Tetaplah Beramanah alias Terjerat Khiayanah
Oleh : Drs. H. Wahyudi, M.Pd. (Dosen UIN Walisongo Semarang, Wakil Ketua PWM Jawa Tengah)
PWMJATENG.COM – Kata Amanah dalam al-Qur’an, baik dalam corak tunggal (mufrad) alias jamak telah disebutkan sebanyak enam kali. Dua kali dalam corak mufrad, ialah pada surat al-Baqarah: 283 dengan makna pinjaman alias hutang dan surat al-Ahzab: 72 dengan makna beban kepercayaan ialah perintah dari Allah yangg kudu dijalankan oleh manusia dan logika sehat. Sedangkan empat lagi disebutkan dalam corak jamak, ialah pada surat an-Nisa: 58 dengan makna segala sesuatu yangg dititipkan baik perkataan, perbuatan ataupun keyakinan, surat al-Anfal: 27 yangg berarti titipan alias kepercayaan sesama, surat al-Mu’minun: 8, dan al-Ma’arij: 32 berarti segala sesuatu yangg dipercayakan kepada manusia baik berasal dari Allah ataupun sesama manusia.
Dari perspektif syari’ah, amanah mempunyai makna yangg sangat luas. Secara bahasa mempunyai makna dapat dipercaya. Amanah juga dapat diartikan sebagai titipan, kepercayaan, ibadah dan ketaatan. Ibnu katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa makna amanah adalah taklif yangg kudu dilaksanakan, baik itu berasal dari Allah maupun sesama manusia. Menurut Al-Qurtubi dalam tafsir Al-Jami li Ahkam Al-Qur’an, juz XII menyebut amanah merupakan tanggungan manusia, baik itu perihal yangg berangkaian dengan urusan keagamaan maupun urusan duniawi, perkataan maupun perbuatan dengan realisasi menjaganya dan melaksanakannya. Menurut Qurais Shihab, dalam tafsir al-Misbah, amanah berasal dari kata amina yangg berfaedah merasa kondusif dan percaya. Yaitu sesuatu yangg diserahkan kepada pihak lain (titipan) untuk dipelihara dan dikembalikan jika tiba waktunya alias jika diminta oleh pemiliknya. Ia adalah musuh khianat. Ia tidak boleh diberikan selain kepada orang yangg dinilai oleh pemberinya dapat memelihara dengan baik apa yangg diberikannya itu.
Seruan Al-Qur’an kepada perilaku amanah bukan hanya menyangkut tentang kepercayaan dan tanggung jawab seseorang, melainkan juga berasosiasi dengan keagamaan seseorang. Sebab kata amanah satu akar kata dengan iman. Artinya, sifat amanah itu lahir dari kekuatan iman. Dikatakan bahwa orang yang beriman sudah seharusnya mempunyai sifat amanah yangg merupakan sifat terpuji dan juga sifat kenabian. Sesuai dengan sabda Rasulullah, “Tidak sempurna ketaatan seseorang yangg tidak amanah, dan tidak sempurna kepercayaan orang yangg tidak menunaikan janji”. (HR. Ahmad)
Dimensi Amanah
Amanah merupakan ketundukan manusia terhadap seluruh dimensi pokok kepercayaan Islam lantaran melibatkan aspek vertical, hablumminallah ialah beban pertanggungjawaban kepada Allah dan aspek horizontal, hablumminannas ialah aspek syariah terutama dalam kaitannya dengan muamalah alias hubungan manusia dengan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam konsep Amanah, setidaknya terdapat empat komponen penting, yaitu: menjaga kewenangan Allah, menjaga kewenangan sesama manusia, menjauhkan dari sikap abai dan berlebihan, dalam makna bahwa amanah kudu disampaikan dalam kondisi yangg tepat, tidak ditambahi alias dikurangi, dan mengandung sebuah pertanggungjawaban.
Ada tiga unsur alias komponen dalam sebuah amanah, ialah pemberi, penerima dan amanah itu sendiri. Untuk amanah ada dua bentuk, ialah materi dan non materi. Pemberi amanah adalah Allah, rasul dan manusia (al-Anfal: 27), sedangkan penerima amanah yangg asasi adalah manusia. Namun tidak semua manusia bisa memegangnya dengan baik, melainkan orang-orang yangg kompeten yangg mempunyai karakter tertentu. Allah berfirman dalam surat Al-Ahzab: 72, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan petunjuk kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul petunjuk itu dan mereka cemas bakal mengkhianatinya, dan dipikullah petunjuk itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu banget kejam dan banget bodoh.”
