat itu sedang belajar di negara luar, khususnya Eropa. Kisah-kisah yangg diceritakan dalam kitab ini mengindikasikan bahwa peristiwa 65 bukan saja menyisakan misteri hingga saat ini, melainkan mengkisahkan tentang trauma dan tragedi yangg dialami oleh mahasiswa Indonesia yangg sedang belajar di luar negeri.
Pengertian Eksil Politik
Usai pecah tragedi 65, mahasiswa ikatan dinas asal Indonesia yangg belajar di luar negeri mengalami kesulitan besar. Tidak saja hanya susah mengakses info ihwal perubahan politik di negaranya, namun juga kehilangan status kewarganegaraannya lantaran menolak sebuah rezim baru.
Hilangnya kebangsaan ini erat kaitannya dengan istilah eksil, dalam kitab ini, Soe Tjen menjelaskan bahwa menurut Edward Said dan Hannah Arendt eksil adalah mereka yangg kehilangan tanah air, terasing dan tak mempunyai tanah berpijak. Eksil terputus dari akar mereka, tanah mereka, dan sejarah mereka.
Theodor Adorno, yangg juga sempat menjadi eksil politik di era Nazi Jerman. Mengatakan bahwa eksil adalah kehidupan yangg termutilasi. Secara umum, eksil politik diartikan sebagai mereka-mereka yangg dipaksa meninggalkan tanah air mereka, dan tak mungkin lagi kembali.
Tetapi beberapa orang di Eropa yangg mengidentifikasi diri mereka sebagai eksil politik dari Indonesia. Kata eksil di mata mereka adalah penduduk negara Indonesia yangg kehilangan kebangsaan dan tanah air lantaran peristiwa 65.
Meski tidak semua para eksil ini terlibat langsung dengan peristiwa 65. Beberapa aspek lain mengenai dihilangkannya kebangsaan mereka juga berangkaian dengan kritik mereka terhadap pemerintahan rezim Soeharto.
Sebagaimana kisah Pipit Rochijat Kartawidjaja. Pipit merupakan mahasiswa yangg belajar di Jerman pada tahun 1971. Di awal-awal Pipit tidak tahu soal masalah politik dan ideologi, tetapi kesempatan belajar di Jerman membuka wawasannya mengenai politik.
Setelah mengetahui peristiwa yangg terjadi di rezim Soeharto. Pipit mulai berani mengkritik Soeharto dengan menerbitkan tulisan di jurnal Persatuan Pelajar Indonesia di Berlin. Sekitar akhir tahun 1971-an, pemerintah Orba mengadakan training P4 untuk seluruh masyarakat Indonesia, baik yangg di local maupun yangg di luar negeri. Selain diikuti oleh pengiriman pejabat ke luar negeri yangg bekerja mengintimidasi siswa agar jangan terlalu kritis terhadap pemerintah.
Alih-alih takut terhadap tekanan pemerintah. Pipit justru semakin keras dalam mengkritik pemerintah. Bahkan saat diwawancara oleh stasiun TV di Jerman Pipit mengatakan, “para pejabat Indonesia ini baik hati semua, malah dua hari yangg lalu, ada konsulnya yangg mentraktir saya makan malam, sambal berpesan agar saya tidak menjelek-jelekkan pemerintah Indonesia waktu diwawancarai seperti sekarang ini”. Jelas mendengar jawaban itu pihak kedutaan Indonesia pun sangat marah.
Maka saat Pipit bakal memperpanjang paspor, perpanjangannya ditolak. Bahkan ada sebuah nasehat dari pemerintah Indonesia untuk tidak berbaur dengan Pipit. Sebab di mata pemerintah Pipit sudah dicap sebagai PKI. Kisah Pipit merupakan salah satu kisah dari beberapa orang yangg diwawancarai dalam kitab ini.
Kisah dan Kegiatan Eksil Politik Indonesia di Jerman
Selain Pipit, Soe Tjen Marching juga mewawancarai beberapa eksil lainnya. Salah satunya adalah Arif Harsana, mahasiswa Uni Soviet kala itu yangg kemudian pindah ke Jerman. Di dalam kitab ini, Soe Tjen mengusulkan beberapa pertanyaan untuk Arif, di antaranya mengenai latar belakang hidup dan keluarganya, awal mula sebagai mahasiswa Uni Soviet, pandangan politik baik di era Soekarno, Soeharto, dan masa kini.
Dalam ceritanya mengenai politik masa kini, Arif Harsana mengatakan bahwa jika dibandingan Indonesia pada masa sebelumnya di bawah kekuasaan militer dan birokrasi yangg korup. Indonesia saat ini tetap lebih baik, meski tuntutan penegakan norma tetap belum terpenuhi seutuhnya. Penyebaran hoaks, ujaran kebencian dan tuduhan meski sudah dilarang, tetapi kebebasan menjalankan ibadah berakidah bagi golongan minoritas tetap belum dijamin seluruhnya di wilayah RI. Begitupun dengan tuntutan pemberantasan budaya KKN tetap belum terpenuhi. Walaupun saat ini KKN dan diskriminasi terhadap minoritas tetap banyak terjadi.
Namun, banyak juga generasi muda sedikit demi sedikit sudah bangkit mempelopori aktivitas Fridays for Future dalam rangka mengatasi masalah besar abad ini. Demi tegaknya tatanan masyarakat baru sebagai pengganti jalan keluar dari kebuntuan sistem kapitalis neoliberalism eke arah tatanan yangg menghormati nilai-nilai luhur perikemanusiaan yangg setara dan beradab.
Eksil politik di Jerman mempunyai aktivitas yangg cukup aktif dan mereka juga membentuk organisasi eksil serta menerbitkan beberapa majalah bersama. Selain itu, ada bermacam jenis LSM yangg dapat dikategorikan sebagai organisasi donor, organisasi mitra pemerintah, organisasi ahli dan organisasi oposisi.
Adapun yangg berasosiasi dengan para eksil di Jerman, biasanya mengenai dengan alias termasuk kategori organisasi oposisi di luar pemerintah yangg melakukan aktivitas utama di bagian pengawasan dan kritik terhadap kejahatan rezim Soeharto.
Selain itu, para eksil ini juga menerbitkan majalah sebagai wadah info berjulukan SOAI (Suedostasien Informationstelle alias Pusat Informasi Asia Tenggara), yangg berisi ulasan tentang rumor sosial dan politik di Asia Tenggara. Bagi saya, kitab ini sangat layak untuk dibaca dan menarik untuk mengetahui kerumitan peristiwa sejarah yangg jarang diungkap di Indonesia. Kemudian kitab ini banyak memberikan info mengenai percaturan politik dunia, baik dulu dan masa kini.
Editor: Soleh
2 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·