Urgensi sifat amanah sangat berpengaruh bagi diri seseorang, karena andaikan seseorang dikenal mempunyai ciri-ciri khianat alias tidak amanah, maka apa yangg disampaikan perlu dipertanyakan keabsahannya, apalagi kemungkinan besar yangg disampaikan hanya ketidakejujuran belaka. Amanah juga merupakan salah satu sifat yangg wajib bagi rasul. Sebagai sifat wajib rasul merupakan akibat logis bagi kerasulannya. Sebab jika seorang rasul tidak dapat dipercaya, maka aliran syari’at yangg dibawa tentu dapat dipertanyakan kebenarannya. Hal ini juga bertindak bagi pemimpin maupun yangg dipimpin untuk bertindak amanah, agar dapat dipercaya kepemimpinannya.
Prototipe Perilaku Amanah
Ada kisah sikap dan perilaku amanah, yangg ditampilkan oleh Umar bin Abdul Azis yangg perlu direnungkan, direfleksikan dan diteladani meskipun kisah ini sudah sangat popular, namun tetap aktual lantaran tetap relevan dengan kondisi kehidupan sekarang. Umar bin Abdul Aziz adalah seorang khalifah daulah Umayah (717-720 M) yangg memimpin secara amanah, sederhana, setara lagi bijaksana. Pada suatu malam, ketika beliau sedang memeriksa pembukuan biaya Baitul Mal, terdengar ketukan di pintunya. Beliau bertanya, siapa? “saya ayah,” jawab bunyi dari luar. Beliau bertanya lagi, “Ada urusan apa? urusan negara, family alias umat, anakku?” “Urusan keluarga, ayah,” jawab anaknya. “Tunggu,” kata khalifah dari ruang kerjanya. Sambil melangkah menuju lampu yangg hanya satu-satunya di ruangan itu, ditiupnya lampu itu hingga padam. Selanjutnya beliau menuju pintu dan membukanya, dan putra beliau diminta masuk.
Anak laki-laki itu heran, lantaran kudu berbincang di ruang yangg gelap gulita. Maka bertanyalah dia kepada ayahnya, “ayah, di bilik ini hanya ada satu lampu, kenapa dimatikan? Apakah kita bakal berbincang di kegelapan?” “Anakku, yangg bakal kita bicarakan adalah urusan keluarga, sedangkan lampu yangg menerangi ruangan ini dari duit negara yangg berasal dari rakyat. Padahal kekuasaan adalah Amanah yangg bakal dimintai pertanggungjawaban kelak oleh Allah di hari pembalasan.”
Kisah Umar bin Abdul Azis dan putranya tersebut, menggambarkan gimana seorang pemimpin berupaya dengan tegas menjaga asset dan kekayaan negara alias umat yangg telah diamanahkan. Secara teknis, mungkin aktivitas menjaga asset dan kekayaan negara yangg dilakukan oleh Umar bin Abdul Azis sangatlah sederhana, tetapi di dalamnya mengandung makna yangg sangat mendalam. Bahwa sikap amanah bertindak untuk menjaga semua perihal tanpa memandang besar kecilnya nilai barang alias asset yangg diamanahkan, seperti menyalakan lampu yangg bukan haknya. Umar bin Abdul Azis senantiasa memelihara diri jangan sampai tergelincir oleh perbuatan-perbuatan mini dan mungkin sangat sepele. Sebagaimana firman Allah, dalam surat An-Nur: 15, “dan Anda menganggapnya suatu yangg ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.”
Amanah merupakan perilaku yangg terpuji, sebagai lawannya adalah perilaku khiyanah termasuk sebagian dari karakter munafik. Berperilaku amanah tidak mudah, banyak bujukan dan tantangan. Oleh lantaran itu semuanya kembali kepada nurani kita masing-masing, tetap bakal menjadi orang yangg beramanah alias orang yangg terjerat ke lembah khiyanah. Sebagai orang yangg beragama tentunya pilihan menjadi orang yangg beramanah merupakan pilihan yangg tidak bisa ditawar lagi meskipun itu susah dan tidak mudah. Untuk menjadi orang yangg selalu beramanah, sikap dan komitmen untuk merawat perilaku amanah kudu senantiasa ditumbuhkan dalam kehidupan sehari-hari, meskipun amanah yangg limpahkan itu terlihat mini dan sederhana.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha
Jumlah Pengunjung : 85
2 minggu yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·